Yhosimune Yamada tersangka kasus damkar Rp900 juta
A
A
A
Sindonews.com - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan, menetapkan seorang warga negara Jepang atas nama Yhosimune Yamada sebagai tersangka kasus dugaan korupsi biaya transportasi pengangkutan hibah kendaraan pemadam kebakaran (damkar) di Kota Parepare tahun 2011 yang merugikan negara Rp900 juta.
Yhosimune yang mengaku sebagai Vice President Kobe Internasional Friendship Associtiation (KIFA) disebut-sebut menerima uang senilai Rp900 juta dalam tiga kali transfer melalui rekening di Bank Sulsel.
"Dia melakukan rekayasa, membuat seolah-olah damkar yang diangkut ke Parepare dari Jepang adalah pengadaan dan bukan bantuan hibah. Akibat perbuatannya, negara dirugikan Rp900 juta," ujar Kepala Seksi Penerangan Hukum (Penkum) Kejati Sulsel Nur Alim Rachim, kepada wartawan, Jumat (20/9/2013).
Ditambahkan dia, tim penyidik dibidang pidana khusus telah melakukan telaah hasil pemeriksaan terhadap tiga tersangka kasus dugaan korupsi biaya pengangkutan damkar hibah itu. Hasilnya, penyidik menemukan fakta pelanggaran yang dilakukan Yhosimune Yamada.
Dengan penetapan Yhosimune Yamada sebagai tersangka, Kejati Sulsel telah menetapkan empat tersangka. Masing-masing Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Parepare Imran Ramli, staf ahli Wali Kota Parepare yang juga mantan Kepala Inspektorat Badaruddin dan fasilitator Syahrul Ramadhan.
"Tersangka masih terbuka peluang akan bertambah, karena penyidikan masih berjalan. Tersangka bisa bertambah juga tergantung pada keterangan dari tersangka YY tadi," terangnya.
Berdasarkan keterangan Konsulat Jepang yang diterima penyidik Kejati Sulsel disebutkan, tersangka Yhosimune Yamada dahulu pernah berkecimpung dalam organisasi lingkungan hidup di Jepang.
Akan tetapi, saat ini Yhosimune tidak lagi tercatat dan tergabung dalam sebuah organisasi kemasyarakatan di Jepang. Apalagi sebuah organisasi atas nama negara Jepang dalam memberikan bantuan hibah. Organisasi KIFA dimana Yhosimune bertindak selaku Vice President juga sama sekali tidak terdaftar di Jepang.
Berdasarkan ketentuan, semua bantuan yang masuk ke Indonesia khususnya hibah, harusnya mengantongi rekomendasi dari KBRI.
Namun, Yhosimune Yamada yang menandatangani perjanjian kerjasama (Memorandum of Understanding/MoU) dengan Wali Kota Parepare, dalam materi MoU-nya juga tercantum pembiayaan-pembiayaan terhadap proses pengadaan Damkar.
"Seolah-olah ada pengadaan. Akan tetapi, kasus damkar ini hanyalah sarana bagi para tersangka (empat orang tersangka) untuk mendapatkan uang dari APBD secara tidak sah," ungkap Nur Alim.
Yhosimune menerima Rp900 juta dari Pemkot Parepare melalui tiga kali proses transfer di Bank Sulsel cabang Daya, Makassar. Dengan rincian transferan pertama sebesar Rp450 juta, transfer kedua senilai Rp250 juta, dan Rp200 juta. "Saat ini keberadaan Yhosimune belum diketahui.
"Setelah tiga kali panggilan tidak ada, maka akan ditetapkan sebagai DPO dan semua sumber daya kejaksaan akan dikerahkan untuk mencarinya," jelas mantan Kasi Intelijen Kejari Parepare tersebut.
Disisi lain, penuntasan kasus dugaan korupsi biaya transportasi pengangkutan hibah kendaraan damkar Parepare 2011 juga masih menunggu hasil audit dari Inspektorat Pemprov Sulsel. Pada proses penyelidikan kasus ini, tim penyidik menemukan adanya kemahalan harga pada biaya transportasi pengangkutan hibah kendaraan tersebut.
Kepastian adanya kemahalan harga tersebut, ditemukan pasca penyidik membandingkan harga pengangkutan damkar hibah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Bantaeng.
Diketahui, untuk pengangkutan kendaraan tiga unit damkar dari Jepang, Pemkab Bantaeng hanya menghabiskan dana sekitar Rp180 juta. Nilai tersebut jauh di bawah biaya yang dikeluarkan Pemkot Parepare untuk biaya angkut dua unit kendaraan hibah dari Jepang yang mencapai Rp900 juta.
Pada tahap penyidikan, Nur Alim menjelaskan, temuan terjadinya markup biaya pengangkutan damkar di Parepare tersebut menguatkan adanya kecurigaan kongkalikong. Selanjutnya, keterangan Yhosimune cukup penting, termasuk untuk menguak keterlibatan Wali Kota Sjamsu Alam.
Dari data kejaksaan diketahui, dana yang dialokasikan dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2011 bukan Rp900 juta dengan nomenklatur biaya pengangkutan. Akan tetapi, Rp900 juta dengan nomenklatur yang diubah menjadi pengadaan mobil pemadam kebakaran.
Anggaran tersebut kemudian melekat pada Dinas Pekerjaan Umum (PU). Selanjutnya, Dinas PU mencairkan seluruh anggaran tersebut untuk membiayai pengangkutan mobil damkar hibah dari Kobe Indonesia Friendship Association (KIFA). Kasus ini juga ikut menyeret nama Wali Kota Parepare Sjamsu Alam.
Diketahui, pada penanganan perkara dugaan penyelewengan dana transportasi hibah kendaraan damkar untuk Pemkot Parepare itu, penyidik bidang pidana khusus Kejati Sulsel terus mendalami aliran uang senilai Rp900 juta.
Hasil penyidikan yang dilakukan tim dibidang pidana khusus menunjukkan bukti kalau uang sebesar Rp900 juta tersebut tidak seluruhnya diserahkan kepada KIFA sebagai penyedia kendaraan damkar, tetapi diduga ada pihak lain yang menerima uang.
Koordinator Anti Corruption Committe (ACC) Sulawesi Abdul Mutthalib mendesak, pihak kejaksaan melakukan telaah terkait anggaran biaya untuk bantuan hibah yang diterima pemerintah kabupaten/kota di Sulsel.
Menurut dia, kasus dugaan korupsi anggaran biaya angkut kendaraan Damkar Parepare bisa menjadi pintu masuk adanya modus serupa yang digunakan pejabat daerah ataupun kepala daerah untuk melakukan tindak pidana korupsi.
"Tidak tertutup kemungkinan, modus serupa perkara ini terjadi didaerah lain," pungkasnya.
Yhosimune yang mengaku sebagai Vice President Kobe Internasional Friendship Associtiation (KIFA) disebut-sebut menerima uang senilai Rp900 juta dalam tiga kali transfer melalui rekening di Bank Sulsel.
"Dia melakukan rekayasa, membuat seolah-olah damkar yang diangkut ke Parepare dari Jepang adalah pengadaan dan bukan bantuan hibah. Akibat perbuatannya, negara dirugikan Rp900 juta," ujar Kepala Seksi Penerangan Hukum (Penkum) Kejati Sulsel Nur Alim Rachim, kepada wartawan, Jumat (20/9/2013).
Ditambahkan dia, tim penyidik dibidang pidana khusus telah melakukan telaah hasil pemeriksaan terhadap tiga tersangka kasus dugaan korupsi biaya pengangkutan damkar hibah itu. Hasilnya, penyidik menemukan fakta pelanggaran yang dilakukan Yhosimune Yamada.
Dengan penetapan Yhosimune Yamada sebagai tersangka, Kejati Sulsel telah menetapkan empat tersangka. Masing-masing Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Parepare Imran Ramli, staf ahli Wali Kota Parepare yang juga mantan Kepala Inspektorat Badaruddin dan fasilitator Syahrul Ramadhan.
"Tersangka masih terbuka peluang akan bertambah, karena penyidikan masih berjalan. Tersangka bisa bertambah juga tergantung pada keterangan dari tersangka YY tadi," terangnya.
Berdasarkan keterangan Konsulat Jepang yang diterima penyidik Kejati Sulsel disebutkan, tersangka Yhosimune Yamada dahulu pernah berkecimpung dalam organisasi lingkungan hidup di Jepang.
Akan tetapi, saat ini Yhosimune tidak lagi tercatat dan tergabung dalam sebuah organisasi kemasyarakatan di Jepang. Apalagi sebuah organisasi atas nama negara Jepang dalam memberikan bantuan hibah. Organisasi KIFA dimana Yhosimune bertindak selaku Vice President juga sama sekali tidak terdaftar di Jepang.
Berdasarkan ketentuan, semua bantuan yang masuk ke Indonesia khususnya hibah, harusnya mengantongi rekomendasi dari KBRI.
Namun, Yhosimune Yamada yang menandatangani perjanjian kerjasama (Memorandum of Understanding/MoU) dengan Wali Kota Parepare, dalam materi MoU-nya juga tercantum pembiayaan-pembiayaan terhadap proses pengadaan Damkar.
"Seolah-olah ada pengadaan. Akan tetapi, kasus damkar ini hanyalah sarana bagi para tersangka (empat orang tersangka) untuk mendapatkan uang dari APBD secara tidak sah," ungkap Nur Alim.
Yhosimune menerima Rp900 juta dari Pemkot Parepare melalui tiga kali proses transfer di Bank Sulsel cabang Daya, Makassar. Dengan rincian transferan pertama sebesar Rp450 juta, transfer kedua senilai Rp250 juta, dan Rp200 juta. "Saat ini keberadaan Yhosimune belum diketahui.
"Setelah tiga kali panggilan tidak ada, maka akan ditetapkan sebagai DPO dan semua sumber daya kejaksaan akan dikerahkan untuk mencarinya," jelas mantan Kasi Intelijen Kejari Parepare tersebut.
Disisi lain, penuntasan kasus dugaan korupsi biaya transportasi pengangkutan hibah kendaraan damkar Parepare 2011 juga masih menunggu hasil audit dari Inspektorat Pemprov Sulsel. Pada proses penyelidikan kasus ini, tim penyidik menemukan adanya kemahalan harga pada biaya transportasi pengangkutan hibah kendaraan tersebut.
Kepastian adanya kemahalan harga tersebut, ditemukan pasca penyidik membandingkan harga pengangkutan damkar hibah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Bantaeng.
Diketahui, untuk pengangkutan kendaraan tiga unit damkar dari Jepang, Pemkab Bantaeng hanya menghabiskan dana sekitar Rp180 juta. Nilai tersebut jauh di bawah biaya yang dikeluarkan Pemkot Parepare untuk biaya angkut dua unit kendaraan hibah dari Jepang yang mencapai Rp900 juta.
Pada tahap penyidikan, Nur Alim menjelaskan, temuan terjadinya markup biaya pengangkutan damkar di Parepare tersebut menguatkan adanya kecurigaan kongkalikong. Selanjutnya, keterangan Yhosimune cukup penting, termasuk untuk menguak keterlibatan Wali Kota Sjamsu Alam.
Dari data kejaksaan diketahui, dana yang dialokasikan dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2011 bukan Rp900 juta dengan nomenklatur biaya pengangkutan. Akan tetapi, Rp900 juta dengan nomenklatur yang diubah menjadi pengadaan mobil pemadam kebakaran.
Anggaran tersebut kemudian melekat pada Dinas Pekerjaan Umum (PU). Selanjutnya, Dinas PU mencairkan seluruh anggaran tersebut untuk membiayai pengangkutan mobil damkar hibah dari Kobe Indonesia Friendship Association (KIFA). Kasus ini juga ikut menyeret nama Wali Kota Parepare Sjamsu Alam.
Diketahui, pada penanganan perkara dugaan penyelewengan dana transportasi hibah kendaraan damkar untuk Pemkot Parepare itu, penyidik bidang pidana khusus Kejati Sulsel terus mendalami aliran uang senilai Rp900 juta.
Hasil penyidikan yang dilakukan tim dibidang pidana khusus menunjukkan bukti kalau uang sebesar Rp900 juta tersebut tidak seluruhnya diserahkan kepada KIFA sebagai penyedia kendaraan damkar, tetapi diduga ada pihak lain yang menerima uang.
Koordinator Anti Corruption Committe (ACC) Sulawesi Abdul Mutthalib mendesak, pihak kejaksaan melakukan telaah terkait anggaran biaya untuk bantuan hibah yang diterima pemerintah kabupaten/kota di Sulsel.
Menurut dia, kasus dugaan korupsi anggaran biaya angkut kendaraan Damkar Parepare bisa menjadi pintu masuk adanya modus serupa yang digunakan pejabat daerah ataupun kepala daerah untuk melakukan tindak pidana korupsi.
"Tidak tertutup kemungkinan, modus serupa perkara ini terjadi didaerah lain," pungkasnya.
(san)