Inilah Cerita Tionghoa dan Pangsit Mi Garuda di Kediri

Senin, 11 Februari 2019 - 05:00 WIB
Inilah Cerita Tionghoa...
Inilah Cerita Tionghoa dan Pangsit Mi Garuda di Kediri
A A A
Saat peristiwa kelam terjadi di Jakarta yakni G30S/PKI meletus, Liliana masih duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar (SD).

Liliana atau Lim Sho Lien bersekolah di sekolah milik organisasi Chung Hua Tsung Hui (CHTH).
CHTIH adalah perkumpulan umum orang Tionghoa Kediri. Sekolahan CHTH ditutup. Toko toko juga tutup. Peristiwa 65 membuat situasi mencekam. Tidak hanya satu dua hari. Bahkan berbulan-bulan.

Liliana drop out. Tidak bisa melanjutkan sekolah. Sekolah khusus Tionghoa (CHTH) yang beberapa tahun kemudian menjadi kawasan Hotel Grand Surya Kota Kediri hingga sekarang, tidak pernah buka lagi.

Begitu juga dengan Gie Swie, papanya, memutuskan berhenti berjualan pangsit mi berkeliling. Gie memilih menjajakan dagangannya dari rumah yang berada di daerah Kelurahan Pakelan, Kota Kediri. “Karena tidak lagi sekolah, tugas saya membantu orang tua membuat pangsit mi,“ tutur Liliana yang saat itu berharap masih bisa melanjutkan sekolah.

Rumah lawas di Jalan Wahidin No 23 itu merupakan rumah warisan. Ditempati secara turun temurun. Mendiang engkong (kakek) Liliana, yakni seorang Hoakiau (China totok) yang menurut penuturan Liliana datang langsung dari Negeri Tiongkok, sebagai penghuni awal.

Engkong Liliana seorang pedagang kue bulan yang menjajakan dagangannya dari klenteng ke klenteng. Setelah tutup usia, rumah itu dilungsurkan kepada Gie Swie atau ayah Liliana. “Bentuknya masih asli. Sampai hari ini tidak pernah direnovasi. Paling yang dibenahi hanya genting bocor dan plafon, “ ujar Liliana.

Rumah itu berada di kawasan Klenteng Tjoe Hwie Kiong Kediri. Tepatnya di belakang gedung bioskop Garuda yang hanya tinggal cerita. Karenannya pangsit mi buatan Gie Swie dikenal dengan nama Pangsit Garuda.

“Nama garuda diambil dari nama bekas gedung bioskop Garuda, “kata Liliana yang terkenang ketika masih kecil kerap menonton film di sana.

Sebagian ruangan rumah, yakni ruang tamu diubah menjadi depot atau tempat menerima pembeli pangsit mi garuda. Sebab tidak sedikit pembeli yang menikmati makanan di tempat. Meski sudah berusia uzur, Tan Jun Nio, mama Liliana, masih terlibat dalam proses masak memasak.

Tan Jun Nio masih cekatan menyiapkan Bian Shi atau dalam bahasa Hokkian disebut Pian Sit atau pangsit. Mulai pengukusan pangsit, mencincang sawi, seledri, dan menyuwir daging ayam, disiapkannya dengan cermat. Belakangan karena sakit sakitan, seluruh proses memasak pangsit mie itu diambil alih Liliana yang kini berusia 64 tahun.

Siang itu usai bantu bantu, Tan Jun Nio langsung bersandar di kursi goyang. Karena faktor usia, pendengaran Tan Jun Nio sudah banyak berkurang. “Mama (Tan Jun Nio) sering ngeluh badannya sudah pada sakit. Mungkin faktor usia, “ tutur Liliana yang kurang tahu pasti usia mamanya.

Pangsit mi garuda yang siap saji ditempatkan di dalam mangkuk bermotif batik China. Acar dan cabai ditempatkan pada wadah tersendiri. Begitu juga dengan kuah. Karena ada yang pangsit mi basah, dimana kuah langsung diguyurkan. Namun tidak sedikit yang menggemari pangsit mi kering.

“Kalau pembeli sekarang menyukai yang tidak terlalu basah, namun juga tidak kering. Kalau dulu semuanya suka basah, “ terang Liliana. Liliana mengklaim cita rasa pangsit mi garuda warisan papanya tidak pernah berubah. Meski harga seporsi Rp20 ribu dan itu cukup mahal, pelanggan pangsit mie Garuda tetap lengket.

Di Kota Kediri pangsit mi garuda cukup melegenda. Tidak hanya pelanggan lama. Para keturunannya juga ikut menjadi penikmat setia pangsit garuda. Liliana berharap usaha pangsit peninggalan mendiang papanya tetap lestari. Dia menaruh harapan suatu hari Roni, anak lelakinya yang sarjana arsitek, bisa melanjutkan.
“Saya sudah berbicara kepada anaknya (Roni) dan sudah menyatakan bersedia (melanjutkan usaha pangsit mi garuda), “katanya.
(vhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1263 seconds (0.1#10.140)