Ditinggal Pulang ke Jawa, Tanah 2 Hektare Dicaplok Saudara Sendiri
A
A
A
PANGKALAN BUN - Ditinggal ke Pulau Jawa dalam waktu yang cukup lama, tiga petak tanah bersertifikat resmi Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), Kalteng tiba tiba sudah beralih nama ke orang lain yang masih ada ikatan saudara. Namun akhirnya kasus pencaplokan lahan ini berlanjut ke meja hijau.
Terdakwa adalah Sutrimo, warga Desa Karang Mulya, Kecamatan Pangkalan Banteng yang masih saudara korban, Sukardi (almarhum) dan Sumiyati (istri) serta (anak) Doni Dian Susilo.
Ketiganya merupakan transmigran yang sempat menetap di RT 11, RW 03, Desa Karang Mulya, Kecamatan Pangkalan Banteng yang memiliki tiga petak tanah dengan tiga sertifikat resmi BPN, dengan luasan masing-masing 2.500 m2 (yang dulunya lahan rumah), 7.500 m2, dan 10.000 m2 (kini menjadi kebun sawit). Total ada 2 hektare.
“Mereka bertiga ini dulu transmigran, pada 1997 anak Doni yang dulu masih kecil sekitar umur 7 tahunan sakit-sakit an. Akhirnya Sang ibu, Sumiyati dan Doni balik ke Kediri, Jawa Timur untuk mengobatkan sang anak dan menetap di Kediri. Dan suaminya Pak Sukardi masih menetap di Desa Karang Mulya sendirian,” ujar Mantan Kepala Desa Karang Mulya, Slamet Sutarso saat ditemui MNC Media di Pangkalan Bun untuk menceritakan kasusnya dari awal, Rabu (12/9/2018).
Kemudian pada tahun 1998, Sukardi meninggal dunia karena sakit di RSUD Sultan Imanuddin Pangkalan Bun. Sebelum meninggal, Sukardi sempat menitipkan 3 sertifikat tanah kepada tetangganya bernama, Sakun.
“Saat meninggal, yang mengurus segala keperluan pemakaman dan lain sebagainya adalah Sutrimo yang masih saudara istri almarhum Sukardi, yang juga menetap di RT 3, Desa Karang Mulya. Saat itu seluruh biaya pemakaman dan lain-lain dibiayai Sutrimo yang katanya menghabiskan Rp4 juta,” beber sang mantan kades ini yang juga menjadi saksi kunci.
Dia melanjutkan, mengetahui tiga sertifikat tanah milik almarhum Sukardi dititip ke Sakun, beberapa hari setelah pemakaman, istri Sutrimo mendatangi Sakun untuk meminta sertifikat tersebut.
“Saat itu, karena istri Almarhum Sukardi dan anak Doni masih di Kediri Jawa Timur, akhirnya tiga sertifikat tersebut diserahkan ke istri Sutrimo oleh Pak Sakun. Karena Pak Sakun merasa itu keluarganya, ya langsung dikasihkan saja,” ceritanya.
Selanjutnya, setelah tujuh hari meninggalnya Sukardi, ayah almarhum Sukardi, Tambir, datang dari Madiun Jawa Timur ke Desa Karang Mulya untuk menemui Sutrimo.
Ia ingin mengucapkan terima kasih karena telah mengurus pemakaman Sukardi sambil menanyakan biaya yang digunakan.
“Saat Pak Tambir tiba di Desa Karang Mulya langsung menemui Sutrimo. Dan Sutrimo bilang biaya pemakaman habis sekitar Rp4 juta. Namun karena Pak Tambir tidak ada uang, selanjutnya Pak Tambir dan Sutrimo menuju ke kantor desa untuk mencari jalan tengah,” beber Slamet.
Kemudian, lanjut Slamet, antara Pak Tambir dan Sutrimo akhirnya sepakat bahwa tiga sertifikat tetap dipegang Sutrimo sampai uang Rp4 juta dikembalikan.
“Di situlah saya buatkan surat pernyataan, antara Pak Tambir dan Sutrimo tentang ganti rugi biaya pemakaman. Isi surat pernyataan itu terkait ganti rugi bilamana dikemudian hari timbul masalah dengan membawa tiga sertifikat milik almarhum Sukardi, akan bersedia bertanggung jawab. Dan bilamana ada persoalan juga akan menjadi tanggung jawab Sutrimo. Bahkan surat pernyataan itu masih tersimpan di Kantor Desa Karang Mulya, ” timpalnya.
Beberapa tahun kemudian, pada 2005, Sutrimo kembali mendatangi Slamet Sutarso yang saat itu sudah menjadi mantan kades.
“Saat itu tahun 2005 di rumah saya, karena saya sudah tidak kades lagi. Sutrimo tiba tiba membawa fotokopi tiga sertifikat tanah yang sudah berbalik nama menjadi atas nama Murtini Handayani (nama anak Sutrimo). Saya kaget, kok bisa begitu,” ujar Slamet.
Menurut pengakuan Sutrimo, sertifikat itu sudah dibalik nama dengan bantuan Kantor Notaris, Nurhadi di Pangkalan Bun.
Padahal ahli waris almarhum Sukardi masih hidup yakni Sumiyati dan anak Doni Dian Susilo yang kini menetap di Kediri Jawa Timur.
“Saya kaget dan tidak habis pikir ko bisa berubah nama tanpa adanya persetujuan ahli waris yakni Sumiyati dan Doni,” ujarnya.
Merasa ada kejanggalan, Slamet dan sejumlah warga setempat yang merupakan tetangga almarhum Sukardi mencari informasi terkait perubahan nama di tiga sertifikat milik almarhum Sukardi yang kini dikuasai Sutrimo.
“Ternyata saat mengurus balik nama di notaris, Sutrimo mengaku kepada Notaris Nurhadi bahwa ahli waris almarhum Sukardi yakni anak dan istri sudah tidak ada, dan Sutrimo juga mengaku sudah membeli 3 petak tanah tersebut, melalui Pak Tambir (ayah almarhum Sukardi), namun tanpa adanya surat jual beli tanah. Namun saat saya menghubungi Pak Tambir mengaku tidak pernah menjual tanah tersebut kepada Sutrimo. Dan Pak Tambir juga membuat surat pernyataan tidak pernah menjual tanah milik almarhum Sukardi ke Sutrimo,” ungkapnya.
Kemudian, pada tahun 2014, sang ahli waris almarhum Sukardi, yakni Doni Dian Susilo yang kini sudah dewasa pergi ke Kalimantan untuk melihat tanah milik almarhum sang ayah.
“Saat tiba di rumahnya yang kini sudah tanah kosong di RT 11, RW 03, Desa Karang Mulya, Kecamatan Pangkalan Banteng, Doni mendapati tanahnya seluas 2.500 m2 sudah berpondasi dan akan dibangun Hotel oleh Sutrimo. Kemudian Doni minta para pekerja bangunan menghentikan pembangunan. Karena Doni merasa itu tanah punya almarhum sang ayah,” ujarnya.
Merasa dihentikan pembangunannya oleh Doni, Sutrimo kemudian marah dan mengancam akan memenjarakan Doni.
“Merasa bingung dengan kelakuan Sutrimo, Doni kemudian menemui Pak Agus Sutiono, tetangganya dulu saat dia masih kecil. Ditemani Pak Agus, Doni menuju Kantor BPN Kotawaringin Barat. Dan ternyata benar tiga sertifikat milik sang ayah sudah berpindah tangan ke Sutrimo dengan atas nama anak Sutrimo (Murtini Handayani),” kisahnya.
Slamet menambahkan, dengan membawa bukti fotokopi tiga sertifikat yang sudah berubah nama tersebut, Doni kemudian melaporkan kasus dugaan penggelapan serifikat tanah ke Polres Kobar pada 2014. Dan kemudian menanyakan ke kantor Notaris Nurhadi di Pangkalan Bun terkait diterbitkannya balik nama tiga sertifikat meski tanpa adanya persertujuan ahli waris utama yakni Sumiyati dan Doni yang masih hidup.
“Kemudian Notaris Nurhadi juga merasa dibohongi Sutrimo. Kemudian Notaris Nurhadi juga melaporkan Sutrimo ke Polres Kobar pada 2015 dengan laporan polisi memberi keterangan palsu dalam pembuatan akta sertifikat tanah. Pada 2015, akhirnya Sutrimo ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Kobar dan sempat ditahan 55 hari. Namun sidang di PN Kotawaringin Barat baru mulai sidang perdana pada 7 Agustus 2018, dan pada 12 Agustus 2018 sidang kedua dengan menghadirkan sejumlah saksi,” paparnya.
Di dalam persidangan, hanya para tetangga Doni yang menghadiri, untuk memberikan suport kepada keluarga Doni yang kini menetap di Kediri Jawa Timur.
“Doni sekarang kerja di Tangerang, kalau ibunya menetap di Kediri Jawa Timur. Kami semua warga Desa Karang Mulya yang akan mengawal kasus ini,” ujar Agus Sutiono yang juga warga Desa Karang Mulya memberikan dukungan moril saat di persidangan.
Sementara itu, saat MNC Media memantau jalannya sidang kedua pada Rabu (12/9/2018), terdakwa Sutrimo masih tetap santai dan mengaku perbuatannya itu benar dengan didampingi pengacaranya.
Terdakwa adalah Sutrimo, warga Desa Karang Mulya, Kecamatan Pangkalan Banteng yang masih saudara korban, Sukardi (almarhum) dan Sumiyati (istri) serta (anak) Doni Dian Susilo.
Ketiganya merupakan transmigran yang sempat menetap di RT 11, RW 03, Desa Karang Mulya, Kecamatan Pangkalan Banteng yang memiliki tiga petak tanah dengan tiga sertifikat resmi BPN, dengan luasan masing-masing 2.500 m2 (yang dulunya lahan rumah), 7.500 m2, dan 10.000 m2 (kini menjadi kebun sawit). Total ada 2 hektare.
“Mereka bertiga ini dulu transmigran, pada 1997 anak Doni yang dulu masih kecil sekitar umur 7 tahunan sakit-sakit an. Akhirnya Sang ibu, Sumiyati dan Doni balik ke Kediri, Jawa Timur untuk mengobatkan sang anak dan menetap di Kediri. Dan suaminya Pak Sukardi masih menetap di Desa Karang Mulya sendirian,” ujar Mantan Kepala Desa Karang Mulya, Slamet Sutarso saat ditemui MNC Media di Pangkalan Bun untuk menceritakan kasusnya dari awal, Rabu (12/9/2018).
Kemudian pada tahun 1998, Sukardi meninggal dunia karena sakit di RSUD Sultan Imanuddin Pangkalan Bun. Sebelum meninggal, Sukardi sempat menitipkan 3 sertifikat tanah kepada tetangganya bernama, Sakun.
“Saat meninggal, yang mengurus segala keperluan pemakaman dan lain sebagainya adalah Sutrimo yang masih saudara istri almarhum Sukardi, yang juga menetap di RT 3, Desa Karang Mulya. Saat itu seluruh biaya pemakaman dan lain-lain dibiayai Sutrimo yang katanya menghabiskan Rp4 juta,” beber sang mantan kades ini yang juga menjadi saksi kunci.
Dia melanjutkan, mengetahui tiga sertifikat tanah milik almarhum Sukardi dititip ke Sakun, beberapa hari setelah pemakaman, istri Sutrimo mendatangi Sakun untuk meminta sertifikat tersebut.
“Saat itu, karena istri Almarhum Sukardi dan anak Doni masih di Kediri Jawa Timur, akhirnya tiga sertifikat tersebut diserahkan ke istri Sutrimo oleh Pak Sakun. Karena Pak Sakun merasa itu keluarganya, ya langsung dikasihkan saja,” ceritanya.
Selanjutnya, setelah tujuh hari meninggalnya Sukardi, ayah almarhum Sukardi, Tambir, datang dari Madiun Jawa Timur ke Desa Karang Mulya untuk menemui Sutrimo.
Ia ingin mengucapkan terima kasih karena telah mengurus pemakaman Sukardi sambil menanyakan biaya yang digunakan.
“Saat Pak Tambir tiba di Desa Karang Mulya langsung menemui Sutrimo. Dan Sutrimo bilang biaya pemakaman habis sekitar Rp4 juta. Namun karena Pak Tambir tidak ada uang, selanjutnya Pak Tambir dan Sutrimo menuju ke kantor desa untuk mencari jalan tengah,” beber Slamet.
Kemudian, lanjut Slamet, antara Pak Tambir dan Sutrimo akhirnya sepakat bahwa tiga sertifikat tetap dipegang Sutrimo sampai uang Rp4 juta dikembalikan.
“Di situlah saya buatkan surat pernyataan, antara Pak Tambir dan Sutrimo tentang ganti rugi biaya pemakaman. Isi surat pernyataan itu terkait ganti rugi bilamana dikemudian hari timbul masalah dengan membawa tiga sertifikat milik almarhum Sukardi, akan bersedia bertanggung jawab. Dan bilamana ada persoalan juga akan menjadi tanggung jawab Sutrimo. Bahkan surat pernyataan itu masih tersimpan di Kantor Desa Karang Mulya, ” timpalnya.
Beberapa tahun kemudian, pada 2005, Sutrimo kembali mendatangi Slamet Sutarso yang saat itu sudah menjadi mantan kades.
“Saat itu tahun 2005 di rumah saya, karena saya sudah tidak kades lagi. Sutrimo tiba tiba membawa fotokopi tiga sertifikat tanah yang sudah berbalik nama menjadi atas nama Murtini Handayani (nama anak Sutrimo). Saya kaget, kok bisa begitu,” ujar Slamet.
Menurut pengakuan Sutrimo, sertifikat itu sudah dibalik nama dengan bantuan Kantor Notaris, Nurhadi di Pangkalan Bun.
Padahal ahli waris almarhum Sukardi masih hidup yakni Sumiyati dan anak Doni Dian Susilo yang kini menetap di Kediri Jawa Timur.
“Saya kaget dan tidak habis pikir ko bisa berubah nama tanpa adanya persetujuan ahli waris yakni Sumiyati dan Doni,” ujarnya.
Merasa ada kejanggalan, Slamet dan sejumlah warga setempat yang merupakan tetangga almarhum Sukardi mencari informasi terkait perubahan nama di tiga sertifikat milik almarhum Sukardi yang kini dikuasai Sutrimo.
“Ternyata saat mengurus balik nama di notaris, Sutrimo mengaku kepada Notaris Nurhadi bahwa ahli waris almarhum Sukardi yakni anak dan istri sudah tidak ada, dan Sutrimo juga mengaku sudah membeli 3 petak tanah tersebut, melalui Pak Tambir (ayah almarhum Sukardi), namun tanpa adanya surat jual beli tanah. Namun saat saya menghubungi Pak Tambir mengaku tidak pernah menjual tanah tersebut kepada Sutrimo. Dan Pak Tambir juga membuat surat pernyataan tidak pernah menjual tanah milik almarhum Sukardi ke Sutrimo,” ungkapnya.
Kemudian, pada tahun 2014, sang ahli waris almarhum Sukardi, yakni Doni Dian Susilo yang kini sudah dewasa pergi ke Kalimantan untuk melihat tanah milik almarhum sang ayah.
“Saat tiba di rumahnya yang kini sudah tanah kosong di RT 11, RW 03, Desa Karang Mulya, Kecamatan Pangkalan Banteng, Doni mendapati tanahnya seluas 2.500 m2 sudah berpondasi dan akan dibangun Hotel oleh Sutrimo. Kemudian Doni minta para pekerja bangunan menghentikan pembangunan. Karena Doni merasa itu tanah punya almarhum sang ayah,” ujarnya.
Merasa dihentikan pembangunannya oleh Doni, Sutrimo kemudian marah dan mengancam akan memenjarakan Doni.
“Merasa bingung dengan kelakuan Sutrimo, Doni kemudian menemui Pak Agus Sutiono, tetangganya dulu saat dia masih kecil. Ditemani Pak Agus, Doni menuju Kantor BPN Kotawaringin Barat. Dan ternyata benar tiga sertifikat milik sang ayah sudah berpindah tangan ke Sutrimo dengan atas nama anak Sutrimo (Murtini Handayani),” kisahnya.
Slamet menambahkan, dengan membawa bukti fotokopi tiga sertifikat yang sudah berubah nama tersebut, Doni kemudian melaporkan kasus dugaan penggelapan serifikat tanah ke Polres Kobar pada 2014. Dan kemudian menanyakan ke kantor Notaris Nurhadi di Pangkalan Bun terkait diterbitkannya balik nama tiga sertifikat meski tanpa adanya persertujuan ahli waris utama yakni Sumiyati dan Doni yang masih hidup.
“Kemudian Notaris Nurhadi juga merasa dibohongi Sutrimo. Kemudian Notaris Nurhadi juga melaporkan Sutrimo ke Polres Kobar pada 2015 dengan laporan polisi memberi keterangan palsu dalam pembuatan akta sertifikat tanah. Pada 2015, akhirnya Sutrimo ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Kobar dan sempat ditahan 55 hari. Namun sidang di PN Kotawaringin Barat baru mulai sidang perdana pada 7 Agustus 2018, dan pada 12 Agustus 2018 sidang kedua dengan menghadirkan sejumlah saksi,” paparnya.
Di dalam persidangan, hanya para tetangga Doni yang menghadiri, untuk memberikan suport kepada keluarga Doni yang kini menetap di Kediri Jawa Timur.
“Doni sekarang kerja di Tangerang, kalau ibunya menetap di Kediri Jawa Timur. Kami semua warga Desa Karang Mulya yang akan mengawal kasus ini,” ujar Agus Sutiono yang juga warga Desa Karang Mulya memberikan dukungan moril saat di persidangan.
Sementara itu, saat MNC Media memantau jalannya sidang kedua pada Rabu (12/9/2018), terdakwa Sutrimo masih tetap santai dan mengaku perbuatannya itu benar dengan didampingi pengacaranya.
(sms)