Sejarah Masuknya Islam di Tanah Batak
A
A
A
Sebelum Islam dan Kristen masuk ke Tanah Batak, agama asli orang Batak adalah Parmalim dan kepercayaan animisme.
Batak adalah rumpun suku-suku yang mendiami sebagian besar wilayah Provinsi Sumatera Utara. Banyak orang menganggap penyebutan Batak hanya suku Toba, padahal Batak tidak hanya diwakili oleh suku Toba saja.
Etnis yang dikategorikan sebagai bagian dari Suku Batak adalah Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Angkola, Mandailing. Dua suku yakni Angkola dan Mandailing mayoritas menganut Islam, sedangkan etnis lainnya menganut Kristen Protestan dan Kristen Katolik.
Bagaimana sejarah masuknya Islam di Tanah Batak? Dalam literatur sejarah disebutkan Islam telah masuk ke Sumatera Utara melalui Barus, kota pelabuhan tua di pesisir Kabupaten Tapanuli Tengah.
Kala itu Barus menjadi pintu masuk Islam yang dibawa oleh para ulama dari Yaman dan ada yang menyebut oleh pedagang dan saudagar dari India. Namun, eksistensi Islam kala itu tidak sampai membumi ke seluruh Tanah Batak. Penyebaran Islam hanya terpusat di Kota Barus dan sekitarnya saja.
Lalu, kapan Islam masuk ke tanah Batak? Gelombang pertama penyebaran Islam di Tanah Batak dimulai sekitar tahun 1816 Masehi atau Syawal 1233 Hijriyah. Penyebaran Islam di tanah Batak erat kaitannya dengan peristiwa Perang Paderi pada awal abad ke-19.
Para ahli sejarah juga menyebutkan Islam masuk ke Tanah Batak pertama kali dibawa oleh pedagang Minangkabau (Sumatera Barat) yang banyak menikah dengan perempuan di wilayah Tapanuli bagian Selatan. Seiring waktu pemeluk Islam pun kian bertambah di tengah-tengah masyarakat Batak.
Kemudian pada masa Perang Paderi, pasukan Minangkabau melakukan invasi ke tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran di Mandailing dan Angkola. Kerajaan Aceh juga berperan menyebarkan Islam di Tanah Karo dan Pakpak. Sementara Simalungun dipengaruh Islam dari warga Melayu di pesisir Sumatera Timur.
Invasi tentara Paderi ke tanah Batak diyakini sebagai cikal bakal tersebarnya Islam secara meluas. Tidak tanggung-tanggung, sekitar lima ribu pasukan berkuda tentara Paderi masuk ke Mandailing, yang merupakan daerah perbatasan Sumatera Utara (Sumut) dengan dengan Sumatera Barat. Tuanku Rao yang bernama Fakih Muhammad diberi kepercayaan memimpin pasukan ini dengan mengenakan jubah putih dengan serban di kepala, khas Tuanku Imam Bonjol.
Mereka masuk melalui Muara Sipongi dan menaklukkan Panyabungan dan terus bergerak ke utara. Proses penyebaran Islam ini tidak begitu sulit karena sebagian orang Mandailing dan Angkola (sekarang Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Tapanuli Selatan, Padanglawas dan Kota Padangsidimpuan) ternyata sudah ada yang memeluk Islam.
Usai menaklukkan Mandailing, pasukan Paderi bergerak lagi ke utara. Mereka berencana menaklukkan tanah Batak yang saat itu masih menganut keyakinan animisme.
Di Sipirok, daerah perbatasan Tapanuli Selatan dan Tapanuli Utara menjadi tempat menyusun strategi dan menambah kekuatan pasukan. Tuanku Rao merekrut ribuan penduduk setempat yang sudah diislamkan. Pasar Sipirok sekarang merupakan tempat latihan infrantri dan kavaleri, pasukan berkuda.
Setelah jumlah pasukan dirasa cukup dan strategi telah matang, Tuanku Rao melanjutkan invasi ke pusat kerajaan Batak yang dipimpin Sisingamangaraja X bernama Ompu Tuan Nabolon, kala itu menganut agama Parmalim dan animisme.
Pasukan Paderi bergerak melewati Silantom, Pangaribuan, Silindung dan terus ke Butar dan Humbang yang merupakan daerah pusat kekuasaan Sisingamangaraja X. Di Desa Butar pasukan Paderi bertemu dengan pasukan Sisingamangaraja X. Dalam pertempuran itu, Sisingamangaraja X tewas.
Menurut Ompu Buntilan alias Batara Sangti dalam bukunya Sejarah Batak, Sisingamangaraja X yang lahir tahun 1785, meninggal dunia pada 1819 dalam usia 34 tahun. Waktu dia baru berkuasa sebagai raja selama empat tahun saja.
Perlawanan memang dilakukan rakyat Batak, tetapi pasukan Paderi sangat kuat. Penyerangan itu mengakibatkan tanah Batak banjir darah dan mayat tergeletak dimana-mana hingga jumlahnya mencapai seratusan ribu lebih.
Perang ini mengakibatkan munculnya dampak buruk, penyakit kolera yang bersumber dari gelimpangan mayat-mayat. Kala itu tidak ada obat penyembuh. Setiap orang yang terjangkit, paling lama dalam dua atau tiga hari akhirnya meninggal dunia.
Wabah kolera itu menjadi alasan keluarnya pasukan Paderi dari pusat kerajaan Batak. Mereka kembali ke Minangkabau untuk menghadapi Belanda yang mulai menduduki Sumatera Barat. Dalam sebuah pertempuran di Air Bangis, Pasaman, Sumatera Barat, pada Januari 1833, Tuanku Rao akhirnya meninggal dunia.
Setelah peristiwa invasi Tuanku Rao ke Batak, satu pasukan Paderi lainnya datang ke Mandailing, dipimpin Tuanku Tambusai. Berbeda juga dengan Tuanku Rao yang masuk ke Mandailing melalui Muara Sipongi, maka pasukan Tuanku Tambusai masuk melalui Sibuhuan, Padang Lawas, dan menginjakkan kakinya di Sipirok.
Di sinilah dibangun cikal-bakal masjid pertama di Sipirok bernama Masjid Raya Sori Alam Dunia Sipirok Mashalih yang pemugarannya dibangun 16 Juli 1926 dan masih berdiri hingga sekarang.
Kendati sama-sama berasal dari Paderi, namun dalam pengislaman, pola Tuanku Tambusai lebih lembut dibanding Tuanku Rao. Kedua misi pengislaman itu akhirnya menjadikan wilayah Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Padanglawas dan Padangsidimpuan sebagai daerah mayoritas Islam.
Serangan Paderi di bawah pimpinan kedua tokoh itu merupakan gelombang terakhir dari tiga gelombang masuknya Islam ke Sumut. Anehnya, dari tiga gelombang masuknya Islam itu, tak satupun berhasil membuat Islam tersebar luas di Tanah Batak, wilayah Kabupaten Tapanuli Utara dan Toba Samosir sekarang.
"Seolah ada rantai yang terputus dalam proses penyebaran Islam di Tanah Batak," kata Profesor HM Ridwan Lubis, Guru Besar UIN Sumut seperti dikutip dari https://konfrontasi.com.
Sementara itu sejarah masuknya Islam di Tomok, Samosir pertama kali dibawa oleh panglima perang Raja Sidabutar ke-2, bernama Tengku Muhammad Said yang berasal dari Aceh.
Tengku merupakan panglima perang Raja Sidabutar ke-2, Ompu Niujungbarita Sidabutar. Patung Tengku ada dalam peti mati Raja Sidabutar ke-2 sebagai bentuk penghormatan.
Di bawah kepemimpinan Tengku Muhammad Said, wilayah kekuasaan kerajaan Sidabutar kian meluas. Sayangnya, meski sukses dalam kariernya sebagai panglima perang, Tengku Muhammad Said gagal menyebarkan Islam.
Hingga akhirnya kejayaan kerajaan Sidabutar, tak seorang keluarga raja pun yang memeluk Islam. Mayoritas keluarga raja dan rakyatnya memeluk kepercayaan Parmalim dimana mereka dilarang makan daging babi, anjing dan darah. Hanya raja ke-3 yang memeluk agama Kristen sebelum meninggal dunia.
Cerita tentang panglima perang Tengku Muhammad Said dan keluarga Raja itu dapat dilihat di makam keluarga raja Sidabutar yang ada di Tomok.
Para ahli sejarah mengatakan, kegagalan proses pengislaman di Tanah Batak karena strateginya salah. Apalagi tentara Paderi meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat Batak. Dalam sejumlah catatan cendikiawan Batak, serangan tentara Paderi merupakan kepedihan pertama yang dialami masyarakat Batak. Sedangkan kepedihan kedua diakibatkan perang melawan penjajahan Belanda tahun 1877.
Hingga kini, setidaknya ada tiga agama dan dua kepercayaan yang dianut masyarakat Batak. Tiga agama itu adalah Kristen Katolik, Kristen Protestan dan Islam. Sementara dua kepercayaan itu adalah Parmalim dan animisme.
Meski berbeda keyakinan, masyarakat Batak di Sumatera Utara hingga kini dapat hidup rukun berdampingan secara damai dan saling menghormati.
Batak adalah rumpun suku-suku yang mendiami sebagian besar wilayah Provinsi Sumatera Utara. Banyak orang menganggap penyebutan Batak hanya suku Toba, padahal Batak tidak hanya diwakili oleh suku Toba saja.
Etnis yang dikategorikan sebagai bagian dari Suku Batak adalah Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Angkola, Mandailing. Dua suku yakni Angkola dan Mandailing mayoritas menganut Islam, sedangkan etnis lainnya menganut Kristen Protestan dan Kristen Katolik.
Bagaimana sejarah masuknya Islam di Tanah Batak? Dalam literatur sejarah disebutkan Islam telah masuk ke Sumatera Utara melalui Barus, kota pelabuhan tua di pesisir Kabupaten Tapanuli Tengah.
Kala itu Barus menjadi pintu masuk Islam yang dibawa oleh para ulama dari Yaman dan ada yang menyebut oleh pedagang dan saudagar dari India. Namun, eksistensi Islam kala itu tidak sampai membumi ke seluruh Tanah Batak. Penyebaran Islam hanya terpusat di Kota Barus dan sekitarnya saja.
Lalu, kapan Islam masuk ke tanah Batak? Gelombang pertama penyebaran Islam di Tanah Batak dimulai sekitar tahun 1816 Masehi atau Syawal 1233 Hijriyah. Penyebaran Islam di tanah Batak erat kaitannya dengan peristiwa Perang Paderi pada awal abad ke-19.
Para ahli sejarah juga menyebutkan Islam masuk ke Tanah Batak pertama kali dibawa oleh pedagang Minangkabau (Sumatera Barat) yang banyak menikah dengan perempuan di wilayah Tapanuli bagian Selatan. Seiring waktu pemeluk Islam pun kian bertambah di tengah-tengah masyarakat Batak.
Kemudian pada masa Perang Paderi, pasukan Minangkabau melakukan invasi ke tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran di Mandailing dan Angkola. Kerajaan Aceh juga berperan menyebarkan Islam di Tanah Karo dan Pakpak. Sementara Simalungun dipengaruh Islam dari warga Melayu di pesisir Sumatera Timur.
Invasi tentara Paderi ke tanah Batak diyakini sebagai cikal bakal tersebarnya Islam secara meluas. Tidak tanggung-tanggung, sekitar lima ribu pasukan berkuda tentara Paderi masuk ke Mandailing, yang merupakan daerah perbatasan Sumatera Utara (Sumut) dengan dengan Sumatera Barat. Tuanku Rao yang bernama Fakih Muhammad diberi kepercayaan memimpin pasukan ini dengan mengenakan jubah putih dengan serban di kepala, khas Tuanku Imam Bonjol.
Mereka masuk melalui Muara Sipongi dan menaklukkan Panyabungan dan terus bergerak ke utara. Proses penyebaran Islam ini tidak begitu sulit karena sebagian orang Mandailing dan Angkola (sekarang Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Tapanuli Selatan, Padanglawas dan Kota Padangsidimpuan) ternyata sudah ada yang memeluk Islam.
Usai menaklukkan Mandailing, pasukan Paderi bergerak lagi ke utara. Mereka berencana menaklukkan tanah Batak yang saat itu masih menganut keyakinan animisme.
Di Sipirok, daerah perbatasan Tapanuli Selatan dan Tapanuli Utara menjadi tempat menyusun strategi dan menambah kekuatan pasukan. Tuanku Rao merekrut ribuan penduduk setempat yang sudah diislamkan. Pasar Sipirok sekarang merupakan tempat latihan infrantri dan kavaleri, pasukan berkuda.
Setelah jumlah pasukan dirasa cukup dan strategi telah matang, Tuanku Rao melanjutkan invasi ke pusat kerajaan Batak yang dipimpin Sisingamangaraja X bernama Ompu Tuan Nabolon, kala itu menganut agama Parmalim dan animisme.
Pasukan Paderi bergerak melewati Silantom, Pangaribuan, Silindung dan terus ke Butar dan Humbang yang merupakan daerah pusat kekuasaan Sisingamangaraja X. Di Desa Butar pasukan Paderi bertemu dengan pasukan Sisingamangaraja X. Dalam pertempuran itu, Sisingamangaraja X tewas.
Menurut Ompu Buntilan alias Batara Sangti dalam bukunya Sejarah Batak, Sisingamangaraja X yang lahir tahun 1785, meninggal dunia pada 1819 dalam usia 34 tahun. Waktu dia baru berkuasa sebagai raja selama empat tahun saja.
Perlawanan memang dilakukan rakyat Batak, tetapi pasukan Paderi sangat kuat. Penyerangan itu mengakibatkan tanah Batak banjir darah dan mayat tergeletak dimana-mana hingga jumlahnya mencapai seratusan ribu lebih.
Perang ini mengakibatkan munculnya dampak buruk, penyakit kolera yang bersumber dari gelimpangan mayat-mayat. Kala itu tidak ada obat penyembuh. Setiap orang yang terjangkit, paling lama dalam dua atau tiga hari akhirnya meninggal dunia.
Wabah kolera itu menjadi alasan keluarnya pasukan Paderi dari pusat kerajaan Batak. Mereka kembali ke Minangkabau untuk menghadapi Belanda yang mulai menduduki Sumatera Barat. Dalam sebuah pertempuran di Air Bangis, Pasaman, Sumatera Barat, pada Januari 1833, Tuanku Rao akhirnya meninggal dunia.
Setelah peristiwa invasi Tuanku Rao ke Batak, satu pasukan Paderi lainnya datang ke Mandailing, dipimpin Tuanku Tambusai. Berbeda juga dengan Tuanku Rao yang masuk ke Mandailing melalui Muara Sipongi, maka pasukan Tuanku Tambusai masuk melalui Sibuhuan, Padang Lawas, dan menginjakkan kakinya di Sipirok.
Di sinilah dibangun cikal-bakal masjid pertama di Sipirok bernama Masjid Raya Sori Alam Dunia Sipirok Mashalih yang pemugarannya dibangun 16 Juli 1926 dan masih berdiri hingga sekarang.
Kendati sama-sama berasal dari Paderi, namun dalam pengislaman, pola Tuanku Tambusai lebih lembut dibanding Tuanku Rao. Kedua misi pengislaman itu akhirnya menjadikan wilayah Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Padanglawas dan Padangsidimpuan sebagai daerah mayoritas Islam.
Serangan Paderi di bawah pimpinan kedua tokoh itu merupakan gelombang terakhir dari tiga gelombang masuknya Islam ke Sumut. Anehnya, dari tiga gelombang masuknya Islam itu, tak satupun berhasil membuat Islam tersebar luas di Tanah Batak, wilayah Kabupaten Tapanuli Utara dan Toba Samosir sekarang.
"Seolah ada rantai yang terputus dalam proses penyebaran Islam di Tanah Batak," kata Profesor HM Ridwan Lubis, Guru Besar UIN Sumut seperti dikutip dari https://konfrontasi.com.
Sementara itu sejarah masuknya Islam di Tomok, Samosir pertama kali dibawa oleh panglima perang Raja Sidabutar ke-2, bernama Tengku Muhammad Said yang berasal dari Aceh.
Tengku merupakan panglima perang Raja Sidabutar ke-2, Ompu Niujungbarita Sidabutar. Patung Tengku ada dalam peti mati Raja Sidabutar ke-2 sebagai bentuk penghormatan.
Di bawah kepemimpinan Tengku Muhammad Said, wilayah kekuasaan kerajaan Sidabutar kian meluas. Sayangnya, meski sukses dalam kariernya sebagai panglima perang, Tengku Muhammad Said gagal menyebarkan Islam.
Hingga akhirnya kejayaan kerajaan Sidabutar, tak seorang keluarga raja pun yang memeluk Islam. Mayoritas keluarga raja dan rakyatnya memeluk kepercayaan Parmalim dimana mereka dilarang makan daging babi, anjing dan darah. Hanya raja ke-3 yang memeluk agama Kristen sebelum meninggal dunia.
Cerita tentang panglima perang Tengku Muhammad Said dan keluarga Raja itu dapat dilihat di makam keluarga raja Sidabutar yang ada di Tomok.
Para ahli sejarah mengatakan, kegagalan proses pengislaman di Tanah Batak karena strateginya salah. Apalagi tentara Paderi meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat Batak. Dalam sejumlah catatan cendikiawan Batak, serangan tentara Paderi merupakan kepedihan pertama yang dialami masyarakat Batak. Sedangkan kepedihan kedua diakibatkan perang melawan penjajahan Belanda tahun 1877.
Hingga kini, setidaknya ada tiga agama dan dua kepercayaan yang dianut masyarakat Batak. Tiga agama itu adalah Kristen Katolik, Kristen Protestan dan Islam. Sementara dua kepercayaan itu adalah Parmalim dan animisme.
Meski berbeda keyakinan, masyarakat Batak di Sumatera Utara hingga kini dapat hidup rukun berdampingan secara damai dan saling menghormati.
(rhs)