Polemik Tanah Ulayat di Manggarai NTT, Sejumlah Tokoh Adat Ungkap Sejarah

Rabu, 15 Januari 2020 - 14:46 WIB
Polemik Tanah Ulayat di Manggarai NTT, Sejumlah Tokoh Adat Ungkap Sejarah
Polemik Tanah Ulayat di Manggarai NTT, Sejumlah Tokoh Adat Ungkap Sejarah
A A A
LABUAN BAJO - Sengketa tanah di NTT kerap kali terjadi, kejadian di Kabupaten Manggarai Barat, NTT misalnya, masyarakat sering diributkan tentang pengertian Batas Persehatian antara desa. Seperti kejadian antara Desa Nangalili dan Desa Surunumbeng, Kecamatan Lembor Selatan, Kabupaten Manggarai Barat menuai polemik di tengah masyarakat adat. (Baca: Rini Berharap Marina Labuan Bajo Dapat Dimanfaatkan Semua Kalangan)

Polemik terjadi ketika penetapan persatian batas antara Desa Nangalili dan Desa Surunumbeng tahun 1992 ‘melangkahi’ daerah kekuasaan Ulayat Kampung Kaca Desa Surunumbeng.

Menanggapi polemik yang mencuat ditengah masyarakat, Bupati Manggarai Barat, Agustinus Ch, Dula menjelaskan, pihak Pemkab Manggarai Barat telah berinisiatif melakukan mediasi kedua belah pihak pada Selasa (14/1/2020) kemarin yang dihadiri beberapa saksi adat terkait, di kantor daerah Kabupaten Manggarai Barat untuk dimintai keterangan serta sejarah adat terkait kepemilikan ulayat.

Menurut saksi hidup, tua gendang Amba, Petrus (pemuka adat Kampung Amba) menjelaskan bahwa pada saat itu sejumlah masyarakat menanyakan kepada pemerintah terhadap penetapan persatian yang melewati batas ulayat.

“Saya termasuk orang yang bertanya kepada Camat Leo Manek, apakah nanti hak ulayat tidak hilang karena persatian batas ini melewati batas Ulayat Kampung Kaca?. Menurut camat masa itu, bahwa persatian batas tidak serta menghilangkan hak ulayat,” jelas Petrus dihadapan Bupati Manggarai Barat dan perwakilan kelompok adat dari kampung Kaca Surunumbeng, Kampung Kendol Nangalii maupun para saksi adat dari beberapa kampung lainya.

Sementara itu, Masni, tokoh adat Kampung Kendol, Nangalili menjelaskan kronologis kepemilikan ulayat tanah yang terletak di Lingko Sumur itu. Menurutnya, tanah tersebut merupakan warisan leluhurnya.

“Saya adalah keturunan ketujuh dari moyang saya, tanah itu sudah ada sejak dahulu kala. Leluhur saya menceritakan bahwa dari Kendol sampai Lingko Sumur adalah warisan milik kami,” tegas Masni.

Menanggapi pernyataan Masni, tokoh adat Kampung Pumpung, Rius Hander membantah kepemilikan ulayat yang disampaikan Masni.

Menurutnya, kepemilikan awal tanah tersebut ialah milik Ulayat Kampung Pumpung, Desa Surununmbeng masa itu. Karena Kampung Pumpung dan Kampong Kaca adalah Wetanara (Saudara laki/perempuan) maka Kampung Pumpung berinisatif memberikan gendang (rumah adat) kepada Kampung Kaca.

Setelah menerima Gendang, Kampung Kaca berinisiatif meminta Lingko (Hak ulayat) kepada Kampung Pumpung. Tokoh adat Pumpung pun merespon dengan baik dan memberikan Lingko atau hak ulayat kepada Kampung Kaca dari Gunung Surunumbeng hingga ujung pantai di Lingko Sumur (lokasi yang disengketakan).

Masih menurutnya, adapun hubungan dengan Kampung Kendol dan Pumpung ialah juga Wetanara. Daerah Kendol, Palis dan sekitarnya juga menjadi daerah Kekuasaan Kampung Pumpung masa itu. Jika kemudian diklaim bahwa Kendol adalah kampung lama yang berdiri sendiri itu tidak benar. ”Saudara Masni, jangan membohongi sejarah, Kendol itu ada belakangan," timpalnya.

Demikian halnya, tokoh adat Kampung Pie, Lukas Rindu membeberkan sejumlah fakta sejarah adat bahwa benar Lingko Sumur merupakan daerah kekuasaan ulayat Kampung Kaca karena pada zaman dahulu tanah tersebut diserahkan oleh tokoh adat Kampung Pumpung dan telah melakukan ritual adat, ritual kepemilikan dengan memotong satu ekor kerbau dan satu ekor kuda.

Jika dikemudian hari menjadi polemik, itu kareana kekeliruan soal penetepan persatian batas. Penetapan persatian batas tidak dipersoalkan pada tahun 1992 karena pemerintah menjelaskan bahwa persatian batas dibentuk tidak serta merta menghilangkan hak ulayat.

Tokoh adat Kampung Kaca, Dominikus turut membeberkan sejumlah fakta sejarah yang sulit dibantah oleh kelompok Kampung Kendol. Menurut Dominikus, Kendol maupun Kaca sumbernya ialah Kampung Pumpung. Hanya saja masa itu, Kaca meminta ulayat kepada Pumpung dan diberikan hak ulayat karena memiliki gendang sebagaimana filosofi Manggarai, Lingkon Peaang Gendang One dan berbeda dengan Kendol yang tidak memiliki gendang dan kemudian mengklaim hanya memiliki Lingko.

Setelah mendengar beberapa penjelasan tokoh adat lintas kampung, Masni kembali mengungkit soal penetepan persatian batas oleh pemerintah Manggarai tahun 1992. Bahwa masa itu kenapa tidak ada keberatan.

Ambros Syukur, Kepala Bagian Tata pemerintah Kabupaten Manggarai Barat menjelaskan, sebagaima yang tercantum dalam Permendagri No 42 tahun 2016 menjelaskan bahwa persehatian batas dibentuk tidak menghilangkan hak ulayat dari kampung lain.

Sementara itu, Bupati Agustius Dula berpandangan bahwa ini adalah persoalan keluarga, persoalan wetanara. Dalam persoalan tersebut, tentu hukum adat juga menjadi indikator untuk menentukan keputusan yakni, fakta sejarah dan fakta adat tidak bisa dipisahkan.

Meski demikian, pandangan sejarah dan fakta adat yang disampaikan oleh kedua belah pihak maupun para saksi adat dari lintas kampung belum menghasilkan sebuah keputusan tetap. Dan polemik ini bisa fatal jika tidak diselesaikan dengan baik oleh pemerintah.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5524 seconds (0.1#10.140)