Lokalisasi Dolly Ditutup, PSK Mengadu ke Komnas HAM
A
A
A
SURABAYA - Para Pekerja Seks Komersial (PSK), mucikari, dan warga terdampak penutupan Lokalisasi Dolly meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) segera turun tangan menengahi kisruh penutupan lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara tersebut.
Mereka merasa ada intimadasi yang dilakukan oknum tertentu, pada pihak-pihak yang menolak penutupan lokalisasi. Anggota Front Pekerja Lokalisasi (FPL), elemen yang menolak penutupan Dolly, Saputra mengatakan, keterlibatan Komnas HAM dalam soal Dolly ini sangat tepat.
Pasalnya, kebijakan penutupan tersebut mengabaikan HAM. Salah satunya, tidak ada kejelasan nasib dan masa depan dari para PSK, mucikari, dan juga warga jika lokalisasi ini ditutup.
Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya juga dianggap tidak serius dalam melakukan penutupan. Hingga saat ini, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini tidak pernah turun langsung berdialog dengan warga terdampak. Anehnya, malah meminta wakilnya, Wisnu Sakti Buana yang berdialog dengan warga.
“Rencananya anggota Komnas HAM akan datang ke Dolly besok (hari ini),” katanya, kepada wartawan, Rabu (11/6/2014)
Pria berambut panjang ini menjelaskan, Komnas HAM dalam kesempatan ini akan menggelar dialog dengan PSK, mucikari, dan juga warga terdampak. Dari dialog ini diharapkan mampu menampung aspirasi dan keluh kesah mereka yang dirugikan atas penutupan lokalisasi yang dibangun Dolly Van Der Mart itu.
Apalagi, oleh warga setempat, pemkot dianggap sebagai pembohong, karena tidak mampu merealisasikan janji-janjinya. Misalnya, pemberian kompensasi atas penutupan. Selain mengggelar dialog dengan Komnas HAM, FPL juga menggelar pengajian yang digelar sekitar wisma Dolly.
“Kami akan terus berjuang sampai ada keputusan bahwa, Dolly tidak akan ditutup,” tandasnya.
Tim Advokasi FPL Anis menambahkan, sebelumnya dia sudah mengirim surat permintaan pada Gubernur Jawa Timur (Jatim) Soekarwo untuk juga turun tangan menyikapi persoalan Dolly. Sayangnya, surat tersebut tak kunjung mendapat jawaban dari orang nomor satu di Jatim tersebut.
Menurutnya, Soekarwo harus turun tangan. Jika tidak, dikhawatirkan muncul konflik horizontal antara warga yang sepakat penutupan dengan yang menolak penutupan.
“Jika pemkot tidak mampu mengelola kisruh yang ada di Dolly, maka akan timbul konflik horizontal. Jika ini dibiarkan, tidak menutup kemungkinan muncul kebencian antar warga,” terangnya.
Sementara itu, politikus asal PDI-P Sukadar meminta agar pemkot tidak ngotot melakukan penutupan. Sebab, antara pemkot dan warga tidak pernah terjadi dialog untuk merumuskan langkah-langkah apa setelah penutupan.
Ketika pemkot mengeluarkan kebijakan, khususnya penutupan Dolly, harus dikaji terlebih dulu, kebijakan itu menguntungkan atau tidak bagi warga. Pihaknya sendiri menyangsikan bahwa ada sejumlah warga yang menyatakan sikap mendukung atas penutupan Dolly.
“Kalau ada warga yang datang ke wali kota dan mengaku sepakat penutupan, tolong kasih tahu warga yang mana itu. Apa benar dia warga disekitar Dolly,” katanya.
Mereka merasa ada intimadasi yang dilakukan oknum tertentu, pada pihak-pihak yang menolak penutupan lokalisasi. Anggota Front Pekerja Lokalisasi (FPL), elemen yang menolak penutupan Dolly, Saputra mengatakan, keterlibatan Komnas HAM dalam soal Dolly ini sangat tepat.
Pasalnya, kebijakan penutupan tersebut mengabaikan HAM. Salah satunya, tidak ada kejelasan nasib dan masa depan dari para PSK, mucikari, dan juga warga jika lokalisasi ini ditutup.
Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya juga dianggap tidak serius dalam melakukan penutupan. Hingga saat ini, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini tidak pernah turun langsung berdialog dengan warga terdampak. Anehnya, malah meminta wakilnya, Wisnu Sakti Buana yang berdialog dengan warga.
“Rencananya anggota Komnas HAM akan datang ke Dolly besok (hari ini),” katanya, kepada wartawan, Rabu (11/6/2014)
Pria berambut panjang ini menjelaskan, Komnas HAM dalam kesempatan ini akan menggelar dialog dengan PSK, mucikari, dan juga warga terdampak. Dari dialog ini diharapkan mampu menampung aspirasi dan keluh kesah mereka yang dirugikan atas penutupan lokalisasi yang dibangun Dolly Van Der Mart itu.
Apalagi, oleh warga setempat, pemkot dianggap sebagai pembohong, karena tidak mampu merealisasikan janji-janjinya. Misalnya, pemberian kompensasi atas penutupan. Selain mengggelar dialog dengan Komnas HAM, FPL juga menggelar pengajian yang digelar sekitar wisma Dolly.
“Kami akan terus berjuang sampai ada keputusan bahwa, Dolly tidak akan ditutup,” tandasnya.
Tim Advokasi FPL Anis menambahkan, sebelumnya dia sudah mengirim surat permintaan pada Gubernur Jawa Timur (Jatim) Soekarwo untuk juga turun tangan menyikapi persoalan Dolly. Sayangnya, surat tersebut tak kunjung mendapat jawaban dari orang nomor satu di Jatim tersebut.
Menurutnya, Soekarwo harus turun tangan. Jika tidak, dikhawatirkan muncul konflik horizontal antara warga yang sepakat penutupan dengan yang menolak penutupan.
“Jika pemkot tidak mampu mengelola kisruh yang ada di Dolly, maka akan timbul konflik horizontal. Jika ini dibiarkan, tidak menutup kemungkinan muncul kebencian antar warga,” terangnya.
Sementara itu, politikus asal PDI-P Sukadar meminta agar pemkot tidak ngotot melakukan penutupan. Sebab, antara pemkot dan warga tidak pernah terjadi dialog untuk merumuskan langkah-langkah apa setelah penutupan.
Ketika pemkot mengeluarkan kebijakan, khususnya penutupan Dolly, harus dikaji terlebih dulu, kebijakan itu menguntungkan atau tidak bagi warga. Pihaknya sendiri menyangsikan bahwa ada sejumlah warga yang menyatakan sikap mendukung atas penutupan Dolly.
“Kalau ada warga yang datang ke wali kota dan mengaku sepakat penutupan, tolong kasih tahu warga yang mana itu. Apa benar dia warga disekitar Dolly,” katanya.
(san)