Festival Gotrasawala Cirebon kupas naskah Wangsakerta
A
A
A
Sindonews.com - Festival Gotrasawala yang digelar para seniman dan budayawan Cirebon, Sabtu (15/12) di Keraton Kacirebonan mencoba mengupas sosok Pangeran Wangsakerta dan warisannya yang kontroversial berupa ribuan naskah sejarah nusantara yang berhasil disusun dan ditulis bersama timnya selama 1677-1698 Masehi.
Kontroversial karena naskah yang menceritakan berbagai hal dari wilayah se-Nusantara itu memiliki metode penulisan ilmiah yang dinilai melebihi zaman ketika itu. Naskah tersebut ditulis runut dan terperinci yang memberikan keterangan tersangkut nama naskah, parwa dan sargah (naskah), penyusun, sumber, alasan penyusunan, hingga tujuan penyusunan.
Dari ribuan naskah, baru 49 naskah yang ditemukan sejumlah pihak dari berbagai wilayah di Indonesia dan kini tersimpan di Museum Sri Baduga, Bandung. Pertama kali naskah ditemukan pada 1970 di Kabupaten Indramayu, sebelum kemudian penemuan naskah lainnya terjadi di sejumlah wilayah lain di Indonesia.
Filolog dan sejarawan Universitas Padjadjaran Undang Ahmad
Darsa saat menjadi pembicara dalam kegiatan itu membeberkan, sejumlah pihak menyebut naskah Pangeran Wangsakerta palsu. Alasan mereka beragam, seperti metode penyusunan naskah yang dianggap terlalu ilmiah pada zamannya, penggunaan kertas yang dinilai bukan berasal dari zaman tersebut, hingga tidak ada catatan dari pihak Belanda tentang peristiwa Gotrasawala yang menjadi dasar penyusunan ribuan naskah itu.
"Bagi sejarawan dan filolog yang kali pertama menemukan naskah-naskah itu, Atja, tuduhan palsu tersebut menyakitkan," ujar dia.
Menurut dia, Atja bahkan sampai mengeluarkan air mata menanggapi sikap skeptis sebagian kalangan yang meragukan naskah tersebut, hanya karena alasan penyusunan naskah yang dinilai lebih maju dan ilmiah dari zaman ketika itu. Padahal menurut Atja, hal yang dicurigai hingga menimbulkan dugaan palsu oleh sebagian pihak itu seolah memperlihatkan keraguan atas kualitas sosok Wangsakerta sebagai orang Cirebon, bahkan Indonesia.
Menurut Undang, jika mengamati agama yang dianut Pangeran Wangsakerta, metode penulisan yang digunakannya mengacu pada penyusunan hadist. Karena itu, dia memandang bukan metode penulisannya yang baru sama sekali, melainkan karena Pangeran Wangsakerta mengadopsi metode atau cara penulisan para perawi hadist.
Apalagi sejumlah naskah yang dijadikan rujukan penulisan naskah Pangeran Wangsakerta berwujud hingga kini. Sementara soal jenis kertas yang dipakai, menurut dia, zaman itu jenis kertas daluang, bukan hanya yang dibuat warga lokal yang dibuat dari kulit pohon saeh, tapi juga bisa diimpor dari Cina maupun Arab.
"Lalu soal kenapa tidak ada catatan dari pemerintah Belanda terkait dengan peristiwa besar itu, bisa dilihat dari situasi geopolitik, ekonomi, maupun sosial saat itu," kata dia.
Ketika itu, Cirebon merupakan salah satu kota yang masuk peta perdagangan dunia, sehingga sudah didatangi orang-orang dari berbagai negara. Apalagi saat itu, fokus Belanda masih pada upaya monopoli perdagangan sumber daya alam Indonesia.
Dia menyebutkan, untuk menjamin kredibilitas, kejujuran, dan objektivitas narasumber naskah, Pangeran Wangsakerta bahkan melakukan serangkaian seleksi ketat, semacam tes kebohongan. Seleksi itu mengadopsi para perawi hadist untuk menjamin validitas sebuah hadist yang merupakan ucapan atau kebiasaan Nabi Muhammad SAW yang juga dijadikan rujukan hukum bagi umat Islam.
Dia pun menambahkan, naskah-naskah hasil penulisan tim Pangeran Wangsakerta selalu disusun dalam tiga bagian berupa pendahuluan, pembahasan yang merupakan inti isi teks yang disusun kronologis, serta dan penutup. Bagian pendahuluan berupa judul karangan, beserta nomor parwa dan sargahnya, nama
penyusun dan identitas lain, sumber naskah, metode penyusunan, maupun doa keselamatan bagi penyusun dan pembaca.
Sedangkan bagian penutup menuturkan waktu selesainya penyusunan, tempat penyusunan, terkadang diungkap pula sumber penyusunan dan permohonan maaf penyusun apabila ada kesalahan, kekeliruan, atau kekurangan serta doa keselamatan bagi penyusun, pembaca serta penyimpan naskah.
Menurut dia, penyusunan naskah Pangeran Wangsakerta bahkan lebih lengkap dari metode penyusunan naskah sejarah modern. Dari naskah-naskah yang terkumpul, baru dapat diketahui peristiwa-peristiwa dan urutan pemerintahan raja-raja, lengkap dengan tahun pemerintahannya di beberapa daerah yakni Perlak, Samudera Pasai, Sriwijaya, Tatar Sunda, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banjarmasin, dan Nusa Bali.
"Dapat ditemukan juga kisah patriotik Sultan Ageng Tirtayasa dari Kerajaan Islam Surasowan Banten, juga tokoh Laksamana wanita Malahayati dari Kerajaan Aceh Darussalam, dan Patih Lambung Mangkurat dari Kerajaan Banjar. Penyebaran agama Islam di Pulau Jawa bahkan dipaparkannya sejak masa pemerintahan Darmawangsa, lengkap dengan mazhab yang dianut para penyiarnya," tutur dia.
Meski Undang meyakini kebenaran tokoh, kejadian, dan naskah-naskah Pangeran Wangsakerta, dia mengaku pembuktian kebenaran dari keyakinannya itu tetap perlu penelitian lebih lanjut sampai ada jawaban.
Festival Gotrasawala yang digagas seniman dan budayawan Cirebon berlangsung sejak pagi hingga sore, dengan tema Membuka Kembali
Pemikiran Pangeran Wangsakerta. Istilah 'gotrasawala' sendiri lebih mendekati pada kegiatan semacam semacam lokakarya kekeluargaan yang mengacu pada peristiwa berkumpulnya 70 utusan (ahli sejarah) dari berbagai kerajaan di Nusantara.
Tujuannya tak lain menelusuri dan menuliskan sejarah daerah se-Nusantara pada abad 18 di Keraton Kasepuhan Cirebon. Gotrasawala dipimpin Pangeran Wangsakerta dan dihadiri utusan peninjau dari negara lain seperti Mesir, Arab, India, Srilanka, Benggala, Campa, Cina, hingga Hujung Medini (Semenanjung Melayu) yang kemudian menghasilkan ribuan naskah.
Sementara itu, salah satu penggagas Festival Gotrasawala yang juga budayawan Cirebon Nurdin M Noer menyebut Pangeran Wangsakerta bukan sekedar tokoh masyarakat Cirebon. Dia dipandang sebagai sejarawan besar di zamannya sehingga selayaknya tercatat sebagai sejarawan Indonesia.
"Bukan saja Indonesia, Pangeran Wangsakerta layak jadi sejarawan dunia," cetus dia.
Terkait festival itu sendiri, dia mengatakan digelar secara swadaya bersama seniman dan budayawan Cirebon lain sebagai upaya memutus polemik terkait naskah-naskah Pangeran Wangsakerta.
Jika terus berpolemik, hal itu menurut dia akan menjadi dosa sejarah yang tak termaafkan. Di sisi lain, kegiatan itu juga diharap menjadi pengingat semua pihak agar lebih peduli pada sejarah.
Kontroversial karena naskah yang menceritakan berbagai hal dari wilayah se-Nusantara itu memiliki metode penulisan ilmiah yang dinilai melebihi zaman ketika itu. Naskah tersebut ditulis runut dan terperinci yang memberikan keterangan tersangkut nama naskah, parwa dan sargah (naskah), penyusun, sumber, alasan penyusunan, hingga tujuan penyusunan.
Dari ribuan naskah, baru 49 naskah yang ditemukan sejumlah pihak dari berbagai wilayah di Indonesia dan kini tersimpan di Museum Sri Baduga, Bandung. Pertama kali naskah ditemukan pada 1970 di Kabupaten Indramayu, sebelum kemudian penemuan naskah lainnya terjadi di sejumlah wilayah lain di Indonesia.
Filolog dan sejarawan Universitas Padjadjaran Undang Ahmad
Darsa saat menjadi pembicara dalam kegiatan itu membeberkan, sejumlah pihak menyebut naskah Pangeran Wangsakerta palsu. Alasan mereka beragam, seperti metode penyusunan naskah yang dianggap terlalu ilmiah pada zamannya, penggunaan kertas yang dinilai bukan berasal dari zaman tersebut, hingga tidak ada catatan dari pihak Belanda tentang peristiwa Gotrasawala yang menjadi dasar penyusunan ribuan naskah itu.
"Bagi sejarawan dan filolog yang kali pertama menemukan naskah-naskah itu, Atja, tuduhan palsu tersebut menyakitkan," ujar dia.
Menurut dia, Atja bahkan sampai mengeluarkan air mata menanggapi sikap skeptis sebagian kalangan yang meragukan naskah tersebut, hanya karena alasan penyusunan naskah yang dinilai lebih maju dan ilmiah dari zaman ketika itu. Padahal menurut Atja, hal yang dicurigai hingga menimbulkan dugaan palsu oleh sebagian pihak itu seolah memperlihatkan keraguan atas kualitas sosok Wangsakerta sebagai orang Cirebon, bahkan Indonesia.
Menurut Undang, jika mengamati agama yang dianut Pangeran Wangsakerta, metode penulisan yang digunakannya mengacu pada penyusunan hadist. Karena itu, dia memandang bukan metode penulisannya yang baru sama sekali, melainkan karena Pangeran Wangsakerta mengadopsi metode atau cara penulisan para perawi hadist.
Apalagi sejumlah naskah yang dijadikan rujukan penulisan naskah Pangeran Wangsakerta berwujud hingga kini. Sementara soal jenis kertas yang dipakai, menurut dia, zaman itu jenis kertas daluang, bukan hanya yang dibuat warga lokal yang dibuat dari kulit pohon saeh, tapi juga bisa diimpor dari Cina maupun Arab.
"Lalu soal kenapa tidak ada catatan dari pemerintah Belanda terkait dengan peristiwa besar itu, bisa dilihat dari situasi geopolitik, ekonomi, maupun sosial saat itu," kata dia.
Ketika itu, Cirebon merupakan salah satu kota yang masuk peta perdagangan dunia, sehingga sudah didatangi orang-orang dari berbagai negara. Apalagi saat itu, fokus Belanda masih pada upaya monopoli perdagangan sumber daya alam Indonesia.
Dia menyebutkan, untuk menjamin kredibilitas, kejujuran, dan objektivitas narasumber naskah, Pangeran Wangsakerta bahkan melakukan serangkaian seleksi ketat, semacam tes kebohongan. Seleksi itu mengadopsi para perawi hadist untuk menjamin validitas sebuah hadist yang merupakan ucapan atau kebiasaan Nabi Muhammad SAW yang juga dijadikan rujukan hukum bagi umat Islam.
Dia pun menambahkan, naskah-naskah hasil penulisan tim Pangeran Wangsakerta selalu disusun dalam tiga bagian berupa pendahuluan, pembahasan yang merupakan inti isi teks yang disusun kronologis, serta dan penutup. Bagian pendahuluan berupa judul karangan, beserta nomor parwa dan sargahnya, nama
penyusun dan identitas lain, sumber naskah, metode penyusunan, maupun doa keselamatan bagi penyusun dan pembaca.
Sedangkan bagian penutup menuturkan waktu selesainya penyusunan, tempat penyusunan, terkadang diungkap pula sumber penyusunan dan permohonan maaf penyusun apabila ada kesalahan, kekeliruan, atau kekurangan serta doa keselamatan bagi penyusun, pembaca serta penyimpan naskah.
Menurut dia, penyusunan naskah Pangeran Wangsakerta bahkan lebih lengkap dari metode penyusunan naskah sejarah modern. Dari naskah-naskah yang terkumpul, baru dapat diketahui peristiwa-peristiwa dan urutan pemerintahan raja-raja, lengkap dengan tahun pemerintahannya di beberapa daerah yakni Perlak, Samudera Pasai, Sriwijaya, Tatar Sunda, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banjarmasin, dan Nusa Bali.
"Dapat ditemukan juga kisah patriotik Sultan Ageng Tirtayasa dari Kerajaan Islam Surasowan Banten, juga tokoh Laksamana wanita Malahayati dari Kerajaan Aceh Darussalam, dan Patih Lambung Mangkurat dari Kerajaan Banjar. Penyebaran agama Islam di Pulau Jawa bahkan dipaparkannya sejak masa pemerintahan Darmawangsa, lengkap dengan mazhab yang dianut para penyiarnya," tutur dia.
Meski Undang meyakini kebenaran tokoh, kejadian, dan naskah-naskah Pangeran Wangsakerta, dia mengaku pembuktian kebenaran dari keyakinannya itu tetap perlu penelitian lebih lanjut sampai ada jawaban.
Festival Gotrasawala yang digagas seniman dan budayawan Cirebon berlangsung sejak pagi hingga sore, dengan tema Membuka Kembali
Pemikiran Pangeran Wangsakerta. Istilah 'gotrasawala' sendiri lebih mendekati pada kegiatan semacam semacam lokakarya kekeluargaan yang mengacu pada peristiwa berkumpulnya 70 utusan (ahli sejarah) dari berbagai kerajaan di Nusantara.
Tujuannya tak lain menelusuri dan menuliskan sejarah daerah se-Nusantara pada abad 18 di Keraton Kasepuhan Cirebon. Gotrasawala dipimpin Pangeran Wangsakerta dan dihadiri utusan peninjau dari negara lain seperti Mesir, Arab, India, Srilanka, Benggala, Campa, Cina, hingga Hujung Medini (Semenanjung Melayu) yang kemudian menghasilkan ribuan naskah.
Sementara itu, salah satu penggagas Festival Gotrasawala yang juga budayawan Cirebon Nurdin M Noer menyebut Pangeran Wangsakerta bukan sekedar tokoh masyarakat Cirebon. Dia dipandang sebagai sejarawan besar di zamannya sehingga selayaknya tercatat sebagai sejarawan Indonesia.
"Bukan saja Indonesia, Pangeran Wangsakerta layak jadi sejarawan dunia," cetus dia.
Terkait festival itu sendiri, dia mengatakan digelar secara swadaya bersama seniman dan budayawan Cirebon lain sebagai upaya memutus polemik terkait naskah-naskah Pangeran Wangsakerta.
Jika terus berpolemik, hal itu menurut dia akan menjadi dosa sejarah yang tak termaafkan. Di sisi lain, kegiatan itu juga diharap menjadi pengingat semua pihak agar lebih peduli pada sejarah.
(lal)