Masjid Al-Mashun Medan, Peninggalan Bersejarah Kesultanan Deli
A
A
A
Masjid Raya Al-Mashun merupakan salah satu peninggalan bersejarah di Kota Medan yang masih berdiri kokoh. Rumah ibadah umat Islam ini dibangun pada masa Kesultanan Deli ke-9, Sultan Ma'mun Al Rasyid Perkasa Alamsjah. Tepatnya tanggal 1 Rajab1324 Hijriyah atau bertepatan dengan 21 Agustus 1906 Masehi.
Pembangunan masjid ini selesai pada tahun 1909 dan digunakan untuk ibadah salat Jumat pada 10 September 1909. Masjid kebanggaan warga Medan ini mengadopsi desain Timur Tengah, Eropa dan Asia. Bangunannya yang bergaya Eropa, India dan ciri khas Melayu terlihat jelas pada ornamen masjid yang berada di jantung Kota Medan, Jalan Sisingamangaraja, Kecamatan Medan Kota, Sumatera Utara.
Hampir sebagian besar material di Masjid Raya Al-Mashun Medan ini masih asli. Di sisi timur bagian luar, kita akan menemukan tempat wudhu dengan bangunan tua yang masih terawat. Di sisi barat, terhampar makam para raja dan Sultan Deli, termasuk Sultan pertama pendiri Masjid dan makam Sultan Deli terakhir.
Saat memasuki bagian dalam masjid, kita akan melihat keindahan ornamen dan desain dinding masjid yang masih mempertahankan ciri khasnya. Hampir sebagian besar ornamen dan sejumlah benda di sisi dalam masih asli sejak awal masjid diresmikan untuk umum pada tahun 1909.
Mulai dari lampu gantung, mimbar khutbah Imam, mimbar bilal, semuanya masih dipertahankan. Selain itu, di dalam masjid akan ditemui sebuah mushaf Qur'an berukuran besar ditulis dengan tangan. Kitab suci ini diletakkan di dalam kotak kaca agar tetap terjaga keutuhannya sebagai saksi sejarah keberadaan masjid tersebut.
Pengurus Masjid Raya Al-Mashun Medan, Muhammad Hamdan mengatakan banyak masjid yang dibangun oleh Sultan Deli di daerah kekuasaannya. Namun, Masjid Raya Al-Mashun merupakan paling termegah dan tercantik arsitekturnya.
"Arsitektur bangunan masjid ini memang perpaduan dari ciri khas beberapa benua, termasuk Eropa. Sehingga membuat masjid raya ini unik dan megah," katanya belum lama ini.
Dalam skripsi Umi Kalsum (2016) yang berjudul "Sejarah Berdirinya Masjid Raya Al-Mashun Sebagai Warisan Arsitektur Belanda", hal tersebut diungkapnya dapat diketahui dari prasasti bertuliskan Arab Melayu, dipahatkan pada sayap kiri dan kanan pintu gerbang masuk menuju masjid.
Awalnya Masjid Raya Al-Mashun dirancang oleh arsitek Belanda bernama Van Erp dan juga merancang Istana Maimun yang merupakan pusat Kerajaan Sultan Deli di Kota Medan, berjarak lebih kurang 200 meter dari Masjid Raya Al-Mashun.
Kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman yang berkebangsaan Belanda. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi Candi Borobudur di Jawa Tengah.
Arsitektur masjid ini merupakan hasil akulturasi corak bangunan yang khas dari beberapa negara. Peleburan corak bangunan ini membuat kekhasan tersendiri pada konstruksi Masjid Raya Al-Mashun kebanggaan masyarakat Medan ini.
Dalam laman simas.kemenag.go.id yang berjudul "Masjid Al Mashun" dipaparkan rancangan arsitek masjid ini dengan denah simetris segi delapan dengan konsep kontruksi dari proses akulturasi bercorak Eropa, Maroko, Melayu dan Timur Tengah.
Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik, berbeda dari Masjid kebanyakan. Di ke empat penjuru masjid masing-masing terdapat beranda lengkap dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid.
Untuk membangun Masjid Raya Al Mashun Medan banyak dekorasi yang diimpor dari mancanegara, diantaranya marmer Italia, kaca patri asal Tiongkok, dan lampu gantung dari Francis. Hal itu juga yang menguatkan nuansa kekayaan akulturasi budaya pada masjid itu.
Bangunan masjid seluas 5.000 meter persegi berdiri kokoh di atas tanah seluas 13.200 meter persegi. Masjid ini memiliki ruang ibadah, tempat wudhu, kamar mandi, tempat penitipan sepatu/sandal, kantor sekretariat, serta dilengkapi penyejuk udara/air conditioner, sound system dan perlengkapan multimedia lainnya. Masjid ini menampung sekitar 1.500 jamaah.
Masjid Al-Mashun atau biasa disebut Masjid Raya Kota Medan ini menjadi saksi sejarah penyebaran agama Islam di wilayah Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara. Masjid peninggalan zaman Kesultanan Deli ini tidak pernah sepi dari jamaah yang akan melaksanakan ibadah ataupun wisatawan yang sekadar ingin melihat kemegahan bangunan bersejarah itu.
Setiap bulan Ramadhan, jumlah jamaah di Masjid ini terus meningkat, siang hari maupun malam hari. Para jamaah tidak hanya salat, juga melakukan tadarus Qur'an sambil menunggu waktu berbuka puasa.
Selain sebagai tempat beribadah bagi masyarakat Kota Medan, Masjid Raya ini juga menjadi lokasi favorit para wisatawan dari berbagai daerah maupun mancanegara.
Seperti penuturan wisatawan dari Aceh, Seno yang sengaja datang ke Masjid Al-Mashun untuk mengetahui dan penasaran dengan nilai-nilai sejarah pada Masjid Kesultanan Deli tersebut. "Penasaran pengen melihat langsung bagaimana nikmatnya dan mengetahui tentang sejarah Masjid Raya ini dari dekat. Makanya kami salat berjamaah dulu, baru foto-foto benda peninggalannya," tuturnya.
Masjid Raya Al-Mashun ini tidak pernah sepi dari kunjungan masyarakat berbagai daerah. Banyak wisatawan yang ingin berziarah ke makam keturunan Kesultanan Deli yang berada di kompleks masjid tersebut.
"Kami juga bisa berziarah ke makam keturunan Kesultanan Deli di samping masjid raya ini. Banyak sejarah yang bisa diabadikan untuk diambil hikmahnya dan diceritakan kepada keluarga di Aceh," ungkapnya.
Pembangunan masjid ini selesai pada tahun 1909 dan digunakan untuk ibadah salat Jumat pada 10 September 1909. Masjid kebanggaan warga Medan ini mengadopsi desain Timur Tengah, Eropa dan Asia. Bangunannya yang bergaya Eropa, India dan ciri khas Melayu terlihat jelas pada ornamen masjid yang berada di jantung Kota Medan, Jalan Sisingamangaraja, Kecamatan Medan Kota, Sumatera Utara.
Hampir sebagian besar material di Masjid Raya Al-Mashun Medan ini masih asli. Di sisi timur bagian luar, kita akan menemukan tempat wudhu dengan bangunan tua yang masih terawat. Di sisi barat, terhampar makam para raja dan Sultan Deli, termasuk Sultan pertama pendiri Masjid dan makam Sultan Deli terakhir.
Saat memasuki bagian dalam masjid, kita akan melihat keindahan ornamen dan desain dinding masjid yang masih mempertahankan ciri khasnya. Hampir sebagian besar ornamen dan sejumlah benda di sisi dalam masih asli sejak awal masjid diresmikan untuk umum pada tahun 1909.
Mulai dari lampu gantung, mimbar khutbah Imam, mimbar bilal, semuanya masih dipertahankan. Selain itu, di dalam masjid akan ditemui sebuah mushaf Qur'an berukuran besar ditulis dengan tangan. Kitab suci ini diletakkan di dalam kotak kaca agar tetap terjaga keutuhannya sebagai saksi sejarah keberadaan masjid tersebut.
Pengurus Masjid Raya Al-Mashun Medan, Muhammad Hamdan mengatakan banyak masjid yang dibangun oleh Sultan Deli di daerah kekuasaannya. Namun, Masjid Raya Al-Mashun merupakan paling termegah dan tercantik arsitekturnya.
"Arsitektur bangunan masjid ini memang perpaduan dari ciri khas beberapa benua, termasuk Eropa. Sehingga membuat masjid raya ini unik dan megah," katanya belum lama ini.
Dalam skripsi Umi Kalsum (2016) yang berjudul "Sejarah Berdirinya Masjid Raya Al-Mashun Sebagai Warisan Arsitektur Belanda", hal tersebut diungkapnya dapat diketahui dari prasasti bertuliskan Arab Melayu, dipahatkan pada sayap kiri dan kanan pintu gerbang masuk menuju masjid.
Awalnya Masjid Raya Al-Mashun dirancang oleh arsitek Belanda bernama Van Erp dan juga merancang Istana Maimun yang merupakan pusat Kerajaan Sultan Deli di Kota Medan, berjarak lebih kurang 200 meter dari Masjid Raya Al-Mashun.
Kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman yang berkebangsaan Belanda. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi Candi Borobudur di Jawa Tengah.
Arsitektur masjid ini merupakan hasil akulturasi corak bangunan yang khas dari beberapa negara. Peleburan corak bangunan ini membuat kekhasan tersendiri pada konstruksi Masjid Raya Al-Mashun kebanggaan masyarakat Medan ini.
Dalam laman simas.kemenag.go.id yang berjudul "Masjid Al Mashun" dipaparkan rancangan arsitek masjid ini dengan denah simetris segi delapan dengan konsep kontruksi dari proses akulturasi bercorak Eropa, Maroko, Melayu dan Timur Tengah.
Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik, berbeda dari Masjid kebanyakan. Di ke empat penjuru masjid masing-masing terdapat beranda lengkap dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid.
Untuk membangun Masjid Raya Al Mashun Medan banyak dekorasi yang diimpor dari mancanegara, diantaranya marmer Italia, kaca patri asal Tiongkok, dan lampu gantung dari Francis. Hal itu juga yang menguatkan nuansa kekayaan akulturasi budaya pada masjid itu.
Bangunan masjid seluas 5.000 meter persegi berdiri kokoh di atas tanah seluas 13.200 meter persegi. Masjid ini memiliki ruang ibadah, tempat wudhu, kamar mandi, tempat penitipan sepatu/sandal, kantor sekretariat, serta dilengkapi penyejuk udara/air conditioner, sound system dan perlengkapan multimedia lainnya. Masjid ini menampung sekitar 1.500 jamaah.
Masjid Al-Mashun atau biasa disebut Masjid Raya Kota Medan ini menjadi saksi sejarah penyebaran agama Islam di wilayah Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara. Masjid peninggalan zaman Kesultanan Deli ini tidak pernah sepi dari jamaah yang akan melaksanakan ibadah ataupun wisatawan yang sekadar ingin melihat kemegahan bangunan bersejarah itu.
Setiap bulan Ramadhan, jumlah jamaah di Masjid ini terus meningkat, siang hari maupun malam hari. Para jamaah tidak hanya salat, juga melakukan tadarus Qur'an sambil menunggu waktu berbuka puasa.
Selain sebagai tempat beribadah bagi masyarakat Kota Medan, Masjid Raya ini juga menjadi lokasi favorit para wisatawan dari berbagai daerah maupun mancanegara.
Seperti penuturan wisatawan dari Aceh, Seno yang sengaja datang ke Masjid Al-Mashun untuk mengetahui dan penasaran dengan nilai-nilai sejarah pada Masjid Kesultanan Deli tersebut. "Penasaran pengen melihat langsung bagaimana nikmatnya dan mengetahui tentang sejarah Masjid Raya ini dari dekat. Makanya kami salat berjamaah dulu, baru foto-foto benda peninggalannya," tuturnya.
Masjid Raya Al-Mashun ini tidak pernah sepi dari kunjungan masyarakat berbagai daerah. Banyak wisatawan yang ingin berziarah ke makam keturunan Kesultanan Deli yang berada di kompleks masjid tersebut.
"Kami juga bisa berziarah ke makam keturunan Kesultanan Deli di samping masjid raya ini. Banyak sejarah yang bisa diabadikan untuk diambil hikmahnya dan diceritakan kepada keluarga di Aceh," ungkapnya.
(rhs)