Mahasiswa Unjuk Rasa Tolak Pelantikan Bupati Buton Selatan La Ode Arusani
A
A
A
BUTON SELATAN - Pemerintah telah melantik La Ode Arusani sebagai Bupati defenitif Buton Selatan (Busel) bertempat di Rumah Jabatan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Selasa (31/12/2019) kemarin. Namun demikian, pelantikan tersebut langsung mendapatkan penolakan dari sejumlah mahasiswa Busel yang bernaung dari Lembaga Pemerhati Hukum (LPH) Sultra di Kendari. (Baca: Demo Dugaan Ijazah Palsu Plt Bupati Buton Selatan, Mahasiswa Bentrok dengan Aparat)
Koodinator Lapangan LPH Sultra, Iwan mengungkapkan alasan penolakan pelantikan Bupati Busel tersebut karena La Ode Arusani diduga mendapatkan jabatannya saat ini menggunakan cara yang tidak prosedural. Selain itu, persoalan hukum dengan penghentian kasus tersebut dipertanyakan.
"Harusnya pemerintah tidak melakukan pelantikan La Ode Arusani sebagai Bupati Busel defenitif. Arusani memiliki perkara hukum yang harus dipertanggujawabkan," kata Iwan dalam pernyataan tertulis yang diterima SINDOnews, Rabu (1/1/2020).
Berangkat dari hal ini, Iwan mengatakan, pihaknya meminta pemerintah, baik Kementerian Dalam Negeri dan Gubernur Sultra harus memperhatikan secara serius terkait persoalan dugaan pemalsuan ijazah SMA milik La Ode Arusani. Pasalnya, penerbitan Surat
Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) nomor: SP.SIDlK/323.a/Vll/2018/Dit Reskrim Um, tanggal 6 Juni 2018 dinilai janggal.
"Padahal kita tahu semua sejumlah bukti-bukti yang kuat mengarah pada kepalsuan ijazah. Namun itu ternyata diabaikan oleh pihak penyidik," ungkapnya.
Lebih lanjut Iwan menguraikan bahwa dalam Undang-undang pendidikan nomor 20 tahun 2013 tentang sistem pendidikan nasional pasal 69 ayat (2) serta KUHP pasal 263 ayat (2). Yakni barang siapa yang menggunakan ijazah palsu untuk memperoleh jabatan tidak dapat ditoleransi.
"Ijazah tersebut menerangkan bahwa La Ode Arusani diduga tidak pernah tercatat sebagai siswa di SMPN Banti Mimika Papua, namun tetap diabaikan," katanya.
Faktanya, sebut Iwan, Kepala sekolah SMPN Banti, Markus Sombo dan Kepala Dinas pendidikan MIMIKA, Jeni O. Usmany dengan keterangan tertulis, nomor 421.2./005/SMPN-NB/II/2017 Tanggal 20 Februari 2017 menyatakan bahwa Laode Arusani tak pernah terdaftar sebagai siswa di SMPN Banti.
"Keterangan pendukung atas dugaan itu, seperti kode ijazah dan blangko ijazah tak sesuai dengan Peraturan Dierektur Jendral Pendidikan dasar dan Menengah dengan nomor : 0038/D/HK/2019l," bebernya.
Untuk diketahui SMPN Banti berada di lingkup Pemerintah Provinsi Papua. Dalam sistem pendidikan Indonesia, kode Wilayah Papua Nomor 25, sedangkan dalam penulisan ijazah milik La ode Arusani nomor 23 yang menunjukan kode Nusa Tenggara Barat (NTB).
Dikonfirmasi terpisah, Direktur Reserse Kriminal Umum (Direskrimum) Polda Sultra La Ode Aris membenarkan bahwa pihaknya telah menghentikan kasus dugaan ijazah palsu yang melibatkan pejabat tinggi di Busel.
"Benar kita menangani kasus tersebut. Namun kasus itu sudah kita hentikan," ungkapnya.
Aris menjelaskan, penghentian kasus tersebut setelah melakukan beberapa upaya. Laporan yang masuk adalah penggunakan ijazah Palsu dan untuk membuktikan itu maka tim Polda Sultra melakukan pemeriksaan terkait penerbitan ijazah tersebut. Dalam perjalanan ternyata berkaitan dengan penerbitan juga sudah dilaporkan di Timika, Papua.
"Hasilnya, penerbitan itu sudah dilakukan pengehentian atau SP3. Dasar itu yang juga kita gunakan sehingga menerbitkan penghentian pemeriksaan. Bagaimana dugaan penerbitan ijazah sudah tidak ditemukan, kemudian laporan penggunaannya kita teruskan," tegasnya.
Meski begitu, Aris mengungkapkan jika ada yang merasa tidak nyaman dengan keputusan tersebut, masih ada upaya hukum yang bisa ditempuh. Direktorat Kriminal Umum (Dikrimum) Polda Sultra menyarankan agar menempuh upaya hukum praperadilan.
"Kalau ada pihak yang merasa dirugikan dengan keputusan itu, maka silahkan
tempuh upaya hukum. Masih ada upaya praperadilan untuk mempertanyakan SP3 yang kita terbitkan," tandasnya.
Koodinator Lapangan LPH Sultra, Iwan mengungkapkan alasan penolakan pelantikan Bupati Busel tersebut karena La Ode Arusani diduga mendapatkan jabatannya saat ini menggunakan cara yang tidak prosedural. Selain itu, persoalan hukum dengan penghentian kasus tersebut dipertanyakan.
"Harusnya pemerintah tidak melakukan pelantikan La Ode Arusani sebagai Bupati Busel defenitif. Arusani memiliki perkara hukum yang harus dipertanggujawabkan," kata Iwan dalam pernyataan tertulis yang diterima SINDOnews, Rabu (1/1/2020).
Berangkat dari hal ini, Iwan mengatakan, pihaknya meminta pemerintah, baik Kementerian Dalam Negeri dan Gubernur Sultra harus memperhatikan secara serius terkait persoalan dugaan pemalsuan ijazah SMA milik La Ode Arusani. Pasalnya, penerbitan Surat
Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) nomor: SP.SIDlK/323.a/Vll/2018/Dit Reskrim Um, tanggal 6 Juni 2018 dinilai janggal.
"Padahal kita tahu semua sejumlah bukti-bukti yang kuat mengarah pada kepalsuan ijazah. Namun itu ternyata diabaikan oleh pihak penyidik," ungkapnya.
Lebih lanjut Iwan menguraikan bahwa dalam Undang-undang pendidikan nomor 20 tahun 2013 tentang sistem pendidikan nasional pasal 69 ayat (2) serta KUHP pasal 263 ayat (2). Yakni barang siapa yang menggunakan ijazah palsu untuk memperoleh jabatan tidak dapat ditoleransi.
"Ijazah tersebut menerangkan bahwa La Ode Arusani diduga tidak pernah tercatat sebagai siswa di SMPN Banti Mimika Papua, namun tetap diabaikan," katanya.
Faktanya, sebut Iwan, Kepala sekolah SMPN Banti, Markus Sombo dan Kepala Dinas pendidikan MIMIKA, Jeni O. Usmany dengan keterangan tertulis, nomor 421.2./005/SMPN-NB/II/2017 Tanggal 20 Februari 2017 menyatakan bahwa Laode Arusani tak pernah terdaftar sebagai siswa di SMPN Banti.
"Keterangan pendukung atas dugaan itu, seperti kode ijazah dan blangko ijazah tak sesuai dengan Peraturan Dierektur Jendral Pendidikan dasar dan Menengah dengan nomor : 0038/D/HK/2019l," bebernya.
Untuk diketahui SMPN Banti berada di lingkup Pemerintah Provinsi Papua. Dalam sistem pendidikan Indonesia, kode Wilayah Papua Nomor 25, sedangkan dalam penulisan ijazah milik La ode Arusani nomor 23 yang menunjukan kode Nusa Tenggara Barat (NTB).
Dikonfirmasi terpisah, Direktur Reserse Kriminal Umum (Direskrimum) Polda Sultra La Ode Aris membenarkan bahwa pihaknya telah menghentikan kasus dugaan ijazah palsu yang melibatkan pejabat tinggi di Busel.
"Benar kita menangani kasus tersebut. Namun kasus itu sudah kita hentikan," ungkapnya.
Aris menjelaskan, penghentian kasus tersebut setelah melakukan beberapa upaya. Laporan yang masuk adalah penggunakan ijazah Palsu dan untuk membuktikan itu maka tim Polda Sultra melakukan pemeriksaan terkait penerbitan ijazah tersebut. Dalam perjalanan ternyata berkaitan dengan penerbitan juga sudah dilaporkan di Timika, Papua.
"Hasilnya, penerbitan itu sudah dilakukan pengehentian atau SP3. Dasar itu yang juga kita gunakan sehingga menerbitkan penghentian pemeriksaan. Bagaimana dugaan penerbitan ijazah sudah tidak ditemukan, kemudian laporan penggunaannya kita teruskan," tegasnya.
Meski begitu, Aris mengungkapkan jika ada yang merasa tidak nyaman dengan keputusan tersebut, masih ada upaya hukum yang bisa ditempuh. Direktorat Kriminal Umum (Dikrimum) Polda Sultra menyarankan agar menempuh upaya hukum praperadilan.
"Kalau ada pihak yang merasa dirugikan dengan keputusan itu, maka silahkan
tempuh upaya hukum. Masih ada upaya praperadilan untuk mempertanyakan SP3 yang kita terbitkan," tandasnya.
(sms)