Debus masih jadi idola
A
A
A
Debus selama ini memiliki kaitan dengan kekebalan tubuh. Mereka yang menguasai ilmu kekebalan dipercaya memiliki kekuatan yang berbeda dengan manusia lain kebanyakan.
Dalam debus, beragam senjata tajam seperti pedang, golok, pisau, paku, hingga api, terlihat tak mampu melukai tubuh.
Hingga kini, pertunjukan debus kerap mengundang penontonnya menarik napas terpesona, terkadang berdecak kagum, menggelengkan kepala dengan rasa tak percaya, sampai bersikap skeptis.
Budayawan Cirebon Abidin Aslich menyebutkan, debus mengacu pada senjata tajam yang runcing di mana pemainnya kebal terhadap senjata itu.
“Tidak ada penanda pasti kapan debus muncul pertama kalinya, namun diperkirakan sekitar abad ke-15 atau ke-16,” ujarnya.
Awalnya, debus digunakan sebagai media syiar agama dengan variasi bela diri sebagai pembinaan kekuatan fisik di peguron-peguron (perguruan) santri.
Dikenal sebagai suatu kesenian bela diri berusia tua, rupanya hingga kini debus masih menjadi idola remaja di Cirebon.
Ismail (19) misalnya, mempelajari ilmu debus dalam silat yang ditekuninya. Meski tampak menakjubkan karena kekebalannya mampu mementalkan beragam jenis senjata tajam yang diadukan ke tubuhnya tanpa luka, tak menjadikan pemuda ini merasa memiliki kedigdayaan.
“Dalam silat yang saya tekuni, debus itu hanya penghias saja,” tukas Ismail.
Debus sendiri sebenarnya tak lepas dari keterampilan pelakunya menguasai ilmu pernapasan. Dengan kata lain, kekebalan yang diperoleh seseorang bukan karena dukungan hal klenik, melainkan kemampuan pernapasan seseorang.
Bagi Ismail, memiliki kekebalan bukan sesuatu hal yang layak menjadikannya angkuh. Sebab, menurut dia, kekebalan itu mutlak diperoleh atas izin Allah SWT. Karena itu, pelakunya bahkan dilarang menyombongkan diri atau berpamer akan kekebalannya.
Jika pantangan ini dilanggar, kata dia, celakalah pelakunya dan lebih jauh apa yang ditekuninya bisa hilang.
Di sejumlah sekolah, debus merupakan bagian dari silat yang menjadi kegiatan ekstrakurikuler bagi siswanya. Seperti dilakoni siswa-siswa SMKN 1 Kota Cirebon melalui perguruan silat Singa Baruangnya.
Bambang Eko Prasetyo, siswa kelas 2 Gambar Pembangunan mengungkapkan ketertarikannya pada silat dan debus di dalamnya, lebih untuk mengembangkan budaya asli Indonesia sendiri.
Terinspirasi dari sang kakek, dia bahkan mengidolakan debus. Dia pun setuju kekebalan yang dimilikinya bukan kualitas diri yang layak ditunjukkan begitu saja.
“Kalaupun ditunjukkan sebatas ketika ada pertunjukan saja, misalnya dalam acara sekolah. Bukan dengan menyombongkan diri atau sampai menantang orang berkelahi,” kata dia.
Bambang pernah menunjukkan kekebalannya saat harus menginjak dan berbaring di atas pecahan kaca. Beberapa rekannya kemudian menginjak bagian atas tubuh dan memperlihatkan pada penonton, tak ada luka di punggungnya setelah itu dan dia baik-baik saja.
Sekalipun begitu, dia mengakui ada rasa sakit. Hanya saja, dia menganggap hal itu sebagai ujian sejauh mana dirinya menguasai ilmu pernapasan.
Dalam debus, beragam senjata tajam seperti pedang, golok, pisau, paku, hingga api, terlihat tak mampu melukai tubuh.
Hingga kini, pertunjukan debus kerap mengundang penontonnya menarik napas terpesona, terkadang berdecak kagum, menggelengkan kepala dengan rasa tak percaya, sampai bersikap skeptis.
Budayawan Cirebon Abidin Aslich menyebutkan, debus mengacu pada senjata tajam yang runcing di mana pemainnya kebal terhadap senjata itu.
“Tidak ada penanda pasti kapan debus muncul pertama kalinya, namun diperkirakan sekitar abad ke-15 atau ke-16,” ujarnya.
Awalnya, debus digunakan sebagai media syiar agama dengan variasi bela diri sebagai pembinaan kekuatan fisik di peguron-peguron (perguruan) santri.
Dikenal sebagai suatu kesenian bela diri berusia tua, rupanya hingga kini debus masih menjadi idola remaja di Cirebon.
Ismail (19) misalnya, mempelajari ilmu debus dalam silat yang ditekuninya. Meski tampak menakjubkan karena kekebalannya mampu mementalkan beragam jenis senjata tajam yang diadukan ke tubuhnya tanpa luka, tak menjadikan pemuda ini merasa memiliki kedigdayaan.
“Dalam silat yang saya tekuni, debus itu hanya penghias saja,” tukas Ismail.
Debus sendiri sebenarnya tak lepas dari keterampilan pelakunya menguasai ilmu pernapasan. Dengan kata lain, kekebalan yang diperoleh seseorang bukan karena dukungan hal klenik, melainkan kemampuan pernapasan seseorang.
Bagi Ismail, memiliki kekebalan bukan sesuatu hal yang layak menjadikannya angkuh. Sebab, menurut dia, kekebalan itu mutlak diperoleh atas izin Allah SWT. Karena itu, pelakunya bahkan dilarang menyombongkan diri atau berpamer akan kekebalannya.
Jika pantangan ini dilanggar, kata dia, celakalah pelakunya dan lebih jauh apa yang ditekuninya bisa hilang.
Di sejumlah sekolah, debus merupakan bagian dari silat yang menjadi kegiatan ekstrakurikuler bagi siswanya. Seperti dilakoni siswa-siswa SMKN 1 Kota Cirebon melalui perguruan silat Singa Baruangnya.
Bambang Eko Prasetyo, siswa kelas 2 Gambar Pembangunan mengungkapkan ketertarikannya pada silat dan debus di dalamnya, lebih untuk mengembangkan budaya asli Indonesia sendiri.
Terinspirasi dari sang kakek, dia bahkan mengidolakan debus. Dia pun setuju kekebalan yang dimilikinya bukan kualitas diri yang layak ditunjukkan begitu saja.
“Kalaupun ditunjukkan sebatas ketika ada pertunjukan saja, misalnya dalam acara sekolah. Bukan dengan menyombongkan diri atau sampai menantang orang berkelahi,” kata dia.
Bambang pernah menunjukkan kekebalannya saat harus menginjak dan berbaring di atas pecahan kaca. Beberapa rekannya kemudian menginjak bagian atas tubuh dan memperlihatkan pada penonton, tak ada luka di punggungnya setelah itu dan dia baik-baik saja.
Sekalipun begitu, dia mengakui ada rasa sakit. Hanya saja, dia menganggap hal itu sebagai ujian sejauh mana dirinya menguasai ilmu pernapasan.
(lns)