Dituduh Jadi Pelaku Pembakaran Hutan, Warga Minta Perlindungan ke Kapolri
A
A
A
JAKARTA - Abdullah alias Dul Ketam, 48, warga Desa Baturusa, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung meminta perlindungan hukum atas dugaan kriminalisasi yang dialaminya. Ia pun meminta perlindungan kepada kapolri, wakapolri dan kadiv Propram di Jakarta.
Bapak empat anak ini diduga menjadi korban salah tangkap aparat Polres Bangka dalam kasus kebakaran hutan di Desa Air Anyir, Senin (23/9/2019) lalu. Sampai saat ini Abdullah mengaku merasa heran apa motivasi yang belatarbelakangi kasus yang menimpanya itu.
"Sebab apa yang terjadi tidak sesuai dengan keadaan dilapangan. Saya dikriminalisasi," katanya singkat kepada wartawan di Jakarta, Rabu (15/1/2020).
Ia menceritakan, saat peristiwa kebakaran hutan ia sedang berada di area pabrik tempatnya kerja, PT. Dewa Putra Bangka. "Saat itu saya sedang bersama beberapa karyawan di pabrik diantaranya. Saya tahu ada kebakaran hutan setelah dikabari oleh Babinkamtibmas setempat," bebernya.
Setelah informasi itu Abdullah pun pulang ke rumahnya sekitar pukul 17.30 WIB. "Sekitar pukul 19.00 WIB saya didatangi anggota Polsek Merawang bernama Aipda Cecep. Tanpa dibekali surat perintah saya dipegang dan tangan saya dipiting kebelakang menggiring saya ke mobil Avanza. Peristiwa ini disaksikan keluarga saya, mereka menangis karena saya diperlakukan seperti seorang penjahat," ujarnya.
Tak hanya Abdullah. Dalam kasus kebakaran hutan yang dituduhkan itu juga ada Fitriansyah dan Herman. Keduanya juga tak luput dalam pemeriksaan petugas, walau saat kebakaran hutan terjadi keduanya mengaku tidak berada di tempat.
Dua hari setelah peristiwa kebakaran hutan, Abdullah memutuskan pergi ke lokasi kejadian dan menyaksikan titik api kebakaran tersebut ternyata berada diluar area kebun miliknya. "Titik api itu berada di luar kebun saya, tapi saya yang dituduh membakar," jelas Abdullah yang merasa kasusnya dipaksakan.
Dalam kasus ini Abdullah merasa ditekan oleh penyidik untuk mengakui segala perbuatannya. "Saya dipaksa untuk mengakui bahwa saya telah memerintahkan Herman untuk melakukan pembakaran hutan. Padahal Herman sendiri tidak ada melakukan pembakaran hutan," imbuhnya.
Abdullah merasa ada yang janggal pada kasus hukum yang menjeratnya itu. Sebab semua tata cara dan prosedur pembukaan lahan juga telah mengantongi izin sah.
Ia dijerat pasal 78 ayat (3) jo pasal 50 ayat (3) huruf d jo pasal 55 ayat (1) KUHP yaitu tentang pembakaran hutan. Bahkan berkas kasusnya sudah dilimpahkan penyidik ke pihak Kejaksaan pada 9 Januari 2020 lalu.
"Saya bersumpah tidak mengetahui sama sekali peristiwa kebakaran hutan itu. Siapa yang bakar, siapa saksinya dan apa buktinya. Saya merasa telah dikriminalisasi. Saya akan meminta perlindungan hukum kepada Kapolri, Wakapolri dan Kadiv Propram di Jakarta," tegasnya.
Bapak empat anak ini diduga menjadi korban salah tangkap aparat Polres Bangka dalam kasus kebakaran hutan di Desa Air Anyir, Senin (23/9/2019) lalu. Sampai saat ini Abdullah mengaku merasa heran apa motivasi yang belatarbelakangi kasus yang menimpanya itu.
"Sebab apa yang terjadi tidak sesuai dengan keadaan dilapangan. Saya dikriminalisasi," katanya singkat kepada wartawan di Jakarta, Rabu (15/1/2020).
Ia menceritakan, saat peristiwa kebakaran hutan ia sedang berada di area pabrik tempatnya kerja, PT. Dewa Putra Bangka. "Saat itu saya sedang bersama beberapa karyawan di pabrik diantaranya. Saya tahu ada kebakaran hutan setelah dikabari oleh Babinkamtibmas setempat," bebernya.
Setelah informasi itu Abdullah pun pulang ke rumahnya sekitar pukul 17.30 WIB. "Sekitar pukul 19.00 WIB saya didatangi anggota Polsek Merawang bernama Aipda Cecep. Tanpa dibekali surat perintah saya dipegang dan tangan saya dipiting kebelakang menggiring saya ke mobil Avanza. Peristiwa ini disaksikan keluarga saya, mereka menangis karena saya diperlakukan seperti seorang penjahat," ujarnya.
Tak hanya Abdullah. Dalam kasus kebakaran hutan yang dituduhkan itu juga ada Fitriansyah dan Herman. Keduanya juga tak luput dalam pemeriksaan petugas, walau saat kebakaran hutan terjadi keduanya mengaku tidak berada di tempat.
Dua hari setelah peristiwa kebakaran hutan, Abdullah memutuskan pergi ke lokasi kejadian dan menyaksikan titik api kebakaran tersebut ternyata berada diluar area kebun miliknya. "Titik api itu berada di luar kebun saya, tapi saya yang dituduh membakar," jelas Abdullah yang merasa kasusnya dipaksakan.
Dalam kasus ini Abdullah merasa ditekan oleh penyidik untuk mengakui segala perbuatannya. "Saya dipaksa untuk mengakui bahwa saya telah memerintahkan Herman untuk melakukan pembakaran hutan. Padahal Herman sendiri tidak ada melakukan pembakaran hutan," imbuhnya.
Abdullah merasa ada yang janggal pada kasus hukum yang menjeratnya itu. Sebab semua tata cara dan prosedur pembukaan lahan juga telah mengantongi izin sah.
Ia dijerat pasal 78 ayat (3) jo pasal 50 ayat (3) huruf d jo pasal 55 ayat (1) KUHP yaitu tentang pembakaran hutan. Bahkan berkas kasusnya sudah dilimpahkan penyidik ke pihak Kejaksaan pada 9 Januari 2020 lalu.
"Saya bersumpah tidak mengetahui sama sekali peristiwa kebakaran hutan itu. Siapa yang bakar, siapa saksinya dan apa buktinya. Saya merasa telah dikriminalisasi. Saya akan meminta perlindungan hukum kepada Kapolri, Wakapolri dan Kadiv Propram di Jakarta," tegasnya.
(poe)