Suasana Asri Jalan Dago Selalu Mengundang untuk Datang
A
A
A
LAMPU hias berdesain art deco terpasang tampak eksotik, apalagi dipadu dengan pot bunga maksuba berwarna merah. Pemandangan ini serasi dengan jejeran pohon-pohon besar yang tegak menjulang di sepanjang jalan ini.
Kawasan asri ini sekelumit gambaran Jalan Dago, Kota Bandung, Jawa Barat. Sejumlah factory outlet (FO), pertokoan, dan restoran membuat jalan ini tak henti padat dengan kendaraan dan kunjungan wisatawan.
Jalan Dago memang terus mengundang untuk didatangi. Apalagi, bangunan-bangunan bisnis komersial di sepanjang jalan ini menawarkan wisata belanja dan kuliner yang beraneka ragam.
Setiap hari Minggu, Jalan Dago kian ramai, terutama ruas dari pertempatan Cikapayang hingga Jalan Merdeka-RE Martadinata. Ruas ini menjadi lokasi Car Free Day (CFD) atau Hari Tanpa Kendaraan Bermotor. Titik pusat CFD Dago berada di perempatan Cikapayang, di bawah flyover Pasupati yang selesai dibangun pada 2005.
Jalan Dago atau kini yang telah berubah nama menjadi Jalan Ir H Djuanda membentang dari persimpangan Jalan Merdeka-Riau hingga Dago Pakar. Telah lama pamor dan legenda jalan di utara Bandung ini cukup kuat. Jalan ini cukup lebar karena mencapai lebih dari 30 meter lengkap dengan trotoar yang tertata rapi. Yang membedakan dengan jalan lain, Jalan Dago dihiasi puluhan pohon besar menjulang tinggi berusia puluhan tahun.
Penggiat Komunitas Aleut, Ariyono Wahyu Widjajadi yang akrab disapa Alex mengatakan, berdasarkan toponimi atau penamaan sebuah tempat, terlacak bahwa kata "dago" yang berasal dari bahasa Sunda, artinya "menunggu".
Secara sejarah, dahulu, daerah ini seperti dikutip dari buku karya Haryanto Kunto berjudul Ramadhan di Priangan disebutkan bahwa Dago itu tempat orang saling menunggu warga atas untuk bersama-sama turun ke kawasan kota. Mereka harus saling menunggu lantaran kawasan utara Bandung rawan dari segi keamanan, baik dari gangguan hewan buas dan tindak kejahatan. "Jadi akan lebih aman jika bersama-sama atau tidak jalan sendirian," kata Alex, Senin (16/3).
Di kawasan Dago, ungkap Alex, terdapat satu kecamatan, yakni Coblong yang merupakan kampung tua di Kota Bandung. Dulu bahkan ada jalur jalan tradisional Bandung yang menghubungkan dengan jalan tradisional zaman Kerajaan Padjadjaran. Namun, saat ini Jalan Dago tak lagi menjadi satu-satunya lokasi favorit anak muda untuk nongkrong menghabiskan malam Minggu. Alex menilai, pergeseran itu terjadi karena saat ini banyak tempat baru sebagai pilihan hangout. Seperti kawasan Alun-alun Bandung dan tempat-tempat lain yang ditata sedemikian rupa oleh Pemkot Bandung sehingga memiliki daya tarik. Meski begitu, gengsi kawasan Dago sebagai permukiman masih tetap bertahan. Kawasan Bandung utara sejak zaman kolonial Belanda selalu prestise sebab dulu kawasan utara Bandung, terutama Dago, menjadi lokasi hunian orang Belanda, bukan pribumi yang sebagian besar berada di selatan Bandung.
Tak heran jika kawasan Dago dan sekitarnya dirancang secara matang, rumah-rumah teratur rapi, jalan-jalan lebar, dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti taman dan lain-lain.
Pada kurun 1900-1914, pemerintah kolonial Hindia Belanda atau pemerintah Gemeente Bandung memulai pembangunan Bandung. Pembangunan dilakukan seiring rencana pemerintah kolonial Belanda memindahkan ibu kota pemerintahan Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung. Sayangnya, upaya pemindahan ibu kota Hindia Belanda tersebut gagal terlaksana lantaran resesi ekonomi dunia atau dikenal dengan malaise. Resesi ekonomi ini dimulai dari kejatuhan pasar saham Amerika atau yang dikenal sebagai Black Tuesday.
Meski pemindahan ibu kota Hindia Belanda gagal, tetapi proyek pengembangan kota yang semula terfokus di Bandung tengah tetap dilaksanakan, diperluas ke utara, termasuk Dago dan sekitarnya. Pembangunan rumah peristirahatan milik Andre van der Brun pada 1905 menjadi penanda pembukaan kawasan Dago. Saat ini rumah peristirahatan tersebut masih berdiri, bersebelahan dengan Hotel Jayakarta.
Seiring dengan pembangunan rumah Andre van der Brun, pemerintah kolonial juga membangun Jalan Dago atau Dagoweg atau Dagostraat yang lebar. Pembangunan kawasan Dago, mengikuti sebuah perencanaan kota yang disusun Uitbreidingsplan Bandoeng Noord yang dirancang oleh AIA Bureau. Karena hawanya yang sejuk, pemerintah kolonial membangun Dago Tea House atau Dago Tee Huizz, sebuah tempat untuk kongko dan minum teh orang-orang Belanda.
Masih di Dago atas, Belanda juga membangun Sanatorium yang dikelola oleh Netherlands Rode Kruis di seberang rumah peristirahatan Andre van der Brun. Kini gedung tersebut dikelola oleh Palang Merah Indonesia (PMI). Pada kurun 1920-1940, pemerintah kolonial Hindia Belanda semakin giat melakukan pembangunan di kawasan Dago. Belanda membangun sarana pendidikan seperti Techniche Hoogeschool te Bandoeng atau Institut Teknologi Bandung (ITB) yang dibuka sejak 3 Juli 1920 dan menjadi perguruan teknik pertama di Hindia Belanda dan pembangunan SMAK Dago.
SMAK Dago memiliki bangunan terkenal, yaitu Lyceum Dago. Saat ini bangunan SMAK Dago digunakan sebagai SMAN 1 Bandung. Sedangkan Gedung Lyceum Dago berfungsi sebagai aula.
Ketika membangun Bandung, kawasan Bandung tengah jadi pusat pemerintahan, perkantoran, dan perdagangan. Sementara kawasan Bandung utara yang dikenal dengan sebutan Dagostraat atau Dagoweg dibangun dengan fungsi hunian, pendidikan, dan kesehatan.
Pada 1921 berdiri sebuah rumah sakit besar, RS Santo Boromeus. Rumah sakit ini merupakan pengembangan dari Poliklinik Insulinde di tepi Jalan Dago, tak jauh dari Kampus ITB. Kini Jalan Dago semakin berkembang. Jika sebelumnya lebar trotoar hanya 3 meter, kini menjadi lebih dari 5 meter. Tak hanya itu, trotoar di sepanjang Jalan Dago juga dilengkapi dengan tempat duduk taman.
Penataan kawasan Dago oleh Pemkot Bandung sebenarnya menjadi harapan baru bagi kawasan lain. Pada 2017, saat Ridwan Kamil menjabat sebagai wali Kota Bandung, ada upaya membuat monumen sebagai penanda kawasan kota lama. Monumen-monumen kecil tersebut saat ini berdiri di persimpangan Jalan Dago, Riau, dan Sudirman. Tapi, yang perlu terus dikejar untuk diimplementasikan adalah tentang Peraturan Tanda dan Pengelolaan Kawasan Bangunan Cagar Budaya.
Kepala Bidang Pemasaran Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bandung Nanang Sadikin mengakui Dago menjadi wajah atas tren Bandung. Misalnya ketika dulu ramai FO, kawasan ini pun banyak bermunculan FO di situ. “Begitupun ketika ramai tempat kuliner, atau hotel saat ini. Dago masih menjadi pusat kunjungan turis," kata dia.
Menurut dia, Pemkot Bandung terus mempercantik kawasan ini. Banyak ornamen dan fasilitas. Seperti pembangunan jalan umum yang dibuat klasik, kemudian pot gantung, serta trotoar yang luas. Bahkan, dilengkapi kursi besi dan meja di sekitar trotoar.
Kendati kawasan Dago menjadi daya ungkit wisata, namun pihaknya tidak spesifik melakukan pengembangan jalan ini saja karena di Bandung cukup banyak jalan yang bernilai sejarah. Selain Dago, ada juga Jalan Kiaracondong, Asia Afrika, dan lainnya. (Agus Warsudi/Arif Budianto)
Kawasan asri ini sekelumit gambaran Jalan Dago, Kota Bandung, Jawa Barat. Sejumlah factory outlet (FO), pertokoan, dan restoran membuat jalan ini tak henti padat dengan kendaraan dan kunjungan wisatawan.
Jalan Dago memang terus mengundang untuk didatangi. Apalagi, bangunan-bangunan bisnis komersial di sepanjang jalan ini menawarkan wisata belanja dan kuliner yang beraneka ragam.
Setiap hari Minggu, Jalan Dago kian ramai, terutama ruas dari pertempatan Cikapayang hingga Jalan Merdeka-RE Martadinata. Ruas ini menjadi lokasi Car Free Day (CFD) atau Hari Tanpa Kendaraan Bermotor. Titik pusat CFD Dago berada di perempatan Cikapayang, di bawah flyover Pasupati yang selesai dibangun pada 2005.
Jalan Dago atau kini yang telah berubah nama menjadi Jalan Ir H Djuanda membentang dari persimpangan Jalan Merdeka-Riau hingga Dago Pakar. Telah lama pamor dan legenda jalan di utara Bandung ini cukup kuat. Jalan ini cukup lebar karena mencapai lebih dari 30 meter lengkap dengan trotoar yang tertata rapi. Yang membedakan dengan jalan lain, Jalan Dago dihiasi puluhan pohon besar menjulang tinggi berusia puluhan tahun.
Penggiat Komunitas Aleut, Ariyono Wahyu Widjajadi yang akrab disapa Alex mengatakan, berdasarkan toponimi atau penamaan sebuah tempat, terlacak bahwa kata "dago" yang berasal dari bahasa Sunda, artinya "menunggu".
Secara sejarah, dahulu, daerah ini seperti dikutip dari buku karya Haryanto Kunto berjudul Ramadhan di Priangan disebutkan bahwa Dago itu tempat orang saling menunggu warga atas untuk bersama-sama turun ke kawasan kota. Mereka harus saling menunggu lantaran kawasan utara Bandung rawan dari segi keamanan, baik dari gangguan hewan buas dan tindak kejahatan. "Jadi akan lebih aman jika bersama-sama atau tidak jalan sendirian," kata Alex, Senin (16/3).
Di kawasan Dago, ungkap Alex, terdapat satu kecamatan, yakni Coblong yang merupakan kampung tua di Kota Bandung. Dulu bahkan ada jalur jalan tradisional Bandung yang menghubungkan dengan jalan tradisional zaman Kerajaan Padjadjaran. Namun, saat ini Jalan Dago tak lagi menjadi satu-satunya lokasi favorit anak muda untuk nongkrong menghabiskan malam Minggu. Alex menilai, pergeseran itu terjadi karena saat ini banyak tempat baru sebagai pilihan hangout. Seperti kawasan Alun-alun Bandung dan tempat-tempat lain yang ditata sedemikian rupa oleh Pemkot Bandung sehingga memiliki daya tarik. Meski begitu, gengsi kawasan Dago sebagai permukiman masih tetap bertahan. Kawasan Bandung utara sejak zaman kolonial Belanda selalu prestise sebab dulu kawasan utara Bandung, terutama Dago, menjadi lokasi hunian orang Belanda, bukan pribumi yang sebagian besar berada di selatan Bandung.
Tak heran jika kawasan Dago dan sekitarnya dirancang secara matang, rumah-rumah teratur rapi, jalan-jalan lebar, dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti taman dan lain-lain.
Pada kurun 1900-1914, pemerintah kolonial Hindia Belanda atau pemerintah Gemeente Bandung memulai pembangunan Bandung. Pembangunan dilakukan seiring rencana pemerintah kolonial Belanda memindahkan ibu kota pemerintahan Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung. Sayangnya, upaya pemindahan ibu kota Hindia Belanda tersebut gagal terlaksana lantaran resesi ekonomi dunia atau dikenal dengan malaise. Resesi ekonomi ini dimulai dari kejatuhan pasar saham Amerika atau yang dikenal sebagai Black Tuesday.
Meski pemindahan ibu kota Hindia Belanda gagal, tetapi proyek pengembangan kota yang semula terfokus di Bandung tengah tetap dilaksanakan, diperluas ke utara, termasuk Dago dan sekitarnya. Pembangunan rumah peristirahatan milik Andre van der Brun pada 1905 menjadi penanda pembukaan kawasan Dago. Saat ini rumah peristirahatan tersebut masih berdiri, bersebelahan dengan Hotel Jayakarta.
Seiring dengan pembangunan rumah Andre van der Brun, pemerintah kolonial juga membangun Jalan Dago atau Dagoweg atau Dagostraat yang lebar. Pembangunan kawasan Dago, mengikuti sebuah perencanaan kota yang disusun Uitbreidingsplan Bandoeng Noord yang dirancang oleh AIA Bureau. Karena hawanya yang sejuk, pemerintah kolonial membangun Dago Tea House atau Dago Tee Huizz, sebuah tempat untuk kongko dan minum teh orang-orang Belanda.
Masih di Dago atas, Belanda juga membangun Sanatorium yang dikelola oleh Netherlands Rode Kruis di seberang rumah peristirahatan Andre van der Brun. Kini gedung tersebut dikelola oleh Palang Merah Indonesia (PMI). Pada kurun 1920-1940, pemerintah kolonial Hindia Belanda semakin giat melakukan pembangunan di kawasan Dago. Belanda membangun sarana pendidikan seperti Techniche Hoogeschool te Bandoeng atau Institut Teknologi Bandung (ITB) yang dibuka sejak 3 Juli 1920 dan menjadi perguruan teknik pertama di Hindia Belanda dan pembangunan SMAK Dago.
SMAK Dago memiliki bangunan terkenal, yaitu Lyceum Dago. Saat ini bangunan SMAK Dago digunakan sebagai SMAN 1 Bandung. Sedangkan Gedung Lyceum Dago berfungsi sebagai aula.
Ketika membangun Bandung, kawasan Bandung tengah jadi pusat pemerintahan, perkantoran, dan perdagangan. Sementara kawasan Bandung utara yang dikenal dengan sebutan Dagostraat atau Dagoweg dibangun dengan fungsi hunian, pendidikan, dan kesehatan.
Pada 1921 berdiri sebuah rumah sakit besar, RS Santo Boromeus. Rumah sakit ini merupakan pengembangan dari Poliklinik Insulinde di tepi Jalan Dago, tak jauh dari Kampus ITB. Kini Jalan Dago semakin berkembang. Jika sebelumnya lebar trotoar hanya 3 meter, kini menjadi lebih dari 5 meter. Tak hanya itu, trotoar di sepanjang Jalan Dago juga dilengkapi dengan tempat duduk taman.
Penataan kawasan Dago oleh Pemkot Bandung sebenarnya menjadi harapan baru bagi kawasan lain. Pada 2017, saat Ridwan Kamil menjabat sebagai wali Kota Bandung, ada upaya membuat monumen sebagai penanda kawasan kota lama. Monumen-monumen kecil tersebut saat ini berdiri di persimpangan Jalan Dago, Riau, dan Sudirman. Tapi, yang perlu terus dikejar untuk diimplementasikan adalah tentang Peraturan Tanda dan Pengelolaan Kawasan Bangunan Cagar Budaya.
Kepala Bidang Pemasaran Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bandung Nanang Sadikin mengakui Dago menjadi wajah atas tren Bandung. Misalnya ketika dulu ramai FO, kawasan ini pun banyak bermunculan FO di situ. “Begitupun ketika ramai tempat kuliner, atau hotel saat ini. Dago masih menjadi pusat kunjungan turis," kata dia.
Menurut dia, Pemkot Bandung terus mempercantik kawasan ini. Banyak ornamen dan fasilitas. Seperti pembangunan jalan umum yang dibuat klasik, kemudian pot gantung, serta trotoar yang luas. Bahkan, dilengkapi kursi besi dan meja di sekitar trotoar.
Kendati kawasan Dago menjadi daya ungkit wisata, namun pihaknya tidak spesifik melakukan pengembangan jalan ini saja karena di Bandung cukup banyak jalan yang bernilai sejarah. Selain Dago, ada juga Jalan Kiaracondong, Asia Afrika, dan lainnya. (Agus Warsudi/Arif Budianto)
(ysw)