Letnan As Pelor, Alap-alap Samber Nyawa Bikin Keder Petinggi Belanda
A
A
A
MOJOKERTO - Letnan As Pelor, namanya mungkin sangat asing di telinga. Apalagi di kalangan kaum muda zaman milenial. Mendengar pun rasanya tak mungkin.
Namun tidak bagi para pemuda di era tahun 1948-1949. Nama As Pelor cukup tenar dan terpatri di hati rakyat Mojokerto kala itu. Utamanya masyarakat yang tinggal di sekitar hutan Gunung Gajah Mungkur dan Gunung Anjasmoro serta di perbukitan wilayah Trawas.
Maklum, As Pelor bukan hanya seorang pejuang yang hanya melawan penjajah Belanda kala itu. Namun, dia juga tak segan menggasak pribumi kaya yang berkomplot dan berlindung di bawah ketiak para penjajah. Sering kali, As Pelor membagikan duit hasil jarahan ke warga miskin di sekitar lereng gunung.
Tak heran, jika sepak terjang As Pelor dan pasukan Alap-alap Samber Nyawa yang dipimpinnya, membuat para petinggi Belanda marah besar. Selain 'mengamputasi' kaki tangan penjajah yang berkuasa, As Pelor acap kali mengacak-acak obyek vital pasukan Belanda. Termasuk vila-vila milik petinggi Belanda di wilayah Trawas dan Pacet.
Tak hanya itu, beberapa petinggi Belanda pun juga tak luput jadi sasaran penculikan pasukan As Pelor. Pantas, jika para serdadu Belanda dibuat kelimpungan. Apalagi, serangan yang dilakukan itu begitu cepat. Sehingga sulit untuk diantisipasi pasukan musuh.
"Sekali serbu, langsung menghilang, masuk ke dalam hutan. Pasukan As Pelor itu sangat cepat, karena anggotanya anak-anak muda yang tangguh," kata sejarahwan Mojokerto, Ayuhannafiq memulai cerita petuangan As Pelor kala mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, Sabtu (16/11/2019).
Sejatinya, Letnan As Pelor tergabung dalam Batalyon Bambang Juwono. Dia memimpin satu seksi pasukan di bawah komandan Kompi Kapten Darsan Iru. Letnan As Pelor masuk ke wilayah Mojokerto dari Wonosalam, Jombang pada akhir Desember 1948, bersama pasukan Komando Hayam Wuruk.
Pasukan gabungan yang dikomandoi Mayor Pamoe Rahardjo itu, menjadikan Penanggungan sebagai basis gerakan dan menyusun strategi. Pasukan ini berencana masuk dan menguasai Sidoarjo melalui jembatan Tanjangrono, Mojosari. Siasat pun mulai disusun. Mayor Pamoe Raharjo membagi pasukan menjadi beberapa batalyon.
Batalyon Bambang Juwono mendapat tugas berat menguasai wilayah Pugeran dan Kutorejo. Sementara, Batalyon Tjipto dibebani tugas yang tak kalah sulit, yakni menghadang pasukan musuh yang datang melalui Trawas pada 1 Januari 1949. Sebelum pasukan Komando Hayam Wuruk berupaya masuk ke wilayah Sidoarjo.
Sayangnya rencana itu tak berjalan mulus. Belanda yang sepertinya sudah mengantisipasi strategi itu, melakukan penebalan pasukan di sekitar jembatan yang membentang di atas Kali Porong itu. Hingga akhirnya, strategi itu urung diterapkan. Pasukan Hayam Wuruk pun gagal masuk ke Sidoarjo dan bertahan di wilayah Penanggungan.
Hingga akhirnya, pertempuran dahsyat pun terjadi, tepatnya di wilayah segitiga Mojosari-Kutorejo-Dlanggu. Dalam pertempuran 12 Februari 1949 itu, hampir separuh pasukan Komando Hayam Wuruk hilang atau gugur. Namun, nampaknya As Pelor dan beberapa pasukannya, mampu menyelamatkan diri ke wilayah hutan Trawas.
Perlahan namun pasti, As Pelor kemudian menyusun pasukannya kembali. Dia merekrut para pemuda di wilayah sekitaran hutan Trawas, Pacet, Pasuruan, hingga Gunung Anjasmoro, untuk mengangkat senjata. Para pemuda itu dilatih untuk menyatu dengan hutan dan bergerak cepat saat melakukan penyerbuan.
Tak pelak, hanya dalam tempo yang singkat, pasukan As Pelor mampu menjelma menjadi pasukan gerak cepat dan terlatih. Menggunakan kecepatan dan kecermatan penguasaan medan, As Pelor dan pasukan Alap-alap Samber Nyawa menerapkan strategi perang yang berbeda.
Aksi teror, penculikan, serta penyergapan ke sejumlah obyek vital yang dikuasai pasukan Belanda dilakukan secara beruntun. Sepak terjang pasukan As Pelor itu pun dengan cepat tersebar. Dari sekian banyak aksi penyerangan pasukan As Pelor, beberapa diantaranya bahkan membuat pasukan Belanda mati kutu.
Salah satunya, saat As Pelor dan pasukannya melakukan penyerbuan ke pabrik gula Krembung di wilayah perbatasan Sidoarjo-Mojokerto. Serangan yang membuat para petinggi Belanda naik pitam itu, terjadi sekitar bulan Oktober 1949. Penyerbuan mendadak di siang bolong itu berhasil membuat serdadu Belanda kocar-kacir.
"Dua petinggi pabrik gula Krembung diculik oleh pasukan As Pelor saat itu. Kemudian As Pelor juga menculik dua perwira Brigade Mobil Belanda serta merampas mobil jeep dan harta cukong kaya yang menjadi antek-antek Belanda. Sehingga sangat wajar jika petinggi Belanda marah-marah," kata pria yang akrab disapa Yuhan ini.
Terakhir, taktik cerdik As Pelor mampu memaksa pemerintah kolonial Belanda mengaku Porong, Sidoarjo, masuk wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada 7 Desember 1949, pasukan elang hitam pencabut nyawa ini, masuk ke wilayah Porong, Sidoarjo. As Pelor dan pasukannya menyelinap ke wilayah musuh saat perjanjian gencatan senjata diberlakukan.
Walhasil, pasukan Belanda tidak dapat menutup akses jembatan Porong, Sidoarjo yang menghubungkan dengan Mojokerto. Para petinggi Belanda dipaksa mengakui bahwa Porong, Sidoarjo, masuk dalam kekuasaan RIS. Pemerintah kolonial Belanda saat itu juga harus merelakan pembentukan pasukan bersama guna menjaga wilayah tersebut.
Pada akhirnya, peleton Alap-alap Samber Nyawa ini kemudian dimasukkan kembali ke pasukan induknya, Batalyon Bambang Juwono. Batalyon itu kemudian masuk dalam Brigade I Brawijaya yang dipimpin Letkol Sudirman, ayah dari mantan Gubernur Jawa Timur, Basofi Sudirman.
Namun tidak bagi para pemuda di era tahun 1948-1949. Nama As Pelor cukup tenar dan terpatri di hati rakyat Mojokerto kala itu. Utamanya masyarakat yang tinggal di sekitar hutan Gunung Gajah Mungkur dan Gunung Anjasmoro serta di perbukitan wilayah Trawas.
Maklum, As Pelor bukan hanya seorang pejuang yang hanya melawan penjajah Belanda kala itu. Namun, dia juga tak segan menggasak pribumi kaya yang berkomplot dan berlindung di bawah ketiak para penjajah. Sering kali, As Pelor membagikan duit hasil jarahan ke warga miskin di sekitar lereng gunung.
Tak heran, jika sepak terjang As Pelor dan pasukan Alap-alap Samber Nyawa yang dipimpinnya, membuat para petinggi Belanda marah besar. Selain 'mengamputasi' kaki tangan penjajah yang berkuasa, As Pelor acap kali mengacak-acak obyek vital pasukan Belanda. Termasuk vila-vila milik petinggi Belanda di wilayah Trawas dan Pacet.
Tak hanya itu, beberapa petinggi Belanda pun juga tak luput jadi sasaran penculikan pasukan As Pelor. Pantas, jika para serdadu Belanda dibuat kelimpungan. Apalagi, serangan yang dilakukan itu begitu cepat. Sehingga sulit untuk diantisipasi pasukan musuh.
"Sekali serbu, langsung menghilang, masuk ke dalam hutan. Pasukan As Pelor itu sangat cepat, karena anggotanya anak-anak muda yang tangguh," kata sejarahwan Mojokerto, Ayuhannafiq memulai cerita petuangan As Pelor kala mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, Sabtu (16/11/2019).
Sejatinya, Letnan As Pelor tergabung dalam Batalyon Bambang Juwono. Dia memimpin satu seksi pasukan di bawah komandan Kompi Kapten Darsan Iru. Letnan As Pelor masuk ke wilayah Mojokerto dari Wonosalam, Jombang pada akhir Desember 1948, bersama pasukan Komando Hayam Wuruk.
Pasukan gabungan yang dikomandoi Mayor Pamoe Rahardjo itu, menjadikan Penanggungan sebagai basis gerakan dan menyusun strategi. Pasukan ini berencana masuk dan menguasai Sidoarjo melalui jembatan Tanjangrono, Mojosari. Siasat pun mulai disusun. Mayor Pamoe Raharjo membagi pasukan menjadi beberapa batalyon.
Batalyon Bambang Juwono mendapat tugas berat menguasai wilayah Pugeran dan Kutorejo. Sementara, Batalyon Tjipto dibebani tugas yang tak kalah sulit, yakni menghadang pasukan musuh yang datang melalui Trawas pada 1 Januari 1949. Sebelum pasukan Komando Hayam Wuruk berupaya masuk ke wilayah Sidoarjo.
Sayangnya rencana itu tak berjalan mulus. Belanda yang sepertinya sudah mengantisipasi strategi itu, melakukan penebalan pasukan di sekitar jembatan yang membentang di atas Kali Porong itu. Hingga akhirnya, strategi itu urung diterapkan. Pasukan Hayam Wuruk pun gagal masuk ke Sidoarjo dan bertahan di wilayah Penanggungan.
Hingga akhirnya, pertempuran dahsyat pun terjadi, tepatnya di wilayah segitiga Mojosari-Kutorejo-Dlanggu. Dalam pertempuran 12 Februari 1949 itu, hampir separuh pasukan Komando Hayam Wuruk hilang atau gugur. Namun, nampaknya As Pelor dan beberapa pasukannya, mampu menyelamatkan diri ke wilayah hutan Trawas.
Perlahan namun pasti, As Pelor kemudian menyusun pasukannya kembali. Dia merekrut para pemuda di wilayah sekitaran hutan Trawas, Pacet, Pasuruan, hingga Gunung Anjasmoro, untuk mengangkat senjata. Para pemuda itu dilatih untuk menyatu dengan hutan dan bergerak cepat saat melakukan penyerbuan.
Tak pelak, hanya dalam tempo yang singkat, pasukan As Pelor mampu menjelma menjadi pasukan gerak cepat dan terlatih. Menggunakan kecepatan dan kecermatan penguasaan medan, As Pelor dan pasukan Alap-alap Samber Nyawa menerapkan strategi perang yang berbeda.
Aksi teror, penculikan, serta penyergapan ke sejumlah obyek vital yang dikuasai pasukan Belanda dilakukan secara beruntun. Sepak terjang pasukan As Pelor itu pun dengan cepat tersebar. Dari sekian banyak aksi penyerangan pasukan As Pelor, beberapa diantaranya bahkan membuat pasukan Belanda mati kutu.
Salah satunya, saat As Pelor dan pasukannya melakukan penyerbuan ke pabrik gula Krembung di wilayah perbatasan Sidoarjo-Mojokerto. Serangan yang membuat para petinggi Belanda naik pitam itu, terjadi sekitar bulan Oktober 1949. Penyerbuan mendadak di siang bolong itu berhasil membuat serdadu Belanda kocar-kacir.
"Dua petinggi pabrik gula Krembung diculik oleh pasukan As Pelor saat itu. Kemudian As Pelor juga menculik dua perwira Brigade Mobil Belanda serta merampas mobil jeep dan harta cukong kaya yang menjadi antek-antek Belanda. Sehingga sangat wajar jika petinggi Belanda marah-marah," kata pria yang akrab disapa Yuhan ini.
Terakhir, taktik cerdik As Pelor mampu memaksa pemerintah kolonial Belanda mengaku Porong, Sidoarjo, masuk wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada 7 Desember 1949, pasukan elang hitam pencabut nyawa ini, masuk ke wilayah Porong, Sidoarjo. As Pelor dan pasukannya menyelinap ke wilayah musuh saat perjanjian gencatan senjata diberlakukan.
Walhasil, pasukan Belanda tidak dapat menutup akses jembatan Porong, Sidoarjo yang menghubungkan dengan Mojokerto. Para petinggi Belanda dipaksa mengakui bahwa Porong, Sidoarjo, masuk dalam kekuasaan RIS. Pemerintah kolonial Belanda saat itu juga harus merelakan pembentukan pasukan bersama guna menjaga wilayah tersebut.
Pada akhirnya, peleton Alap-alap Samber Nyawa ini kemudian dimasukkan kembali ke pasukan induknya, Batalyon Bambang Juwono. Batalyon itu kemudian masuk dalam Brigade I Brawijaya yang dipimpin Letkol Sudirman, ayah dari mantan Gubernur Jawa Timur, Basofi Sudirman.
(shf)