Kampung Lorong Buankok, Lokasi Komunitas Warga Keturunan Bawean di Singapura
A
A
A
KAMPUNG Lorong Buankok, bukanlah kampung seperti biasanya. Di sini komunitas warga keturunan Pulau Bawean (Boyan), Gresik, Jatim ada di sini.
Menariknya Kampung Lorong Buankok ini ada di tengah peradaban modern Singapura. Kampung ini memang dipertahankan keberadaannya.
Ya, Lorong Buangkok adalah desa dengan akar budaya Melayu asli. Satu-satunya kampung yang masih tersisa di Singapura.
Berbeda dengan wajah negeri dengan peradaban serba modern yang serba tertib, Lorong Buangkok menawarkan eksotika lain. Kontras dengan kegagahan Singapura.
Jalanan masih berupa makadam, kicau burung, hingga pepohonan khas kampung halaman saja. Bahkan, samping kanan dan kiri tumbuh gedung-gedung menjulang.
Lorong Buangkok dikenal the last village di Singapura. Luas wilayahnya tidak lebih dari 2 hektare. Dari pusat kota, menuju ke kampung ini lumayan jauh. Sekitar 10 kilometer.
“Dulu nama kampung ini dikenal dengan Kampung Selak Kain,” kata Mr Suhaimi, tour guide dari Singapore Tourism Board kepada Sindonews.com belum lama ini.
Selak artinya menyincing atau mengangkat. Jadi, selak kain maksudnya menyincing kain.
Disebut selak kain karena Lorong Buangkok merupakan perkampungan yang kerap banjir. Setiap hujan deras, selalu kebanjiran. Karena itu, para penghuninya selalu menyincing kain saat banjir datang.
Tapi itu dulu. Sekarang tidak ada banjir lagi. Karena, pemerintah Singapura cepat melakukan antisipasi. Salah satu membangun saluran pembuangan air.
Menyusuri gang-gang kampung, melempar pandang ke kiri dan kanan, mata terasa adem. Beragam jenis pepohonan tumbuh subur.
Ada pohon mangga, tebu, aneka jambu, pepaya, kelapa, singkong, asam, mengkudu, hingga tanaman berbunga seperti bunga sepatu.
Sebagian besar rumah warga juga masih sangat tradisional. Berdinding papan kayu dan beratap seng. Termasuk bangunan musalahnya.
Meski wajah rumah-rumahnya sangat tradisional, namun beberapa mobil bermerek terlihat. Terparkir di depan sejumlah pekarangan.
“Mereka yang tinggal di sini ada yang bekerja sebagai guru, polisi, dan pekerjaan lain. Pagi berangkat kerja, sore kembali ke sini,” ujar Suhaimi lagi.
Warga yang tinggal di Lorong Buangkok berasal dari beragam etnis. Termasuk dari keturunan Bawean, Gresik, Jawa Timur.
Salah seorang di antaranya adalah Awaluddin. Saat ini, masih ada keluarganya yang tinggal di Pulau Bawean.
Dia sudah lebih dari 50 tahun menetap di kampung tersebut. Namun, dia sudah puluhan tahun tidak ke Bawean.“Tetap ada silaturahmi melalui telepon,” kata pemuda yang kerap dipanggil Awi ini.
Di kampung tersebut, hanya ada 40 rumah. Warga yang tinggal juga dari latar belakang agama berbeda. Sebagian dari mereka beragam Islam. Terutama yang berasal dari etnis Melayu.
Karena itu, ada musala untuk kepentingan berjamaah salat para warga Muslim. Di papan nama, terpampang musala atau suara itu tertulis Al Firdaus. Yang unik, di sudut musala, ada sebuah kentongan kayu.
Lorong Buangkok hingga kini masih tetap dipertahankan. Banyak orang yang berharap Pemerintah Singapura mempertahankan keberadaan kampung tersebut. Baik dari dalam maupun luar negeri.
Apalagi, sebagai desa terakhir, Lorong Buangkok juga kerap dikunjungi wisatawan. Terutama dari kalangan pelajar. Sebagai sarana edukasi.
Lorong Buangkok bukan menjadi satu-satunya desa yang ditempat-tinggali warga Bawean di luar negeri. Namun, ada banyak warga keturunan Bawean yang menetap di Malaysia serta Brunai Darussalam.
“Banyak tokoh-tokoh besar di Singapura yang keturunan Bawean,” ujar Abdul Basit, salah satu pegiat LSM Bawean.
Bahkan, lanjut dia, Presiden Soekarno mengutus Kolonel Harun memata-matai Singapura, karena memang ada kemiripan logat dan wajah para tokoh Singapura.
“Jadi Singapura tidak bisa dilepaskan dari cerita-cerita orang Bawean,” pungkasnya.
Menariknya Kampung Lorong Buankok ini ada di tengah peradaban modern Singapura. Kampung ini memang dipertahankan keberadaannya.
Ya, Lorong Buangkok adalah desa dengan akar budaya Melayu asli. Satu-satunya kampung yang masih tersisa di Singapura.
Berbeda dengan wajah negeri dengan peradaban serba modern yang serba tertib, Lorong Buangkok menawarkan eksotika lain. Kontras dengan kegagahan Singapura.
Jalanan masih berupa makadam, kicau burung, hingga pepohonan khas kampung halaman saja. Bahkan, samping kanan dan kiri tumbuh gedung-gedung menjulang.
Lorong Buangkok dikenal the last village di Singapura. Luas wilayahnya tidak lebih dari 2 hektare. Dari pusat kota, menuju ke kampung ini lumayan jauh. Sekitar 10 kilometer.
“Dulu nama kampung ini dikenal dengan Kampung Selak Kain,” kata Mr Suhaimi, tour guide dari Singapore Tourism Board kepada Sindonews.com belum lama ini.
Selak artinya menyincing atau mengangkat. Jadi, selak kain maksudnya menyincing kain.
Disebut selak kain karena Lorong Buangkok merupakan perkampungan yang kerap banjir. Setiap hujan deras, selalu kebanjiran. Karena itu, para penghuninya selalu menyincing kain saat banjir datang.
Tapi itu dulu. Sekarang tidak ada banjir lagi. Karena, pemerintah Singapura cepat melakukan antisipasi. Salah satu membangun saluran pembuangan air.
Menyusuri gang-gang kampung, melempar pandang ke kiri dan kanan, mata terasa adem. Beragam jenis pepohonan tumbuh subur.
Ada pohon mangga, tebu, aneka jambu, pepaya, kelapa, singkong, asam, mengkudu, hingga tanaman berbunga seperti bunga sepatu.
Sebagian besar rumah warga juga masih sangat tradisional. Berdinding papan kayu dan beratap seng. Termasuk bangunan musalahnya.
Meski wajah rumah-rumahnya sangat tradisional, namun beberapa mobil bermerek terlihat. Terparkir di depan sejumlah pekarangan.
“Mereka yang tinggal di sini ada yang bekerja sebagai guru, polisi, dan pekerjaan lain. Pagi berangkat kerja, sore kembali ke sini,” ujar Suhaimi lagi.
Warga yang tinggal di Lorong Buangkok berasal dari beragam etnis. Termasuk dari keturunan Bawean, Gresik, Jawa Timur.
Salah seorang di antaranya adalah Awaluddin. Saat ini, masih ada keluarganya yang tinggal di Pulau Bawean.
Dia sudah lebih dari 50 tahun menetap di kampung tersebut. Namun, dia sudah puluhan tahun tidak ke Bawean.“Tetap ada silaturahmi melalui telepon,” kata pemuda yang kerap dipanggil Awi ini.
Di kampung tersebut, hanya ada 40 rumah. Warga yang tinggal juga dari latar belakang agama berbeda. Sebagian dari mereka beragam Islam. Terutama yang berasal dari etnis Melayu.
Karena itu, ada musala untuk kepentingan berjamaah salat para warga Muslim. Di papan nama, terpampang musala atau suara itu tertulis Al Firdaus. Yang unik, di sudut musala, ada sebuah kentongan kayu.
Lorong Buangkok hingga kini masih tetap dipertahankan. Banyak orang yang berharap Pemerintah Singapura mempertahankan keberadaan kampung tersebut. Baik dari dalam maupun luar negeri.
Apalagi, sebagai desa terakhir, Lorong Buangkok juga kerap dikunjungi wisatawan. Terutama dari kalangan pelajar. Sebagai sarana edukasi.
Lorong Buangkok bukan menjadi satu-satunya desa yang ditempat-tinggali warga Bawean di luar negeri. Namun, ada banyak warga keturunan Bawean yang menetap di Malaysia serta Brunai Darussalam.
“Banyak tokoh-tokoh besar di Singapura yang keturunan Bawean,” ujar Abdul Basit, salah satu pegiat LSM Bawean.
Bahkan, lanjut dia, Presiden Soekarno mengutus Kolonel Harun memata-matai Singapura, karena memang ada kemiripan logat dan wajah para tokoh Singapura.
“Jadi Singapura tidak bisa dilepaskan dari cerita-cerita orang Bawean,” pungkasnya.
(rhs)