Gedung PTPN XI, Pusat Bisnis hingga Jadi Gudang Senjata Jepang
A
A
A
Kota Surabaya pada masa Hindia Belanda merupakan kota perdagangan yang sangat begitu penting. Ini tak lepas dari keberadaan Pelabuhan Tanjung Perak.Pelabuhan Tanjung Perak merupakan salah satu pelabuhan terbesar di Indonesia. Sebagai kota besar, terdapat banyak bangunan peninggalan masa kolonial yang hingga kini masih berdiri kokoh. Bahkan sebagian diantaranya oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.
Berdasarkan data Pemkot Surabaya, terdapat 273 bangunan cagar budaya di Surabaya. Salah satunya adalah bangunan besar yang ada di Jalan Jalan Merak 1, Surabaya. Gedung PTPN XI itu saat ini kondisinya masih sangat terawat.
Gedung yang mulai dibangun pada tahun 1911 itu merupakan karya tiga arsitek terkenal dari Batavia yaitu Hulswit, Fermont, dan Ed. Cuypers. Meski pembangunan selesai pada tahun 1921, gedung ini baru diresmikan pada 18 April 1924.
Gedung ini dulunya adalah milik HVA (Handels Vereeniging Amsterdam—Asosiasi Pedagang Amsterdam). Di Belanda sendiri, HVA telah berdiri sejak tahun 1879 dan bergerak di bidang impor hasil pertanian serta budidaya tebu, kopi, dan singkong. Gedung PTPN XI ini mengusung gaya art-deco yang digabungkan dengan unsur tradisional.
Misalnya, pemakaian meja dan kayu dari jati. Unsur jawa bisa ditemukan pada dinding, tangga, pintu masuk dan galeri di lantai 2. Unsur lokal juga bisa dilihat dari arsitektur bangunan yang dipengaruhi arsitektur candi, khususnya pada bagian kapital kolom dan plengkung yang disangga berderet mengelilingi bangunan dari lantai satu hingga ke lantai dua.
Ruangan dan penyangga tersebut disela dengan koridor yang berfungsi untuk mengurangi paparan sinar matahari secara langsung. Selain budaya lokal, dekorasinya juga terpengaruh budaya India, seperti penggunaan detil dan molding pada kolom-kolom yang dihias sulur-sulur seperti hiasan pada candi.
Gedung ini sempat digunakan sebagai tempat perundingan antara Kolonel Pugh (utusan Jendral Mallaby) dari pihak sekutu dengan Dr Moestopo dari pihak Indonesia yang bertujuan untuk mendamaikan kedua belah pihak.
Sebelumnya, yaitu pada tanggal 30 September 1945 sampai 1 Oktober 1945, gedung ini dijadikan gudang senjata Angkatan Darat Jepang di Jawa Timur di bawah pimpinan Mayor Jenderal Iwabe. Gedung ini berhasil dikuasai dan dijadikan markas Comando Militer Djawa Timur (CMDT) dan Kementerian Pertahanan di bawah pimpinan Dr. Moestopo.
Pemerintah menasionalisasi gedung ini pada tahun 1958 untuk ditempati Perusahan Perkebunan Negara (PPN). PPN kemudian berubah nama menjadi PTPN dan gedung ini dipakai oleh PTPN XXIV. Yang terakhir, gedung ini berganti nama menjadi PTPN XI yang merupakan hasil peleburan PT Perkebunan XX dan PT Perkebunan XXIV-XXV.
Bangunan ini berbentuk simetris dengan bagian sayap kiri dan kanan. Gedung dua lantai ini berdiri di atas lahan seluas 1,6 hektar. Luas bangunan utamanya adalah 2.016 m2 sedangkan luas bangunan penunjangnya sekitar 4.126 m2.
Bangunan ini merupakan salah satu bangunan terbesar pada jamannya dan kabarnya menghabiskan sekitar 3000 m3 beton. Material seperti kaca, besi dan pegangan tangga didatangkan langsung dari Belanda dan Itali. Pada bagian depan terdapat delapan pilar kokoh yang terawat dengan baik.
Ketika memasuki ruangan, terdapat aula dengan anak tangga marmer putih megah dari Belgia, yang memanjang hingga ke koridor. Bangunan ini memiliki langit-langit yang tinggi khas bangunan Belanda.
Hiasan detail plafon diimpor dari Belanda, sedangkan panel-panel plafon terbuat dari kayu jati buatan lokal. Keseluruhan pintu di bangunan ini terbuat dari kayu yang kokoh. “Kami berupaya agar bangunan ini bisa terjaga dengan baik,” kata Direktur Utama PTPN XI Gede Meivera.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno saat berkunjung ke gedung ini beberapa waktu lalu berharap, gedung coklat kemerahan ini bisa sekaligus difungsikan sebagai obyek wisata. Sebab, bangunan ini memiliki sejarah yang kuat. Dengan jadi tempat wisata, maka masyarakat umum bisa mengetahui secara lebih jauh sejarah dari PTPN XI.
"Harapan kami gedung ini juga bisa dimanfaatkan untuk wisata. Supaya masyarakat dan orang asing mau mampir dan melihat-lihat gedung bersejarah ini," kata Rini.
Sementata itu, Pemkot Surabaya mencatat, selama 2018 kunjungan wisatawan ke Surabaya, baik domestik maupun asing mencapai 29 juta. Jumlah itu jauh melampaui target sebanyak 19 juta wisatawan.
Di 2017, jumlah wisatawan yang berkunjung ke kota Pahlawan ini mencapai 24 juta orang. “Dari jumlah total wisatawan, sekitar 70 persen merupakan wisatawan domestik. Sisanya dari mancanegara,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Surabaya Antiek Sugihati.
Destinasi wisata yang paling banyak dikunjungi adalah cagar budaya dan juga wisata MICE. Pihaknya juga terus membenahi sejumlah lokasi wisata agar menarik pengunjung. Diantaranya di kawasan Surabaya utara yang banyak memiliki bangunan kuno dengan arsitektur menarik.
“Biasanya, wisatawan yang turun di bandara Juanda, akan menginap dulu di Surabaya. Tentu mereka juga berwisata dulu di kota ini. Baru setelah itu wisatawan melanjutkan wisatanya ke Bromo dan destinasi wisata lain di Jatim,” imbuh Antiek.
Berdasarkan data Pemkot Surabaya, terdapat 273 bangunan cagar budaya di Surabaya. Salah satunya adalah bangunan besar yang ada di Jalan Jalan Merak 1, Surabaya. Gedung PTPN XI itu saat ini kondisinya masih sangat terawat.
Gedung yang mulai dibangun pada tahun 1911 itu merupakan karya tiga arsitek terkenal dari Batavia yaitu Hulswit, Fermont, dan Ed. Cuypers. Meski pembangunan selesai pada tahun 1921, gedung ini baru diresmikan pada 18 April 1924.
Gedung ini dulunya adalah milik HVA (Handels Vereeniging Amsterdam—Asosiasi Pedagang Amsterdam). Di Belanda sendiri, HVA telah berdiri sejak tahun 1879 dan bergerak di bidang impor hasil pertanian serta budidaya tebu, kopi, dan singkong. Gedung PTPN XI ini mengusung gaya art-deco yang digabungkan dengan unsur tradisional.
Misalnya, pemakaian meja dan kayu dari jati. Unsur jawa bisa ditemukan pada dinding, tangga, pintu masuk dan galeri di lantai 2. Unsur lokal juga bisa dilihat dari arsitektur bangunan yang dipengaruhi arsitektur candi, khususnya pada bagian kapital kolom dan plengkung yang disangga berderet mengelilingi bangunan dari lantai satu hingga ke lantai dua.
Ruangan dan penyangga tersebut disela dengan koridor yang berfungsi untuk mengurangi paparan sinar matahari secara langsung. Selain budaya lokal, dekorasinya juga terpengaruh budaya India, seperti penggunaan detil dan molding pada kolom-kolom yang dihias sulur-sulur seperti hiasan pada candi.
Gedung ini sempat digunakan sebagai tempat perundingan antara Kolonel Pugh (utusan Jendral Mallaby) dari pihak sekutu dengan Dr Moestopo dari pihak Indonesia yang bertujuan untuk mendamaikan kedua belah pihak.
Sebelumnya, yaitu pada tanggal 30 September 1945 sampai 1 Oktober 1945, gedung ini dijadikan gudang senjata Angkatan Darat Jepang di Jawa Timur di bawah pimpinan Mayor Jenderal Iwabe. Gedung ini berhasil dikuasai dan dijadikan markas Comando Militer Djawa Timur (CMDT) dan Kementerian Pertahanan di bawah pimpinan Dr. Moestopo.
Pemerintah menasionalisasi gedung ini pada tahun 1958 untuk ditempati Perusahan Perkebunan Negara (PPN). PPN kemudian berubah nama menjadi PTPN dan gedung ini dipakai oleh PTPN XXIV. Yang terakhir, gedung ini berganti nama menjadi PTPN XI yang merupakan hasil peleburan PT Perkebunan XX dan PT Perkebunan XXIV-XXV.
Bangunan ini berbentuk simetris dengan bagian sayap kiri dan kanan. Gedung dua lantai ini berdiri di atas lahan seluas 1,6 hektar. Luas bangunan utamanya adalah 2.016 m2 sedangkan luas bangunan penunjangnya sekitar 4.126 m2.
Bangunan ini merupakan salah satu bangunan terbesar pada jamannya dan kabarnya menghabiskan sekitar 3000 m3 beton. Material seperti kaca, besi dan pegangan tangga didatangkan langsung dari Belanda dan Itali. Pada bagian depan terdapat delapan pilar kokoh yang terawat dengan baik.
Ketika memasuki ruangan, terdapat aula dengan anak tangga marmer putih megah dari Belgia, yang memanjang hingga ke koridor. Bangunan ini memiliki langit-langit yang tinggi khas bangunan Belanda.
Hiasan detail plafon diimpor dari Belanda, sedangkan panel-panel plafon terbuat dari kayu jati buatan lokal. Keseluruhan pintu di bangunan ini terbuat dari kayu yang kokoh. “Kami berupaya agar bangunan ini bisa terjaga dengan baik,” kata Direktur Utama PTPN XI Gede Meivera.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno saat berkunjung ke gedung ini beberapa waktu lalu berharap, gedung coklat kemerahan ini bisa sekaligus difungsikan sebagai obyek wisata. Sebab, bangunan ini memiliki sejarah yang kuat. Dengan jadi tempat wisata, maka masyarakat umum bisa mengetahui secara lebih jauh sejarah dari PTPN XI.
"Harapan kami gedung ini juga bisa dimanfaatkan untuk wisata. Supaya masyarakat dan orang asing mau mampir dan melihat-lihat gedung bersejarah ini," kata Rini.
Sementata itu, Pemkot Surabaya mencatat, selama 2018 kunjungan wisatawan ke Surabaya, baik domestik maupun asing mencapai 29 juta. Jumlah itu jauh melampaui target sebanyak 19 juta wisatawan.
Di 2017, jumlah wisatawan yang berkunjung ke kota Pahlawan ini mencapai 24 juta orang. “Dari jumlah total wisatawan, sekitar 70 persen merupakan wisatawan domestik. Sisanya dari mancanegara,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Surabaya Antiek Sugihati.
Destinasi wisata yang paling banyak dikunjungi adalah cagar budaya dan juga wisata MICE. Pihaknya juga terus membenahi sejumlah lokasi wisata agar menarik pengunjung. Diantaranya di kawasan Surabaya utara yang banyak memiliki bangunan kuno dengan arsitektur menarik.
“Biasanya, wisatawan yang turun di bandara Juanda, akan menginap dulu di Surabaya. Tentu mereka juga berwisata dulu di kota ini. Baru setelah itu wisatawan melanjutkan wisatanya ke Bromo dan destinasi wisata lain di Jatim,” imbuh Antiek.
(vhs)