Pelajar Bunuh Begal yang Akan Memperkosa Divonis Bersalah, Dihukum Pembinaan
A
A
A
MALANG - Pelajar asal Gondanglegi, Kabupaten Malang, berinisial ZA (17) yang membunuh begal akhirnya diputus bersalah oleh hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Kepanjen, Nuny Defiary. Sidang dengan agenda pembacaan keputusan hakim tersebut, digelar pada Kamis (23/1/2020), dimulai sekitar pukul 10.15 WIB, dan berakhir pukul 11.04 WIB. (Berita terkait: Pelajar Bunuh Begal Dituntut Hukuman Penjara Seumur Hidup)
Dalam putusan yang dibacakannya, Nuny Defiary menegaskan, dari hasil proses persidangan, perbuatan yang dilakukan ZA memenuhi unsur penganiayaan hingga menyebabkan kematian.
"Bahwa saat kejadian, korban Misnan, dan saksi Mamad tidak membawa senjata atau alat yang dapat membahayakan anak atau anak saksi. Bahwa korban Misnan dan saksi tidak menyentuh atau menahan secara fisik anak dan anak saksi untuk melarikan diri. Maka, perbuatan anak bukanlah perbuatan terpaksa," terang Nuny dalam amar putusan yang dibacakannya dipersidangan.
Sementara terkait permintaan bersetubuh yang dilakukan korban kepada teman perempuan ZA, hakim menyebutkan, bahwa korban Misnan, dan saksi Mamad menyampaikan hal itu tanpa disertai tindakan.
Korban dan saksi melakukan upaya tersebut, dengan menyampaikan permintaan berulang kali dan dinegosiasikan kepada ZA. "Korban Misnan, dan saksi Mamad sendiri, sampai selama rentang waktu tiga jam tidak sekalipun menyentuh atau melecehkan secara fisik anak saksi," terang Hakim.
Selain itu, hakim juga menimbang, bahwa ZA melakukan perbuatannya tidak dalam kondisi terguncang hebat, dikarenakan ZA dengan tenang mengambil pisau di jok motornya dan menyembunyikannya di balik badannya, serta dengan sabar menunggu waktu yang tepat untuk melakukan perbuatannya. Selain itu juga tidak ada pernyataan dari ahli, yang menyatakan sebaliknya terkait perasaan terguncang yang dialami oleh ZA.
"Atas dasar di atas, hakim berpendapat bahwa perbuatan anak bukanlah pembelaan darurat yang melampaui batas. Menimbang bahwa semua unsur Pasal 351 Ayat 3 KUHP telah terpenuhi. Dan dalam persidangan hakim tidak menemukam hal-hal yang dapat menghapus pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar atau alasan pemaaf, maka anak harus mempertanggung jawabkan perbuatannya," tegas Nuny.
"Menimbang bahwa anak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana," imbuhnya.
Hal-hal yang menurut hakim memberatkan, yakni perbuatan ZA dapat menjadi preseden yang buruk pada masyarakat. Perbuatan ZA, menyebabkan anak dari korban yang masih kecil harus hidup tanpa orangtua atau ayahnya.
Sementara, hal-hal yang meringankan adalah, ZA belum pernah dijatuhi pidana. ZA berperilaku sopan selama jalannya persidangan. Selain itu, ZA dinilai memiliki potensi dan bakat yang berguna bagi masa depannya, serta memiliki kepribadian yang baik di lingkungan sekolah dan rumahnya.
"Pidana terhadap anak (ZA), bukan sebagai pembalasan atas perbuatan yang dilakukannya. Melainkan hukuman itu sebagai pembinaan terhadap diri anak dengan tujuan anak (ZA) menyadari kesalahannya, sehingga dapat memberpaiki tingkah lakunya dikemudian hari," tegas hakim.
"Oleh karena itu, menyatakan anak (ZA) terbukti sah melakukan tindak pidana penganiayaan menyebabkan kematian. Menjatuhkan pidana pada anak dengan pidana pembinaan dalan lembaga di Lembaga Kemasyarakatan Sosial Anak (LKSA) Darul Aitam Wajak, Kabupaten Malang, selama satu tahun.
Memerintahkan pembimbing kemasyarakatan mendampingi dan mengawasi anak (ZA) selama menjalani masa bimbingan dan melaporkan perkembangan anak kepada jaksa di Kabupaten Malang," pungkasnya.
Kuasa Hukum Nyatakan Pikir-pikir
Hakim tunggal PN Malang, Nuny Defiary telah memutuskan ZA (17) bersalah, dalam kasus penganiayaan hingga menyebabkan korbannya meninggal dunia.
Keputusan tersebut, sama dengan tuntutan yang diajukan tim jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Kepanjen, yang menyebutkan ZA telah melanggar Pasal 351 Ayat 3 KUHP.
Menyikapi keputusan hakim PN Kepanjen, kuasa hukum ZA, Bakti Riza Hidayat menegaskan, pihaknya dan keluarga ZA masih pikir-pikir. "Kami masih memiliki waktu sekitar tujuh hari, untuk mempertimbangkan keputusan majelis hakim," tegasnya.
Dia menyatakan, sangat menghormati prosedur hukum yang telah dijalankan PN Kepanjen, dalam penanganan kasus yang menjerat ZA. Tetapi, terkait keputusan hakim, tentunya kuasa hukum dan keluarga ZA memiliki pertimbangan khusus.
"Keputusan hakim yang menyatakan ZA bersalah dengan melanggar Pasal 351 ayat 3 KUHP, tetapi tidak berpikir dengan Pasal 49 ayat 1 dan ayat 2 KUHP untuk dijadikan pertimbangan sebagai unsur pembenar dan pemaaf, masih perlu untuk dikaji ulang," tegas Bakti, seusai jalannya persidangan.
Sementara tim JPU Kejari Kepanjen, yang beranggotakan dua orang, memilih untuk tidak berkomentar terkait putusan hakim PN Kepanjen. Dia hanya meminta untuk menanyakan langsung ke Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejari Malang.
Pross Pembinaan ZA Tunggu Putusan Hukum Tetap
Pelajar berinisial ZA (17) yang telah divonis bersalah oleh hakim PN Kepanjen, dinyatakan untuk mendapatkan pembinaan selama satu tahun di Lembaga Kemasyarakatan Sosial Anak (LKSA) Darul Aitam Wajak, Kabupaten Malang.
Proses pembinaannya berada di bawah tanggungjawab Balai Pemasyarakatan (Bapas) Malang. Namun, menurut Pembimbing Kemasyarakatan (PK ) Madya Bapas Malang, Indung Budianto, proses pembinaan itu tidak bisa langsung dilakukan, karena masih menunggu hasil putusan tetap.
"Proses pembinaannya kita tunggu hasil putusan hukum tetap. Sekaran prosesnya masih selesai pembacaan putusan hakim. Masih ada waktu tujuh hari ke depan, untuk menlanjutkan proses hukum atau tidak," tuturnya.
Nantinya apabila ada putusan hukum tetap, lanjut Indung, ZA akan ditempatkan di LKSA Darul Aitam, layaknya sedang menjalani proses pembinaan di pondok pesantren, hanya saja saat waktunya sekolah ZA akan diperbolehkan untuk sekolah.
"Teknisnya nanti kita pikirkan dan bahas bersama orang tua ZA. Pastinya akan ada pengawasan, dan layanan antar jeput dari LKSA Darul Aitam ke sekolah. Semua proses akan kita awasi, sampai proses pembinaan tersebut selesai," ungkapnya.
Dia juga memastikan, selama proses persidangan kondisi kejiwaan ZA normal. Meski demikian, ZA tetap akan mendapatkan penanganan secara psikologis agar tetap semangat dalam menempuh pendidikan.
Dalam putusan yang dibacakannya, Nuny Defiary menegaskan, dari hasil proses persidangan, perbuatan yang dilakukan ZA memenuhi unsur penganiayaan hingga menyebabkan kematian.
"Bahwa saat kejadian, korban Misnan, dan saksi Mamad tidak membawa senjata atau alat yang dapat membahayakan anak atau anak saksi. Bahwa korban Misnan dan saksi tidak menyentuh atau menahan secara fisik anak dan anak saksi untuk melarikan diri. Maka, perbuatan anak bukanlah perbuatan terpaksa," terang Nuny dalam amar putusan yang dibacakannya dipersidangan.
Sementara terkait permintaan bersetubuh yang dilakukan korban kepada teman perempuan ZA, hakim menyebutkan, bahwa korban Misnan, dan saksi Mamad menyampaikan hal itu tanpa disertai tindakan.
Korban dan saksi melakukan upaya tersebut, dengan menyampaikan permintaan berulang kali dan dinegosiasikan kepada ZA. "Korban Misnan, dan saksi Mamad sendiri, sampai selama rentang waktu tiga jam tidak sekalipun menyentuh atau melecehkan secara fisik anak saksi," terang Hakim.
Selain itu, hakim juga menimbang, bahwa ZA melakukan perbuatannya tidak dalam kondisi terguncang hebat, dikarenakan ZA dengan tenang mengambil pisau di jok motornya dan menyembunyikannya di balik badannya, serta dengan sabar menunggu waktu yang tepat untuk melakukan perbuatannya. Selain itu juga tidak ada pernyataan dari ahli, yang menyatakan sebaliknya terkait perasaan terguncang yang dialami oleh ZA.
"Atas dasar di atas, hakim berpendapat bahwa perbuatan anak bukanlah pembelaan darurat yang melampaui batas. Menimbang bahwa semua unsur Pasal 351 Ayat 3 KUHP telah terpenuhi. Dan dalam persidangan hakim tidak menemukam hal-hal yang dapat menghapus pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar atau alasan pemaaf, maka anak harus mempertanggung jawabkan perbuatannya," tegas Nuny.
"Menimbang bahwa anak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana," imbuhnya.
Hal-hal yang menurut hakim memberatkan, yakni perbuatan ZA dapat menjadi preseden yang buruk pada masyarakat. Perbuatan ZA, menyebabkan anak dari korban yang masih kecil harus hidup tanpa orangtua atau ayahnya.
Sementara, hal-hal yang meringankan adalah, ZA belum pernah dijatuhi pidana. ZA berperilaku sopan selama jalannya persidangan. Selain itu, ZA dinilai memiliki potensi dan bakat yang berguna bagi masa depannya, serta memiliki kepribadian yang baik di lingkungan sekolah dan rumahnya.
"Pidana terhadap anak (ZA), bukan sebagai pembalasan atas perbuatan yang dilakukannya. Melainkan hukuman itu sebagai pembinaan terhadap diri anak dengan tujuan anak (ZA) menyadari kesalahannya, sehingga dapat memberpaiki tingkah lakunya dikemudian hari," tegas hakim.
"Oleh karena itu, menyatakan anak (ZA) terbukti sah melakukan tindak pidana penganiayaan menyebabkan kematian. Menjatuhkan pidana pada anak dengan pidana pembinaan dalan lembaga di Lembaga Kemasyarakatan Sosial Anak (LKSA) Darul Aitam Wajak, Kabupaten Malang, selama satu tahun.
Memerintahkan pembimbing kemasyarakatan mendampingi dan mengawasi anak (ZA) selama menjalani masa bimbingan dan melaporkan perkembangan anak kepada jaksa di Kabupaten Malang," pungkasnya.
Kuasa Hukum Nyatakan Pikir-pikir
Hakim tunggal PN Malang, Nuny Defiary telah memutuskan ZA (17) bersalah, dalam kasus penganiayaan hingga menyebabkan korbannya meninggal dunia.
Keputusan tersebut, sama dengan tuntutan yang diajukan tim jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Kepanjen, yang menyebutkan ZA telah melanggar Pasal 351 Ayat 3 KUHP.
Menyikapi keputusan hakim PN Kepanjen, kuasa hukum ZA, Bakti Riza Hidayat menegaskan, pihaknya dan keluarga ZA masih pikir-pikir. "Kami masih memiliki waktu sekitar tujuh hari, untuk mempertimbangkan keputusan majelis hakim," tegasnya.
Dia menyatakan, sangat menghormati prosedur hukum yang telah dijalankan PN Kepanjen, dalam penanganan kasus yang menjerat ZA. Tetapi, terkait keputusan hakim, tentunya kuasa hukum dan keluarga ZA memiliki pertimbangan khusus.
"Keputusan hakim yang menyatakan ZA bersalah dengan melanggar Pasal 351 ayat 3 KUHP, tetapi tidak berpikir dengan Pasal 49 ayat 1 dan ayat 2 KUHP untuk dijadikan pertimbangan sebagai unsur pembenar dan pemaaf, masih perlu untuk dikaji ulang," tegas Bakti, seusai jalannya persidangan.
Sementara tim JPU Kejari Kepanjen, yang beranggotakan dua orang, memilih untuk tidak berkomentar terkait putusan hakim PN Kepanjen. Dia hanya meminta untuk menanyakan langsung ke Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejari Malang.
Pross Pembinaan ZA Tunggu Putusan Hukum Tetap
Pelajar berinisial ZA (17) yang telah divonis bersalah oleh hakim PN Kepanjen, dinyatakan untuk mendapatkan pembinaan selama satu tahun di Lembaga Kemasyarakatan Sosial Anak (LKSA) Darul Aitam Wajak, Kabupaten Malang.
Proses pembinaannya berada di bawah tanggungjawab Balai Pemasyarakatan (Bapas) Malang. Namun, menurut Pembimbing Kemasyarakatan (PK ) Madya Bapas Malang, Indung Budianto, proses pembinaan itu tidak bisa langsung dilakukan, karena masih menunggu hasil putusan tetap.
"Proses pembinaannya kita tunggu hasil putusan hukum tetap. Sekaran prosesnya masih selesai pembacaan putusan hakim. Masih ada waktu tujuh hari ke depan, untuk menlanjutkan proses hukum atau tidak," tuturnya.
Nantinya apabila ada putusan hukum tetap, lanjut Indung, ZA akan ditempatkan di LKSA Darul Aitam, layaknya sedang menjalani proses pembinaan di pondok pesantren, hanya saja saat waktunya sekolah ZA akan diperbolehkan untuk sekolah.
"Teknisnya nanti kita pikirkan dan bahas bersama orang tua ZA. Pastinya akan ada pengawasan, dan layanan antar jeput dari LKSA Darul Aitam ke sekolah. Semua proses akan kita awasi, sampai proses pembinaan tersebut selesai," ungkapnya.
Dia juga memastikan, selama proses persidangan kondisi kejiwaan ZA normal. Meski demikian, ZA tetap akan mendapatkan penanganan secara psikologis agar tetap semangat dalam menempuh pendidikan.
(sms)