Tiga pelajar merampok
A
A
A
Sindonews.com – Ketua KPAID Kota Palembang Adi Sangadi menegaskan, aksi kejahatan yang dilakukan anak dapat terjadi karena faktor lingkungan dan tidak dipenuhinya hak-hak anak dalam keluarga atau persoalan tekanan ekonomi keluarga.
“Sebenarnya kompleks ketika membahas anak yang berhadapan dengan hukum. Satu sisi, anak melakukan penyimpangan atau kejahatan karena kurangnya perhatian dan belum dipenuhinya hak anak dalam keluarga sehingga memicu anak berbuat lebih diluar rumah,” ujar Adi menjelaskan, Senin 5 Maret 2012.
Orang tua,negara dan sekolah, kata dia,juga cukup memengaruhi perkembangan prilaku anak sedangkan lingkungan sosial dan pergaulan memengaruhi perkembangannya.
“Namun jika orang tua memiliki perhaian yang baik kepada anak meski hanya lima menit setiap hari berdiskusi dengan anak,maka kecil kemungkinan sang anak melakukan kenakalan,” tuturnya.
Sebab, kata dia,setiap anak akan memilikirkan orang tua yang sudah membesarkan dan mendidiknya.
“Tetapi jika perhatian kurang maka mereka akan mudah terpengaruh dengan lingkungan sekitar yang terkadang negatif,” jelasnya.
Sementara pengamat pendidikan IAIN Raden Fatah Jalaluddin menyatakan, aksi perampokan yang dilakukan tiga pelajar di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) tidak bisa serta merta menyalahkan sekolah.
“Perlu dilihat terlebih dahulu bagaimana latar belakang keluarga dan lingkungan pergaulan sang anak. bisa lihat apakah aksi perampokan atau kejahatan itu berdasarkan pengaruh pergaulan sehari-hari atau keadaan sosial budaya sang anak. Bisa jadi mereka terpengaruh lingkungan dan keluarga yang broken home atau latar belakang keluarga yang ‘keras’,” ujarnya menjelaskan.
Namun demikian,dia mengharapkan orang tua dan sekolah memiliki peran lebih dalam membentuk karakter anak supaya menjadi lebih baik. “Sekarang ini anak-anak paling hanya belajar 5,5 jam di sekolah dan sisanya di luar.Jadi kita tidak bisa menyalahkan sekolah.
Harus ada pola khusus dalam membimbing anak yakni hubungan sekolah dengan siswa, sekolah dengan orang tua dan sekolah dengan masyarakat. Sayangnya posisi guru saat ini tidak lagi seperti dahulu,” katanya.
Jika dahulu guru atau sekolah diberikan kepercayaan lebih mendidik anak, sekarang berkurang lantaran dibenturkan persoalan HAM.
“Jika guru memberikan pelajaran atau sanksi kepada siswa dengan mudah dibilang melanggar HAM,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Jalaluddin mengatakan, peranan orang tua sangat penting mendidik dan mengarahkan anak. Usia 0-7 tahun dengan metode bergurau, usia 8-15 tahun metode disiplin, dan usia 16-23 tahun dengan metode curhat sebagai teman. Jika begitu, maka akan dengan mudah orang tua menjalin komunikasi dan membimbing anak-anaknya menjadi baik,” tuturnya.
Sedangkan terkait persoalan hukum, Jalaluddin mengharapkan anak atau pelajar yang melakukan aksi kekerasan atau kejahatan diberikan sanksi penjeraan yaitu proses penyadaran agar dapat memperbaiki kesalahan.
“Namun, jika sudah sekian parah maka biasanya diproses secara hukum pidana. Mereka akan berurusan dengan polisi, pengadilan dan lapas anak,” pungkasnya.(azh)
“Sebenarnya kompleks ketika membahas anak yang berhadapan dengan hukum. Satu sisi, anak melakukan penyimpangan atau kejahatan karena kurangnya perhatian dan belum dipenuhinya hak anak dalam keluarga sehingga memicu anak berbuat lebih diluar rumah,” ujar Adi menjelaskan, Senin 5 Maret 2012.
Orang tua,negara dan sekolah, kata dia,juga cukup memengaruhi perkembangan prilaku anak sedangkan lingkungan sosial dan pergaulan memengaruhi perkembangannya.
“Namun jika orang tua memiliki perhaian yang baik kepada anak meski hanya lima menit setiap hari berdiskusi dengan anak,maka kecil kemungkinan sang anak melakukan kenakalan,” tuturnya.
Sebab, kata dia,setiap anak akan memilikirkan orang tua yang sudah membesarkan dan mendidiknya.
“Tetapi jika perhatian kurang maka mereka akan mudah terpengaruh dengan lingkungan sekitar yang terkadang negatif,” jelasnya.
Sementara pengamat pendidikan IAIN Raden Fatah Jalaluddin menyatakan, aksi perampokan yang dilakukan tiga pelajar di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) tidak bisa serta merta menyalahkan sekolah.
“Perlu dilihat terlebih dahulu bagaimana latar belakang keluarga dan lingkungan pergaulan sang anak. bisa lihat apakah aksi perampokan atau kejahatan itu berdasarkan pengaruh pergaulan sehari-hari atau keadaan sosial budaya sang anak. Bisa jadi mereka terpengaruh lingkungan dan keluarga yang broken home atau latar belakang keluarga yang ‘keras’,” ujarnya menjelaskan.
Namun demikian,dia mengharapkan orang tua dan sekolah memiliki peran lebih dalam membentuk karakter anak supaya menjadi lebih baik. “Sekarang ini anak-anak paling hanya belajar 5,5 jam di sekolah dan sisanya di luar.Jadi kita tidak bisa menyalahkan sekolah.
Harus ada pola khusus dalam membimbing anak yakni hubungan sekolah dengan siswa, sekolah dengan orang tua dan sekolah dengan masyarakat. Sayangnya posisi guru saat ini tidak lagi seperti dahulu,” katanya.
Jika dahulu guru atau sekolah diberikan kepercayaan lebih mendidik anak, sekarang berkurang lantaran dibenturkan persoalan HAM.
“Jika guru memberikan pelajaran atau sanksi kepada siswa dengan mudah dibilang melanggar HAM,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Jalaluddin mengatakan, peranan orang tua sangat penting mendidik dan mengarahkan anak. Usia 0-7 tahun dengan metode bergurau, usia 8-15 tahun metode disiplin, dan usia 16-23 tahun dengan metode curhat sebagai teman. Jika begitu, maka akan dengan mudah orang tua menjalin komunikasi dan membimbing anak-anaknya menjadi baik,” tuturnya.
Sedangkan terkait persoalan hukum, Jalaluddin mengharapkan anak atau pelajar yang melakukan aksi kekerasan atau kejahatan diberikan sanksi penjeraan yaitu proses penyadaran agar dapat memperbaiki kesalahan.
“Namun, jika sudah sekian parah maka biasanya diproses secara hukum pidana. Mereka akan berurusan dengan polisi, pengadilan dan lapas anak,” pungkasnya.(azh)
()