43 Kerajaan Bentuk Majelis Kerajaan Nusantara
A
A
A
SOLO - Sebanyak 43 kerajaan di Indonesia membentuk Majelis Kerajaan Nusantara (MKN). Wadah ini akan mendorong keraton sebagai penggiat kebudayaan dan kebhinekaan, serta pusat peradaban dari seluruh proses peralihan zaman.
Ketua Harian Majelis Kerajaan Nusantara KPH Edy Wirabumi mengemukakan, dalam musyarawah yang digelar di Bali beberapa hari lalu, semula digagas Majelis Adat Kerajaan Nusantara (MAKN).
Namun dalam dokumen resmi secara hukum menjadi Majelis Kerajaan Nusantara (MKN). “Dari 43 kerajaan di nusantara itu, ada yang datang sendiri rajanya, utusan dengan mandat atau mengirimkan surat resmi dukungan.
Dia mengungkapkan, keberadaan kerajaan dan keraton merupakan hak asasi kebudayaan yang dlindungi Undang Undang (UU) Kebudayaan.
Tercatat juga dalam UU Cagar Budaya dengan persepsi kebhinekaan dan kebangsaan yang harus kembali kepada spirit atau semangat Bhineka Tunggal Ika. Yakni mengutamakan persatuan di atas semua kepentingan.
Edy Wirabumi yang berasal dari Keraton Kasunanan Surakarta, menegaskan bahwa sekarang saatnya para pelaku penggiat budaya untuk mengingatkan spirit bangsa Indonesia, yaitu Bhineka Tunggal Ika yang asli menyatu bergandengan tangan untuk mengingatkan berbeda-beda disatukan dengan baju dan budaya Indonesia.
“Justru keindahan kita karena keberagaman. Dan kita harus memilah yang satu visi satu jiwa, bukan berarti menolak tetapi kita menyatukan yang satu visi dengan Bhineka Tunggal Ika,” tegasnya.
Dirinya mengulas tentang peran penting kerajaan dan keraton terhadap bangsa dan negara Indonesia sejak zaman kemerdekaan. Dalam Dokumen BPUPKI yang mengkonsep bangsa Indonesia, kehadiran pihak kerajaan dan keraton di Indonesia terlibat langsung.
“Pada era tahun 1945 berbeda dengan zaman sekarang. Karena itu perlu sikap yang bijak dan mengena sesuai dengan zaman kini,” urainya.
Rasa cinta kebudayaan dan kebhinekaan, diharapkan dapat menekan masuk atau tumbuhnya ancaman serius, seperti radikalisme dan intoleransi.
“Sekarang, kita tidak bisa hanya melawan secara fisik seperti era perjuangan. Harus melakukan dengan ilmu pengetahuan tentang peninggalan nilai-nilai luhur dan tidak sebatas penguatan negara dan bangsa,” ucapnya.
Melalui MKN yang memiliki puluhan kerajaan dan keraton di nusantara, seharusnya mampu melakukan peran penting untuk mewujudkan Indonesia bermandiri dalam aspek pangan, energi, dan keuangan.
“Keberadaan kerajaan atau keraton di nusantara bisa melakukan peran budaya, pariwisata dan potensi ekonomi,” imbuhnya.
Melalui peran budaya, pariwisata dan potensi Ekonomi, tentu dilakukan mapping atau pemetaan potensi kekuatan kerajaan atau keraton se-nusantara.
“Indonesia dengan keberadan kerajaan atau keraton akan mampu mewujudkan Indonesia yang mandiri,” sambungnya. Dirinya juga menegaskan tentang perlu dilakukan revitalisasi kerajaan dan keraton dengan dua target revitalisasi fisik dan non fisik.
Pada revitalissai fisik adalah bagunan keraton dan benda cagar budaya. Sementara non fisik adalah kesenian, adat tradisi dan kearifan lokal budaya setempat.
Dalam pembangunan pariwisata, pentingnya pengembangan literasi berwawasan budaya, revitalisasi peran kota dan sejarahnya, nilai budaya dan tradisi, kearifan lokal, serta pembangunan sumber daya manusia dan kesejahteraan.
Ketua Harian Majelis Kerajaan Nusantara KPH Edy Wirabumi mengemukakan, dalam musyarawah yang digelar di Bali beberapa hari lalu, semula digagas Majelis Adat Kerajaan Nusantara (MAKN).
Namun dalam dokumen resmi secara hukum menjadi Majelis Kerajaan Nusantara (MKN). “Dari 43 kerajaan di nusantara itu, ada yang datang sendiri rajanya, utusan dengan mandat atau mengirimkan surat resmi dukungan.
Dia mengungkapkan, keberadaan kerajaan dan keraton merupakan hak asasi kebudayaan yang dlindungi Undang Undang (UU) Kebudayaan.
Tercatat juga dalam UU Cagar Budaya dengan persepsi kebhinekaan dan kebangsaan yang harus kembali kepada spirit atau semangat Bhineka Tunggal Ika. Yakni mengutamakan persatuan di atas semua kepentingan.
Edy Wirabumi yang berasal dari Keraton Kasunanan Surakarta, menegaskan bahwa sekarang saatnya para pelaku penggiat budaya untuk mengingatkan spirit bangsa Indonesia, yaitu Bhineka Tunggal Ika yang asli menyatu bergandengan tangan untuk mengingatkan berbeda-beda disatukan dengan baju dan budaya Indonesia.
“Justru keindahan kita karena keberagaman. Dan kita harus memilah yang satu visi satu jiwa, bukan berarti menolak tetapi kita menyatukan yang satu visi dengan Bhineka Tunggal Ika,” tegasnya.
Dirinya mengulas tentang peran penting kerajaan dan keraton terhadap bangsa dan negara Indonesia sejak zaman kemerdekaan. Dalam Dokumen BPUPKI yang mengkonsep bangsa Indonesia, kehadiran pihak kerajaan dan keraton di Indonesia terlibat langsung.
“Pada era tahun 1945 berbeda dengan zaman sekarang. Karena itu perlu sikap yang bijak dan mengena sesuai dengan zaman kini,” urainya.
Rasa cinta kebudayaan dan kebhinekaan, diharapkan dapat menekan masuk atau tumbuhnya ancaman serius, seperti radikalisme dan intoleransi.
“Sekarang, kita tidak bisa hanya melawan secara fisik seperti era perjuangan. Harus melakukan dengan ilmu pengetahuan tentang peninggalan nilai-nilai luhur dan tidak sebatas penguatan negara dan bangsa,” ucapnya.
Melalui MKN yang memiliki puluhan kerajaan dan keraton di nusantara, seharusnya mampu melakukan peran penting untuk mewujudkan Indonesia bermandiri dalam aspek pangan, energi, dan keuangan.
“Keberadaan kerajaan atau keraton di nusantara bisa melakukan peran budaya, pariwisata dan potensi ekonomi,” imbuhnya.
Melalui peran budaya, pariwisata dan potensi Ekonomi, tentu dilakukan mapping atau pemetaan potensi kekuatan kerajaan atau keraton se-nusantara.
“Indonesia dengan keberadan kerajaan atau keraton akan mampu mewujudkan Indonesia yang mandiri,” sambungnya. Dirinya juga menegaskan tentang perlu dilakukan revitalisasi kerajaan dan keraton dengan dua target revitalisasi fisik dan non fisik.
Pada revitalissai fisik adalah bagunan keraton dan benda cagar budaya. Sementara non fisik adalah kesenian, adat tradisi dan kearifan lokal budaya setempat.
Dalam pembangunan pariwisata, pentingnya pengembangan literasi berwawasan budaya, revitalisasi peran kota dan sejarahnya, nilai budaya dan tradisi, kearifan lokal, serta pembangunan sumber daya manusia dan kesejahteraan.
(shf)