Gairahkan Ekonomi, Raja Adat dan Warga Dukung Proyek PLTA Batangtoru
A
A
A
TAPANULI SELATAN - Raja adat, tokoh pemuda dan masyarakat pemerhati lingkungan mendukung keberlanjutan proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batangtoru berkapasitas 510 Mega Watt (MW) di Sungai Batangtoru, Tapanuli Selatan , Sumatera Utara.
Mereka menilai, pembangunan PLTA itu sangat menguntungkan rakyat dan akan menggairahkan ekonomi warga. Pengerjaan proyek ini sudah berjalan sekian lama, tidak ada pencemaran atau kerusakan lingkungan. Apalagi menyebabkan punahnya satwa dilindungi seperti Orangutan Tapanuli. (Baca Juga: Ratusan Warga Minta Proyek PLTA Batang Toru Jangan Diusik)
“Jika ada oknum atau kelompok mengaku pecinta lingkungan seperti Walhi Sumatera Utara yang berkeberatan, silakan datang dan temui saya,” kata Raja Luat Sipirok Edward Siregar gelar Sutan Parlindungan Soeangkoepon, kepada wartawan, Senin (25/1/2019).
Menurutnya, apabila dibandingkan dengan ratusan ribu hektare kawasan hutan Batangtoru yang menjadi habitat Orangutan Tapanuli dan satwa lainnya, Areal Penggunaan Lain (APL) yang dibuka untuk keperluan pembangunan fasilitas PLTA tersebut sangatlah sedikit.
Areal itu bukan hutan lindung, tetapi lahan yang selama ini dikebuni warga kemudian diganti rugi perusahaan. Sesuai penjelasan yang diterima Raja Luat Sipirok pada sosialisasi rencana pembangunan PLTA, sebagian lahan yang dibuka untuk keperluan transportasi angkutan bahan itu akan ditanami kembali.
“Tudingan merusak lingkungan dan punahnya satwa merupakan alasan yang dibuat-buat. Buktinya, sampai sekarang tidak ada Orangutan Tapanuli, Harimau Sumatera atau enggang yang ditemukan mati di Sipirok, Marancar dan Batangtoru,” katanya. (Baca Juga: SK Amdal PLTA Batang Toru 510 MW Sesuai Hukum dan Peraturan)
Hal senada dikatakan tokoh pemuda Sipirok, Rifai Pane dan Lempang Siagian. Alasan punahnya satwa karena kekurangan makanan akibat pembukaan lahan, menurut mereka sangatlah tidak benar. Bahkan kontradiktif dengan kondisi di lapangan.
Beberapa bulan lalu PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), Kementerian LHK, Pemkab Tapsel dan warga tiga kecamatan menanam pohon yang daun dan buahnya pakan bagi orangutan. Juga membangun koridor jembatan penyeberangan bagi primata di Blok Barat dan Blok Timur dan Blok Selatan ekosistem Batangtoru.
“PLTA sangat bermanfaat bagi kami. Demikian juga bagi pendidikan, perekonomian, kebutuhan energi listrik dan masa depan anak cucu kami,” kata Pane dan Lempang.
Elemen masyarakat Sipirok menegaskan bahwa sejak dulu masyarakat hidup damai berdampingan dengan satwa hutan Batangtoru. Tidak pernah saling mengganggu, karena ada kearifan lokal yang mengatur itu.
Ketua Paguyuban Pemerhati Lingkungan Sipirok, Marancar, Batangtoru (Simarboru) Abdul Gani Batubara menambahkan, alasan kekhawatiran terhadap bendungan PLTA di Sungai Batangtoru tidak perlu dilebih-lebihkan.
Pembangunan bendungan sudah diawali penelitian dan mitigasi yang dilakukan para ahli, baik itu faktor geologi, lingkungan dan konstruksinya. Tidak akan ada kekeringan terjadi di hilir bendungan, karena sesuai penjelasan yang disampaikan ke masyarakat, air tetap dialirkan ke sungai lewat bendung harian.
“Kita semua tahu aliran Sungai Batangtoru mayoritas berada di antara dua bukit yang curam dan jurangnya cukup dalam. Alirannya sangat jauh dari permukiman masyarakat Sipirok, Marancar dan Batangtoru, kecuali sedikit bangunan sebelum jembatan Trikora,” ujarnya.
Terakhir, perwakilan elemen masyarakat menegaskan bahwa menuntut penghentian pembangunan PLTA sama artinya memusuhi masyarakat Sipirok, Marancar dan Batangtoru. Khususnya daerah lingkar PLTA yang telah merasakan manfaat proyek ini.
Mereka menilai, pembangunan PLTA itu sangat menguntungkan rakyat dan akan menggairahkan ekonomi warga. Pengerjaan proyek ini sudah berjalan sekian lama, tidak ada pencemaran atau kerusakan lingkungan. Apalagi menyebabkan punahnya satwa dilindungi seperti Orangutan Tapanuli. (Baca Juga: Ratusan Warga Minta Proyek PLTA Batang Toru Jangan Diusik)
“Jika ada oknum atau kelompok mengaku pecinta lingkungan seperti Walhi Sumatera Utara yang berkeberatan, silakan datang dan temui saya,” kata Raja Luat Sipirok Edward Siregar gelar Sutan Parlindungan Soeangkoepon, kepada wartawan, Senin (25/1/2019).
Menurutnya, apabila dibandingkan dengan ratusan ribu hektare kawasan hutan Batangtoru yang menjadi habitat Orangutan Tapanuli dan satwa lainnya, Areal Penggunaan Lain (APL) yang dibuka untuk keperluan pembangunan fasilitas PLTA tersebut sangatlah sedikit.
Areal itu bukan hutan lindung, tetapi lahan yang selama ini dikebuni warga kemudian diganti rugi perusahaan. Sesuai penjelasan yang diterima Raja Luat Sipirok pada sosialisasi rencana pembangunan PLTA, sebagian lahan yang dibuka untuk keperluan transportasi angkutan bahan itu akan ditanami kembali.
“Tudingan merusak lingkungan dan punahnya satwa merupakan alasan yang dibuat-buat. Buktinya, sampai sekarang tidak ada Orangutan Tapanuli, Harimau Sumatera atau enggang yang ditemukan mati di Sipirok, Marancar dan Batangtoru,” katanya. (Baca Juga: SK Amdal PLTA Batang Toru 510 MW Sesuai Hukum dan Peraturan)
Hal senada dikatakan tokoh pemuda Sipirok, Rifai Pane dan Lempang Siagian. Alasan punahnya satwa karena kekurangan makanan akibat pembukaan lahan, menurut mereka sangatlah tidak benar. Bahkan kontradiktif dengan kondisi di lapangan.
Beberapa bulan lalu PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), Kementerian LHK, Pemkab Tapsel dan warga tiga kecamatan menanam pohon yang daun dan buahnya pakan bagi orangutan. Juga membangun koridor jembatan penyeberangan bagi primata di Blok Barat dan Blok Timur dan Blok Selatan ekosistem Batangtoru.
“PLTA sangat bermanfaat bagi kami. Demikian juga bagi pendidikan, perekonomian, kebutuhan energi listrik dan masa depan anak cucu kami,” kata Pane dan Lempang.
Elemen masyarakat Sipirok menegaskan bahwa sejak dulu masyarakat hidup damai berdampingan dengan satwa hutan Batangtoru. Tidak pernah saling mengganggu, karena ada kearifan lokal yang mengatur itu.
Ketua Paguyuban Pemerhati Lingkungan Sipirok, Marancar, Batangtoru (Simarboru) Abdul Gani Batubara menambahkan, alasan kekhawatiran terhadap bendungan PLTA di Sungai Batangtoru tidak perlu dilebih-lebihkan.
Pembangunan bendungan sudah diawali penelitian dan mitigasi yang dilakukan para ahli, baik itu faktor geologi, lingkungan dan konstruksinya. Tidak akan ada kekeringan terjadi di hilir bendungan, karena sesuai penjelasan yang disampaikan ke masyarakat, air tetap dialirkan ke sungai lewat bendung harian.
“Kita semua tahu aliran Sungai Batangtoru mayoritas berada di antara dua bukit yang curam dan jurangnya cukup dalam. Alirannya sangat jauh dari permukiman masyarakat Sipirok, Marancar dan Batangtoru, kecuali sedikit bangunan sebelum jembatan Trikora,” ujarnya.
Terakhir, perwakilan elemen masyarakat menegaskan bahwa menuntut penghentian pembangunan PLTA sama artinya memusuhi masyarakat Sipirok, Marancar dan Batangtoru. Khususnya daerah lingkar PLTA yang telah merasakan manfaat proyek ini.
(rhs)