Kisah M Saleh, Anggota Babinkamtibmas Penyambung Harapan Anak Sekolah
A
A
A
JAKARTA - Ada banyak sekali orang tak dikenal di tengah masyarakat, namun memiliki dedikasi tinggi untuk berjuang mengubah keadaan. Brigadir Polisi Muhammad Saleh dari Bombana, Sulawesi Tenggara, berusia 35 tahun ini merupakan perwujudan slogan kepolisian yakni sebagai pelayan masyarakat.
Saleh merupakan pendiri sekolah swasta Anak Soleh yang tahun ini meraih Frans Seda Award bidang pendidikan. Saleh mendapat mandat sebagai pembina keamanan dan ketertiban masyarakat (Babinkamtibmas) di Desa Tunas Baru, Bombana, Sulawesi Tenggara pada 2015 lalu.
Saleh tak berdiam diri bekerja menerima keluhan masyarakat. Namun Saleh secara aktif menyambangi rumah ke rumah warga untuk menampung kendala apa yang dirasakan masyarakat. Keluhan yang paling banyak disampaikan warga desa kepada pria berkulit hitam manis ini ialah ketiadaan sekolah dasar yang tersedia bagi anak yang orangtuanya bekerja sebagai petambak ikan dan udang.
"Sekolah itu ada tapi jauh. Anak-anak harus jalan 8 kilometer dulu. Mereka harus menyeberangi pematang sawah dan juga rawan kecelakaan karena harus melewati jalan raya," katanya sebelum menerima penghargaan Frans Seda Award di kampus Unika Atmajaya, Jakarta.
Awalnya dia pun berdialog dengan kepala desa yang mengaku kesulitan mencarikan sekolah karena syarat mendirikan sekolah itu harus ada hibah bangunan, siswa dan juga gurunya. Dari ketiga syarat itu, dua bisa dipenuhi Saleh. Istrinya yang lulusan sarjana PGSD mau membantu menjadi guru. Sedangkan anak-anak desa pun berteriak kegirangan ketika dia sampaikan mau bangun sekolah.
Lalu bagaimana dia mendapatkan ruang kelas, Saleh mengungkapkan, dia menyulap kolong rumah sang kepala desa sebagai ruang kelas sementara. Rumah adat di Sulawesi Tenggara memang berbentuk segi empat memanjang dan berbentuk panggung. Pada 2016, rumah adat Banua Tada itupun resmi menjadi tempat mencari ilmu anak-anak warga desa Tunas Baru.
Saleh menjelaskan, kelas di kolong rumah itu hanya berjalan selama tiga bulan, sebab ada warga yang rumahnya kosong karena pergi merantau ke Kalimantan. Selama satu tahun istrinya mengajar tanpa digaji.
"Anak-anak semangat sekali belajar. Saya juga beruntung dibantu istri saya karena mau mengajar anak-anak secara sukarela," katanya terharu.
Warga desa pun senang karena anaknya bisa bersekolah dekat rumah sebab dulu mereka tak mau anaknya sekolah karena saking jauhnya sekolah maka tidak ada anak ada yang bisa membantu bekerja di tambak.
Saleh pun mengaku awalnya kerap memakai uang honornya sebagai Babinkamtimas untuk membelikan baju seragam ataupun sepatu bahkan uang transport bagi orang tua yang tak sanggup menyekolahkan anaknya.
Pada 2018 ini Sekolah Swasta Anak Soleh pun akhirnya mendapatkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Warga pun yang senang anaknya tak putus sekolah rela menyumbangkan sebagian hartanya untuk membangun enam ruang kelas.
Sekolah pun berani merekrut dua sarjana sekitar untuk bekerja sebagai guru honorer. Kini total sekolah Anak Soleh melayani siswa SD dari kelas 1 hingga kelas 4 sebanyak 40 orang. "Tahun depan akan nambah lagi 20 siswa SD. Tahun depan juga akan ada guru PNS yang mau dikirim ke sekolah kami," katanya yang bercita-cita mendirikan TK di desanya.
Rektor Unika Atma Jaya A Prasetyantoko, terkait acara mengatakan
Frans Seda Award adalah upaya komunitas Atma Jaya untuk mempertahankan, menjaga, dan merawat semangat para pendiri Atma Jaya dan salah satunya ditunjukan dengan memberikan penghargaan bagi orang-orang yang punya visi dan semangat yang sama dengan para pendiri.
Penghargaan FSA diselenggarakan setiap dua tahun sekali dan tahun ini memasuki kegiatan keempat kalinya. FSA pertama kali dilaksanakan pada 2012, sementara pembentukan panitia dilakukan sejak 2011. Tahun ini para nomine FSA 2018 berasal dari sembilan provinsi dan 10 kota.
Para pemenang FSA 2018 pada masing-masing kategori yakni bidang pendidikan dan kemanusiaan akan mendapatkan medali, Sertifikat dan uang tunai sebesar Rp50 juta.
Saleh merupakan pendiri sekolah swasta Anak Soleh yang tahun ini meraih Frans Seda Award bidang pendidikan. Saleh mendapat mandat sebagai pembina keamanan dan ketertiban masyarakat (Babinkamtibmas) di Desa Tunas Baru, Bombana, Sulawesi Tenggara pada 2015 lalu.
Saleh tak berdiam diri bekerja menerima keluhan masyarakat. Namun Saleh secara aktif menyambangi rumah ke rumah warga untuk menampung kendala apa yang dirasakan masyarakat. Keluhan yang paling banyak disampaikan warga desa kepada pria berkulit hitam manis ini ialah ketiadaan sekolah dasar yang tersedia bagi anak yang orangtuanya bekerja sebagai petambak ikan dan udang.
"Sekolah itu ada tapi jauh. Anak-anak harus jalan 8 kilometer dulu. Mereka harus menyeberangi pematang sawah dan juga rawan kecelakaan karena harus melewati jalan raya," katanya sebelum menerima penghargaan Frans Seda Award di kampus Unika Atmajaya, Jakarta.
Awalnya dia pun berdialog dengan kepala desa yang mengaku kesulitan mencarikan sekolah karena syarat mendirikan sekolah itu harus ada hibah bangunan, siswa dan juga gurunya. Dari ketiga syarat itu, dua bisa dipenuhi Saleh. Istrinya yang lulusan sarjana PGSD mau membantu menjadi guru. Sedangkan anak-anak desa pun berteriak kegirangan ketika dia sampaikan mau bangun sekolah.
Lalu bagaimana dia mendapatkan ruang kelas, Saleh mengungkapkan, dia menyulap kolong rumah sang kepala desa sebagai ruang kelas sementara. Rumah adat di Sulawesi Tenggara memang berbentuk segi empat memanjang dan berbentuk panggung. Pada 2016, rumah adat Banua Tada itupun resmi menjadi tempat mencari ilmu anak-anak warga desa Tunas Baru.
Saleh menjelaskan, kelas di kolong rumah itu hanya berjalan selama tiga bulan, sebab ada warga yang rumahnya kosong karena pergi merantau ke Kalimantan. Selama satu tahun istrinya mengajar tanpa digaji.
"Anak-anak semangat sekali belajar. Saya juga beruntung dibantu istri saya karena mau mengajar anak-anak secara sukarela," katanya terharu.
Warga desa pun senang karena anaknya bisa bersekolah dekat rumah sebab dulu mereka tak mau anaknya sekolah karena saking jauhnya sekolah maka tidak ada anak ada yang bisa membantu bekerja di tambak.
Saleh pun mengaku awalnya kerap memakai uang honornya sebagai Babinkamtimas untuk membelikan baju seragam ataupun sepatu bahkan uang transport bagi orang tua yang tak sanggup menyekolahkan anaknya.
Pada 2018 ini Sekolah Swasta Anak Soleh pun akhirnya mendapatkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Warga pun yang senang anaknya tak putus sekolah rela menyumbangkan sebagian hartanya untuk membangun enam ruang kelas.
Sekolah pun berani merekrut dua sarjana sekitar untuk bekerja sebagai guru honorer. Kini total sekolah Anak Soleh melayani siswa SD dari kelas 1 hingga kelas 4 sebanyak 40 orang. "Tahun depan akan nambah lagi 20 siswa SD. Tahun depan juga akan ada guru PNS yang mau dikirim ke sekolah kami," katanya yang bercita-cita mendirikan TK di desanya.
Rektor Unika Atma Jaya A Prasetyantoko, terkait acara mengatakan
Frans Seda Award adalah upaya komunitas Atma Jaya untuk mempertahankan, menjaga, dan merawat semangat para pendiri Atma Jaya dan salah satunya ditunjukan dengan memberikan penghargaan bagi orang-orang yang punya visi dan semangat yang sama dengan para pendiri.
Penghargaan FSA diselenggarakan setiap dua tahun sekali dan tahun ini memasuki kegiatan keempat kalinya. FSA pertama kali dilaksanakan pada 2012, sementara pembentukan panitia dilakukan sejak 2011. Tahun ini para nomine FSA 2018 berasal dari sembilan provinsi dan 10 kota.
Para pemenang FSA 2018 pada masing-masing kategori yakni bidang pendidikan dan kemanusiaan akan mendapatkan medali, Sertifikat dan uang tunai sebesar Rp50 juta.
(rhs)