Pemkot Surabaya ajukan revisi Perda IMB
A
A
A
Sindonews.com – Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya sedang menggodok aturan pembuatan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) serta dendanya. Karena saat ini aturan yang tertuang dalam Perda No 7 Tahun 2009 tentang IMB dianggap sudah tidak relevan lagi.
Dalam pengajuan revisinya, pemkot masih melakukan kajian soal besaran retribusi pembuatan IMB milik warga kota. Kemudian, besaran nilai denda maksimal Rp50 juta bagi pemilik bangunan yang tidak ber-IMB.
Selain itu, perlu tidaknya bangunan milik Pemerintah yang diswakelolakan ke swasta dikenai retribusi IMB.
Kepala Dinas Cipta Karya dan tata Ruang (DCKTR) Agus Imam Sonhaji mengakui kalau pengawasan pembangunan masih lemah. Ini karena tenaga kerja di dinasnya jumlahnya hanya 300 orang, sementara yang harus diawasi puluhan ribu titik. “Itu kondisi yang terjadi,” kata Agus, Senin (10/6/2013).
Ia juga menjelaskan terkait dengan denda Rp50 juta memang dianggap kecil oleh pengembang gedung-gedung di jalan-jalan protokol dan jalan lain di pusat kota. Sehingga, para pengembang berpendapat memilih membayar denda itu daripada mengikuti aturan Perda-nya. Atas kondisi itu, akhirnya pemkot merevisi Perda lagi.
“Kami harus merevisi, bagi mereka (pengembang) denda Rp50 juta langsung dibayar pengembang, meski bangunannya kedapatan melanggar Perda. Itu kan tidak adil namanya. Jadi, kami ingin keadilan di situ,” tegasnya.
Dengan ancaman denda miliaran rupiah, lanjutnya, pengembang tidak lagi dengan seenaknya membangun gedungnya. Mereka akan berpikir dua kali untuk melakukan pelanggaran tersebut. Paling tidak, ada pengendalian terhadap pelanggaran perda.
Dalam pengajuan revisinya, pemkot masih melakukan kajian soal besaran retribusi pembuatan IMB milik warga kota. Kemudian, besaran nilai denda maksimal Rp50 juta bagi pemilik bangunan yang tidak ber-IMB.
Selain itu, perlu tidaknya bangunan milik Pemerintah yang diswakelolakan ke swasta dikenai retribusi IMB.
Kepala Dinas Cipta Karya dan tata Ruang (DCKTR) Agus Imam Sonhaji mengakui kalau pengawasan pembangunan masih lemah. Ini karena tenaga kerja di dinasnya jumlahnya hanya 300 orang, sementara yang harus diawasi puluhan ribu titik. “Itu kondisi yang terjadi,” kata Agus, Senin (10/6/2013).
Ia juga menjelaskan terkait dengan denda Rp50 juta memang dianggap kecil oleh pengembang gedung-gedung di jalan-jalan protokol dan jalan lain di pusat kota. Sehingga, para pengembang berpendapat memilih membayar denda itu daripada mengikuti aturan Perda-nya. Atas kondisi itu, akhirnya pemkot merevisi Perda lagi.
“Kami harus merevisi, bagi mereka (pengembang) denda Rp50 juta langsung dibayar pengembang, meski bangunannya kedapatan melanggar Perda. Itu kan tidak adil namanya. Jadi, kami ingin keadilan di situ,” tegasnya.
Dengan ancaman denda miliaran rupiah, lanjutnya, pengembang tidak lagi dengan seenaknya membangun gedungnya. Mereka akan berpikir dua kali untuk melakukan pelanggaran tersebut. Paling tidak, ada pengendalian terhadap pelanggaran perda.
(ysw)