3.840 warga di Pakenjeng Garut buta huruf
A
A
A
Sindonews.com - Sebanyak 3.840 warga, di Dusun Sukamaju, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut, hingga kini masih buta huruf. Ribuan warga di desa terpencil ini, tidak bisa membaca dan menulis, disebabkan oleh akses jalan yang minim.
Selain kondisi jalan setapak yang buruk, jarak antara dusun dengan sekolah terdekat berjarak 7 kilometer. Tokoh pemuda Dusun Sukamaju Tetep Taufiq (22) menuturkan, hal ini menjadi faktor utama para orangtua enggan menyekolahkan anak-anaknya.
"Apalagi pada musim hujan seperti saat ini, jalan yang hanya beralaskan tanah dan batu akan menjadi sangat licin sehingga dapat membahayakan para penggunanya," kata Tetep, kepada wartawan, kemarin.
Menurut Tetep, diperlukan waktu berjam-jam bagi anak-anak menuju ke sekolah. Bila masuk pagi, anak-anak harus berangkat dari rumah pukul 04.00 WIB dini hari.
"Berangkat jam 04.00 WIB saja sudah kesiangan, karena baru sampai di sekolah sekitar jam 08.00 WIB. Jadi bukan karena kesadaran warga untuk bersekolah atau menyekolahkan anaknya yang kurang. Namun, lebih kepada kondisi yang sangat menyulitkan," imbuh Tetep.
Meski demikian, lanjut dia, masyarakat masih dapat menggunakan angkutan ojek sebagai sarana transportasi menuju sekolah. Namun, biaya ongkos yang harus dikeluarkan untuk menggunakan ojek ini terbilang sangat mahal, yakni Rp30 ribu sekali berangkat.
"Ini jelas sangat memberatkan, jangankan untuk warga yang tinggal di daerah terpencil yang pengahasilannya hanya dari buruh tani, untuk masyarakat yang tinggal di kota besar saja hal ini juga pasti akan sangat menyulitkan," terangnya.
Lebih jauh Tetep menyebutkan, selain di Dusun Sukamaju, warga yang buta huruf juga dapat ditemukan di Dusun Pasirkaliki. Namun, bila dibandingkan dengan Dusun Sukamaju, jumlah warga yang buta huruf di dusun ini jauh lebih sedikit.
"Saya merasa sangat prihatin dengan kondisi warga di dua dusun tersebut. Oleh karena itu, saya minta pemerintah untuk segera turun tangan mengatasi tingginya angka buta huruf yang diakibatkan kondisi daerah sangat terpencil ini," tukasnya.
Selain kondisi jalan setapak yang buruk, jarak antara dusun dengan sekolah terdekat berjarak 7 kilometer. Tokoh pemuda Dusun Sukamaju Tetep Taufiq (22) menuturkan, hal ini menjadi faktor utama para orangtua enggan menyekolahkan anak-anaknya.
"Apalagi pada musim hujan seperti saat ini, jalan yang hanya beralaskan tanah dan batu akan menjadi sangat licin sehingga dapat membahayakan para penggunanya," kata Tetep, kepada wartawan, kemarin.
Menurut Tetep, diperlukan waktu berjam-jam bagi anak-anak menuju ke sekolah. Bila masuk pagi, anak-anak harus berangkat dari rumah pukul 04.00 WIB dini hari.
"Berangkat jam 04.00 WIB saja sudah kesiangan, karena baru sampai di sekolah sekitar jam 08.00 WIB. Jadi bukan karena kesadaran warga untuk bersekolah atau menyekolahkan anaknya yang kurang. Namun, lebih kepada kondisi yang sangat menyulitkan," imbuh Tetep.
Meski demikian, lanjut dia, masyarakat masih dapat menggunakan angkutan ojek sebagai sarana transportasi menuju sekolah. Namun, biaya ongkos yang harus dikeluarkan untuk menggunakan ojek ini terbilang sangat mahal, yakni Rp30 ribu sekali berangkat.
"Ini jelas sangat memberatkan, jangankan untuk warga yang tinggal di daerah terpencil yang pengahasilannya hanya dari buruh tani, untuk masyarakat yang tinggal di kota besar saja hal ini juga pasti akan sangat menyulitkan," terangnya.
Lebih jauh Tetep menyebutkan, selain di Dusun Sukamaju, warga yang buta huruf juga dapat ditemukan di Dusun Pasirkaliki. Namun, bila dibandingkan dengan Dusun Sukamaju, jumlah warga yang buta huruf di dusun ini jauh lebih sedikit.
"Saya merasa sangat prihatin dengan kondisi warga di dua dusun tersebut. Oleh karena itu, saya minta pemerintah untuk segera turun tangan mengatasi tingginya angka buta huruf yang diakibatkan kondisi daerah sangat terpencil ini," tukasnya.
(san)