Tondowongso, Situs Kerajaan Kediri Kuno yang Terlupakan

Sabtu, 24 November 2018 - 05:00 WIB
Tondowongso, Situs Kerajaan...
Tondowongso, Situs Kerajaan Kediri Kuno yang Terlupakan
A A A
Dusun Tondowongso, Desa Gayam, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, 13 Januari 2007 silam dihebohkan penemuan situs bersejarah. Di bawah permukaan tanah lapang yang terpisah dari permukiman, saat alat keruk beberapa penggali tanah untuk membentur benda keras awalnya bongkahan batu biasa.

Namun saat tanah digali lebih dalam, dan di sekelilingnya diperluas, menyembulah sebuah patung lawas. Sebuah arca Dewa Brahma. Salah satu dewa penting dalam terminologi Hindu. "Saat itu langsung heboh. Orang orang pada berdatangan ingin melihat," kenang Mujiono warga setempat kepada sindonews.com.

Kehebohan berlanjut. Pada 18 Januari 2007 atau lima hari paska penemuan Sang Agni, giliran arca Dewi Durga yang 'muncul'. Arca istri Batara Syiwa itu juga dientas dari dalam tanah dengan cara dikeduk. Kedudukan Durga atau Parwati atau Dewi Uma di terminologi Hindu tidak kalah penting.

Ternyata, sebelum penemuan arca, para penggali tanah uruk pernah menemukan pondasi kuno. Dinding tebal dan panjang dengan susunan batu bata lebar itu juga terpendam di dalam tanah. Proses penemuan juga terjadi tidak sengaja.

Alih- alih melaporkan. Dimungkinkan karena takut, mereka memilih diam. Cerita itu keluar dengan sendirinya setelah arca Brahma dan Durga ditemukan. "Saat itu lokasi penemuan arca menjadi tempat wisata dadakan," terang Mujiono.

Berhari hari, bahkan berbulan bulan orang berjubel jubel, berdatangan. Mulai sendiri, bersama keluarga hingga rombongan besar. Tidak hanya warga Kediri, tapi juga dari luar kota.

Apalagi kabar dari mulut mulut, situs kuno ini akan menyaingi kebesaran candi Penataran di Kabupaten Blitar. Petugas kepurbakalaan dari Trowulan Mojoketo juga datang. Sejumlah ahli arkeologi juga datang. Tanah lapang seluas satu hektar milik Kiran, Munawar dan Suryani itu langsung disterilkan.

Dengan perhitungan skala tertentu, titik titik situs diukur dan ditetapkan, lalu disusul ekskavasi atau penggalian. Pada 19 Januari 2007, menyusul ditemukan arca Nandi. Dalam mitologi Hindu, Nandi atau Nandiswara adalah lembu tunggangan Dewa Syiwa.

Dengan adanya dua arca nandi, teorinya patung Dewa Syiwa tidak jauh dari sana. Pada 26 Januari 2007, penggalian menemukan Lingga Yoni dan beberapa patung lain. Kondisinya berbeda beda.

Ada yang masih utuh. Pendaman tanah beratus ratus tahun tidak banyak berpengaruh. Namun beberapa patung lainnya sudah tidak sempurna. Yoni yang ditemukan terbuat dari batu putih. Tingginya 28 cm dengan kepala naga sebagai penyangga.

Arca Dewa Syiwa berkepala empat juga ditemukan. Begitu juga dua arca Dewa Candra atau Dewa Kesuburan serta arca Dewa Surya. Ekskavasi yang dilakukan marathon juga menemukan arca Ardhanari, arca Durga Mahesasuramardani, dan Resi Agastya. Arca Ardhanari melambangkan persatuan Dewa Syiwa dengan Parwati atau Btari Durga.

Keberadaan Ardhanari menunjukkan situs sejarah sebagai komplek Candi Hindu Syiwa. Ekskavasi juga berhasil memperlihatkan pagar gugus candi setebal 90 cm. Juga dinding kuno disisi Timur dengan ketebalan 170 cm. Situs yang ditemukan diyakini memiliki benang merah dengan peninggalan Kerajaan Kediri kuno pada abad X.

Cerita tentang Kerajaan Kediri kuno tidak lepas dari mitologi Mpu Bharada dari lemah tulis yang diminta Raja Airlangga (Kerajaan Kahuripan) membagi kerajaannya menjadi dua, yakni Panjalu atau Kadiri yang beribukota di Daha, dan Jenggala di wilayah timur (sekarang Sidoarjo).

Kisah pembagian ini juga terkait erat dengan legenda Dewi Kilisuci, Calon Arang dan Raden Inu Kertapati atau Panji Asmarabangun. Airlangga sendiri lengser keprabon dan memilih madeg mandito ratu, yakni menjalani hidup sebagai pendeta.

Berdasarkan literatur sejarah, Kerajaan Panjalu atau Kadiri dengan ibukota di Daha (Dahanapura) berdiri pada tahun 1104 dengan raja pertama bernama Jayawarsa.

Setelah Jayawarsa, kekuasana dilanjutkan Raja Bameswara atau Kameswara I (1117-1130), Jayabaya (1135-1157), yakni dimana Panjalu dan Jenggala telah bersatu, Sarweswara (1161), Aryeswara (1169), Candra (1182), Kameswara II (1182-1185), dan Kertajaya (1190-1222).

Secara teori dan bukti bukti arkeologi, situs Tondowongso merupakan komplek bangunan suci peninggalan Raja Airlangga. Sepeninggal raja titisan Dewa Wisnu itu, komplek suci Tondowongso tidak banyak berfungsi. Apalagi setelah kekuasaan berpindah ke tangan wangsa Rajasa (Ken Arok) di Singasari.

Bergesernya konsep keagamaan dari Hindu Siwa ke Siwa Sogata (Budha Siwa) juga turut mempengaruhi. Sayang ekskavasi temuan yang disebut sebut yang terbesar sepanjang 30 tahun terakhir itu tidak berkelanjutan.

Saat ke lokasi, sindonews.com hanya menjumpai situasi sepi dan sangat bertolak belakang dengan suasana tahun 2007 silam. Tidak ada lagi wisatawan yang berkunjung. Tidak ada lagi keramaian. Di lokasi hanya terlihat sejumlah titik bekas galian yang ditinggalkan.

Bekas galian telah menjadi kubangan air hujan dengan beberapa tumpukan batu bata kuno. Terbengkalai. Arca yang ditemukan juga tidak ada di lokasi. Informasinya, seluruh bukti arkeologis itu diangkut ke Trowulan, Mojokerto.

Meski papan bertulisan situs kuno Tondowongso masih terpasang, singkat kata situasi Dusun Tondowongso kembali lagi seperti dulu, yakni daerah sepi yang jauh dari permukiman warga. “Kalau beberapa arca dibiarkan di lokasi, mungkin kunjungan wisatawan masih ramai seperti dulu. Tapi tentu resikonya rawan dicuri. Memang dilematis," papar Mujiono.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1126 seconds (0.1#10.140)