Sejuta celana dalam tuntut kapolres mundur

Senin, 20 Januari 2014 - 19:39 WIB
Sejuta celana dalam tuntut kapolres mundur
Sejuta celana dalam tuntut kapolres mundur
A A A
Sindonews.com - Puluhan anggota Gerakan Pemerhati Penegak Supremasi Hukum Sulbar (GP2SH) menggelar aksi demo sejuta celana dalam menuntut Kapolres Mamuju AKBP Eko Wagiyanto mundur dari jabatannya.

GP2SH menilai, ada pilih tebang dalam penanganan kasus narkoba di Mamuju. Terutama yang melibatkan anggota polisi sendiri dan para pejabat. Mereka juga meminta Kapolri untuk mencopot jabatan Eko secara tidak hormat.

Koordinator Lapangan (Korlap) Ahmadi mengatakan, aksi yang kedua kalinya ini dilakukan untuk menegakkan supremasi hukum. Fakta yang ditemukan di lapangan, jauh berbeda dengan informasi yang gencar dilakukan pada media.

"Kapolres sudah pilih tebang, bukan lagi tebang pilih dalam menangani kasus narkoba di Mamuju. Kami memiliki bukti rekamanan praktik suap untuk membebaskan tersangka. Ini tidak adil dan tidak benar. Kami menuntut agar kapolres mundur dan pergi meninggalkan Mamuju," tegas Ahmadi, dalam orasinya, Senin (20/1/2014).

Semua polisi yang tersangkut kasus narkoba tidak ada yang ditahan. Hanya orang-orang tertentu saja yang diproses, dengan berbagai dalih. Dengan aksi sejuta celana dalam ini, pihaknya ingin menyindir kemandulan hukum polisi di semua jajarannya. Sebab lembaga ini terbukti tidak mampu membekuk semua tersangka yang terlibat.

"Aksi kami tidak akan selesai sampai kapolres dicopot. Bukti rekaman yang ada akan kami publikasikan. Kasus suap sebesar Rp10 juta oleh Kanit Narkoba Polres Mamuju itu sama sekali tidak digubris kapolres," katanya.

Dia kemudian menantang Eko Wagiyanto untuk menyatakan kebenaran kasus suap itu. Dan memberikan informasi luas status semua anggotanya yang terlibat narkoba. Disebutkan, beberapa di antara mereka masih mengenakan seragam polisi.

Dalam aksi ini sempat terjadi ketegangan. Massa dan aparat saling dorong di bibir pagar masuk menuju Mapoles Mamuju. Bahkan salah seorang anggota aksi dengan penuh emosi menyatakan siap ditembak. Sikap ini dibuktikan dengan membuka baju.
Aksi yang juga diikuti oleh wanita dan anak-anak ini kemudian bergeser menuju Kantor Kejari Mamuju.

Sementara itu, Eko Wagiyanto membantah tuduhan GP2SH. Dia bahkan menilai mereka kurang mendapat informasi terkait perkembangan penanganan kasus narkoba. Diungkapkan, pihaknya sudah menjalankan tugas sesuai peratuan yang berlaku. Bahkan beberapa lalu sudah diaudit oleh Polda Sulselbar.

"Kalau copot mencopot itu domainnya pimpinan. Dan siapa yang ditebang dan siapa yang dipilih? Kami sudah cukup tegas pada anggota yang terbukti bersalah. Seperti Ipda Kamaruddin, sekarang sudah P21. Dia ada di sel polres, karena rutan tidak mampu menangani sikap brutalnya. Memang saat disidik pun Kamaruddin selalu melawan," tegasnya.

Dituturkan, menangani kasus narkoba berbeda dengan kasus pidana lainnya. Dalam kasus ini, harus memenuhi unsur formil dan materiil untuk bisa ditetapkan sebagai tersangka. Tidak bisa salah satu di antaranya.

Pengungkapan narkoba itu, lanjutnya, ada ciri khas tersendiri. Yakni kejahatan tanpa korban. Saat ditangkap sudah pasti orangnya mengelak, karena itu perlu alat bukti.

"Dalam UU dipertajam bahwa KUHP mengatur 1x24 jam harus ditetapkan sebagai tersangka. Tapi dalam UU Narkoba, 3x24 jam dan masih bisa diperpanjang 3x24 jam lagi. Ini bukti betapa sulitnya mencari alat bukti hingga diperlukan enam hari untuk peningkatan status," ulasnya.

Untuk anggota polisi yang terlibat dan tidak memenuhi kedua unsur tersebut, Eko mengungkapkan tetap mendapat sanksi. Yakni hukuman disiplin atau kode etik. Mereka semua dikirim ke Brimob di Karossa dan Makassar.

Ditambahkan, saat tersangka tidak terbukti seharusnya ada rehabilitasi. Itupun melalui saran dari penyidik. Namun rehabilitasi itu harus didukung oleh BNN. Sedang di Mamuju, BNN belum ada, sehingga harus ke Makassar.

"Itu biayanya besar, karenanya kami titipkan mereka di Brimob. Rehabilitasi itu jalan tengah bagi pelaku yang tidak bisa dijadikan tersangka. Proses rehabilitasi selama tiga bulan. Di sana mereka harus menjalankan berbagai program untuk mengeluarkan racun dan berhenti dari ketergantungan narkoba," terangnya.

Eko mencontohkan, kasus narkoba Rafi Ahmad baru-baru ini. Dia tidak bisa menjadi tersangka, karena tidak bisa memenuhi salah satu dari dua unsur. Karena itu dia harus menjalani rehabilitasi.

"Logikanya, saya capek-capek menangkap pelaku. Masak bebas begitu saja. Semua butuh proses dan ada aturannya. Tidak bisa disidik secara brutal begitu," tegasnya.

Eko juga membenarkan telah terjadi kasus suap dalam penanganan kasus narkoba. Diungkapkan, dia bertindak langsung dengan mencegah hasil uji laboratorium palsu tiba di Makassar. Dia memanggil kembali petugas dan menguji ulang Kanit Narkoba. Hasilnya terbukti dan kasus suap ini tetap dilidik.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6666 seconds (0.1#10.140)