Manja dana otsus, Pemprov Aceh malas gali PAD
A
A
A
Sindonews.com - Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh masih sangat rendah dari tahun ke tahun, bahkan cenderung stagnan. Target PAD 2013 hanya menyumbang Rp1,2 triliun dari toral anggaran yang tercantum dalam dokumen Anggaran Pendapatan Belanja Aceh–Perubahan (APBA-P) senilai Rp12,39 triliun.
Pemerintah Aceh sedang berusaha mengoptimalkan sumber PAD. Kenyataan itu mencuat dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Public Expenditure Analysis and Capacity Strengthening Program (PECAPP) bersama Universitas Syiah Kuala dan Pemerintah Aceh di 3in1 Cafe, Banda Aceh.
Team Leader PECAPP, Syukriy Abdullah memaparkan, target PAD 2013 hanya sedikit lebih besar dari riil PAD 2012, yaitu Rp904 miliar. Sementara pada tahun 2008, rill PAD tercatat Rp638 miliar. “Dari tahun 2008, peningkatannya tidak signifikan,” ujarnya, Kamis (24/10/2013).
Sejak lima tahun terakhir, PAD Aceh hanya tumbuh sebesar 10,9 persen, jauh di bawah rata-rata nasional yang mencapai 19 persen. Bandingkan dengan Provinsi Kalimantan Timur yang PAD-nya tumbuh sebesar 30,7 persen pertahun dan Provinsi Lampung sebesar 29,5 persen.
Syukriy mengatakan, Aceh masih sangat tergantung pada pendanaan pusat melalui dana Otonomi Khusus (Otsus), belum dapat mengandalkan PAD-nya. Besarnya anggaran dari pusat tanpa kontrol yang baik, menimbulkan kemalasan fiskal di Aceh.
PECAPP merekomendasikan PAD Aceh perlu terus ditingkatkan melalui berbagai kajian dan kebijakan peningkatan pendapatan. “Juga perlu meninjau kembali portofolio investasi pemerintah serta pola dan mekanisme pelaporan dan pertanggung jawaban,” sebutnya.
Sementara itu Kepala Dinas Pendapatan Daerah, Muhammad mengakui pertumbuhan PAD yang cenderung stagnan. “Upaya-upaya peningkatan sedang kami dilakukan,” ujarnya.
Menurutnya, PAD yang berasal pajak dan retribusi, hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan, zakat, infaq dan sadaqah, lain-lain pendapatan asli Aceh yang sah, selama ini masih mengalami kendala. Beberapa di antaranya adalah; pemungutan Pajak Aceh belum berdasarkan teknologi informasi, tetapi masih bersifat manual.
Kemudian prasarana dan sarana yang ada di kantor-kantor Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) sangat terbatas.
Selajutnya, kata dia, juga kapasitas aparatur pemungut pendapatan masih belum memadai, pelayanan pemungutan pendapatan Aceh masih belum memenuhi standar pelayanan minimal. “Juga soal regulasi dan pemanfaatan kekayaan Aceh masih rendah,” ujarnya.
Diakui, pihaknya sedang berbenah dengan menerapkan teknologi informasi online berbasis data pada kantor-kantor SAMSAT. Juga melakukan pengkajian potensi yang dapat dijadikan objek retribusi pada SKPA-SKPA. “Kami juga terus menggali potensi PAD Aceh lainnya.”
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Abdullah Saleh menilai, terabaikannya pengelolaan PAD sebelumnya salah satu penyebabnya adalah sumber daya di dinas yang masih fokus kepada membelanjakan anggaran yang besar, belum sepadan dengan mencari pendapatan.
“Dulu Dinas Pendapatan dan Kekayaan Aceh dan Dinas Keuangan masih bergabung,” ujarnya.
Makanya dalam setahun terakhir Pemerintah Aceh kemudian memisahkan dua dinas tersebut seperti saat ini, agar menggali potensi PAD juga menjadi prioritas. “Kepada dinas pendapatan, kita gantungkan harapan itu, dapat betul-betul membenahi institusi dan meningkatkan PAD,” kata Abdullah.
Belum selesainya beberapa regulasi dari pemerintah pusat terkait kewenangan Aceh juga dinilai sebagai penyebab PAD Aceh belum optimal. Pihaknya sedang merampungkan regulasi terkait sumber pendapatan dan kewenangan Aceh di pusat.
“Termasuk kewenangan dalam bidang minyak dan gas serta pertanahan,” ujar Abdullah Saleh.
Pemerintah Aceh sedang berusaha mengoptimalkan sumber PAD. Kenyataan itu mencuat dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Public Expenditure Analysis and Capacity Strengthening Program (PECAPP) bersama Universitas Syiah Kuala dan Pemerintah Aceh di 3in1 Cafe, Banda Aceh.
Team Leader PECAPP, Syukriy Abdullah memaparkan, target PAD 2013 hanya sedikit lebih besar dari riil PAD 2012, yaitu Rp904 miliar. Sementara pada tahun 2008, rill PAD tercatat Rp638 miliar. “Dari tahun 2008, peningkatannya tidak signifikan,” ujarnya, Kamis (24/10/2013).
Sejak lima tahun terakhir, PAD Aceh hanya tumbuh sebesar 10,9 persen, jauh di bawah rata-rata nasional yang mencapai 19 persen. Bandingkan dengan Provinsi Kalimantan Timur yang PAD-nya tumbuh sebesar 30,7 persen pertahun dan Provinsi Lampung sebesar 29,5 persen.
Syukriy mengatakan, Aceh masih sangat tergantung pada pendanaan pusat melalui dana Otonomi Khusus (Otsus), belum dapat mengandalkan PAD-nya. Besarnya anggaran dari pusat tanpa kontrol yang baik, menimbulkan kemalasan fiskal di Aceh.
PECAPP merekomendasikan PAD Aceh perlu terus ditingkatkan melalui berbagai kajian dan kebijakan peningkatan pendapatan. “Juga perlu meninjau kembali portofolio investasi pemerintah serta pola dan mekanisme pelaporan dan pertanggung jawaban,” sebutnya.
Sementara itu Kepala Dinas Pendapatan Daerah, Muhammad mengakui pertumbuhan PAD yang cenderung stagnan. “Upaya-upaya peningkatan sedang kami dilakukan,” ujarnya.
Menurutnya, PAD yang berasal pajak dan retribusi, hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan, zakat, infaq dan sadaqah, lain-lain pendapatan asli Aceh yang sah, selama ini masih mengalami kendala. Beberapa di antaranya adalah; pemungutan Pajak Aceh belum berdasarkan teknologi informasi, tetapi masih bersifat manual.
Kemudian prasarana dan sarana yang ada di kantor-kantor Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) sangat terbatas.
Selajutnya, kata dia, juga kapasitas aparatur pemungut pendapatan masih belum memadai, pelayanan pemungutan pendapatan Aceh masih belum memenuhi standar pelayanan minimal. “Juga soal regulasi dan pemanfaatan kekayaan Aceh masih rendah,” ujarnya.
Diakui, pihaknya sedang berbenah dengan menerapkan teknologi informasi online berbasis data pada kantor-kantor SAMSAT. Juga melakukan pengkajian potensi yang dapat dijadikan objek retribusi pada SKPA-SKPA. “Kami juga terus menggali potensi PAD Aceh lainnya.”
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Abdullah Saleh menilai, terabaikannya pengelolaan PAD sebelumnya salah satu penyebabnya adalah sumber daya di dinas yang masih fokus kepada membelanjakan anggaran yang besar, belum sepadan dengan mencari pendapatan.
“Dulu Dinas Pendapatan dan Kekayaan Aceh dan Dinas Keuangan masih bergabung,” ujarnya.
Makanya dalam setahun terakhir Pemerintah Aceh kemudian memisahkan dua dinas tersebut seperti saat ini, agar menggali potensi PAD juga menjadi prioritas. “Kepada dinas pendapatan, kita gantungkan harapan itu, dapat betul-betul membenahi institusi dan meningkatkan PAD,” kata Abdullah.
Belum selesainya beberapa regulasi dari pemerintah pusat terkait kewenangan Aceh juga dinilai sebagai penyebab PAD Aceh belum optimal. Pihaknya sedang merampungkan regulasi terkait sumber pendapatan dan kewenangan Aceh di pusat.
“Termasuk kewenangan dalam bidang minyak dan gas serta pertanahan,” ujar Abdullah Saleh.
(rsa)