Papua masih belum ramah terhadap wartawan
A
A
A
Sindonews.com - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jayapura mencatat sepanjang tahun 2013 terjadi 20 kasus intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis di Papua, dan Papua Barat. Jumlah ini meningkat secara signifikan dari tahun sebelumnya yang hanya 12 Kasus.
"Dari 20 kasus ini, empat kasus terjadi di Papua Barat, dan 16 kasus lainnya terjadi di Papua. Sebagian besar kasus kekerasan dilakukan secara langsung melalui intimidasi verbal maupun fisik, seperti ancaman dan makian, pengrusakan, memasuki kantor redaksi tanpa izin, hingga pemukulan," terang ketua AJI Jayapura Victor Mambor, Sabtu (21/21/2013).
Menurut Victor, para pelaku kekerasan terhadap jurnalis di Papua, dan Papua Barat, masih didominasi oleh institusi kepolisian. Dari 20 kasus kekerasan, delapan di antaranya dilakukan oleh aparat kepolisian.
AJI Kota Jayapura juga mencatat, tindakan kekerasan yang dilakukan masyarakat sipil terhadap jurnalis, kekerasan cenderung dilakukan oleh sekelompok orang dengan tujuan membela kepentingan pejabat tertentu. Tercatat, enam kasus intimidasi dan kekerasan dalam kategori ini terjadi sepanjang tahun 2013.
"Kecenderungan ini menunjukkan bahwa pejabat publik di Papua belum mampu mendidik massa pendukungnya untuk memahami tugas dan peranan pers sebagaimana diamanatkan oleh UU Pokok Pers No.40 Tahun 1999," lanjut Victor.
Victor mengaku, 20 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi di Papua, dan Papua Barat, ini dalam catatan AJI Kota Jayapura, disebabkan tidak seriusnya upaya penegakan hukum.
Kasus-kasus kekerasan yang terjadi tidak ditangani dalam prosedur hukum yang benar dan profesional. Akibatnya, kekerasan terhadap jurnalis yang sedang melakukan aktivitas jurnalistiknya berakhir dengan impunitas dan terulang lagi pada tahun-tahun berikutnya.
Dia mencontohkan, kasus penikaman terhadap Banjir Ambarita, jurnalis Viva News yang belum bisa diungkapkan oleh polisi hingga saat ini. Selain kasus kekerasan yang dialami jurnalis, AJI Kota Jayapura juga mencatat laporan resmi masyarakat terhadap sikap profesional, dan etika jurnalis di Papua.
Tiga kasus yang dilaporkan oleh masyarakat adalah perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik, perbuatan tidak terpuji, dan dugaan pemerasan. Masyarakat juga menyampaikan keluhan mengenai keberadaan wartawan yang tidak jelas, alias wartawan abal-abal, di sekitaran Kota Jayapura.
Wartawan abal-abal ini, dalam praktiknya, tidak memiliki kantor atau redaksi yang jelas, dan tidak bisa menunjukkan produk jurnalistiknya meskipun memiliki ID card sebagai wartawan.
"Beberapa masyarakat melaporkan bahwa wartawan dalam kategori abal-abal ini, tidak segan-segan melakukan tindakan pemerasan terhadap warga atau pejabat yang diduga atau sedang dalam pemeriksaan kasus korupsi," ungkapnya.
"Dari 20 kasus ini, empat kasus terjadi di Papua Barat, dan 16 kasus lainnya terjadi di Papua. Sebagian besar kasus kekerasan dilakukan secara langsung melalui intimidasi verbal maupun fisik, seperti ancaman dan makian, pengrusakan, memasuki kantor redaksi tanpa izin, hingga pemukulan," terang ketua AJI Jayapura Victor Mambor, Sabtu (21/21/2013).
Menurut Victor, para pelaku kekerasan terhadap jurnalis di Papua, dan Papua Barat, masih didominasi oleh institusi kepolisian. Dari 20 kasus kekerasan, delapan di antaranya dilakukan oleh aparat kepolisian.
AJI Kota Jayapura juga mencatat, tindakan kekerasan yang dilakukan masyarakat sipil terhadap jurnalis, kekerasan cenderung dilakukan oleh sekelompok orang dengan tujuan membela kepentingan pejabat tertentu. Tercatat, enam kasus intimidasi dan kekerasan dalam kategori ini terjadi sepanjang tahun 2013.
"Kecenderungan ini menunjukkan bahwa pejabat publik di Papua belum mampu mendidik massa pendukungnya untuk memahami tugas dan peranan pers sebagaimana diamanatkan oleh UU Pokok Pers No.40 Tahun 1999," lanjut Victor.
Victor mengaku, 20 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi di Papua, dan Papua Barat, ini dalam catatan AJI Kota Jayapura, disebabkan tidak seriusnya upaya penegakan hukum.
Kasus-kasus kekerasan yang terjadi tidak ditangani dalam prosedur hukum yang benar dan profesional. Akibatnya, kekerasan terhadap jurnalis yang sedang melakukan aktivitas jurnalistiknya berakhir dengan impunitas dan terulang lagi pada tahun-tahun berikutnya.
Dia mencontohkan, kasus penikaman terhadap Banjir Ambarita, jurnalis Viva News yang belum bisa diungkapkan oleh polisi hingga saat ini. Selain kasus kekerasan yang dialami jurnalis, AJI Kota Jayapura juga mencatat laporan resmi masyarakat terhadap sikap profesional, dan etika jurnalis di Papua.
Tiga kasus yang dilaporkan oleh masyarakat adalah perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik, perbuatan tidak terpuji, dan dugaan pemerasan. Masyarakat juga menyampaikan keluhan mengenai keberadaan wartawan yang tidak jelas, alias wartawan abal-abal, di sekitaran Kota Jayapura.
Wartawan abal-abal ini, dalam praktiknya, tidak memiliki kantor atau redaksi yang jelas, dan tidak bisa menunjukkan produk jurnalistiknya meskipun memiliki ID card sebagai wartawan.
"Beberapa masyarakat melaporkan bahwa wartawan dalam kategori abal-abal ini, tidak segan-segan melakukan tindakan pemerasan terhadap warga atau pejabat yang diduga atau sedang dalam pemeriksaan kasus korupsi," ungkapnya.
(san)