Naik Turun Bukit Demi Melistriki Pedalaman Papua
A
A
A
JAYAPURA - Ekspedisi Papua Terang (EPT) yang digagas PT PLN (Persero) menyisakan cerita haru dan tak terlupakan. Perjalanan menyusuri distrik-distrik pedalaman di Papua menjadi pengalaman luar biasa bagi anggota tim ekspedisi yang mayoritas mahasiswa itu.
Hal serupa juga dirasakan anggota tim lainnya dari kalangan internal PLN. Selain berhasil mengumpulkan data-data melalui survei, EPT ternyata semakin membangkitkan kecintaan terhadap Tanah Air. Para relawan yang rata-rata berasal dari luar Papua itu merasakan bagaimana sulitnya melistriki daerah yang jauh dari keramaian dan akses transportasi.
Setidaknya itulah yang dirasakan Christian Alberto Mamole, 25, pegawai PLN asal Minahasa, Sulawesi Utara. Pada program EPT, dia tergabung dalam Tim 101 ITB Jayapura ber sama 3 mahasiswa, 2 anggota TNI, dan 2 relawan PLN lain yang bekerja di Jayapura. EPT merupakan program terbaru dari PLN yang bertujuan meningkatkan elektrifikasi di Papua dan Papua Barat.
Ekspedisi ini melibatkan tim dari perguruan tinggi, Lembaga Penelitian Antarika Nasional (Lapan), TNI, dan pemerintah daerah. EPT diikuti 165 mahasiswa pencinta alam, 100 prajurit TNI, dan relawan PLN sebanyak 130 pegawai.
Tahap pertama, ekspedisi ini melibatkan 5 perguruan tinggi, yakni Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Sepuluh Nopember (ITS), dan Universitas Cendrawasih.
Christian yang bertugas selama sebulan di Posko EPT Jayapura mengaku sangat terkesan dan senang bisa bergabung dengan program yang digelar perusahaannya itu. Apalagi menjelajahi daerah-daerah baru di Nusantara merupakan keinginannya sejak dulu.
Dari sekian banyak desa di sejumlah distrik yang disinggahi untuk menyurvei potensi kelistrikan di Kabupaten Pegunungan Bintang, Christian punya pengalaman unik dari Distrik Borme.
Untuk mencapai distrik ini, pria yang sehari-harinya bertugas di PLTD Lopana, Amurang, Sulawesi Utara itu bersama timnya harus menempuh perjalanan dari Jayapura dengan pesawat perintis berbaling-baling tunggal selama kurang lebih 30 menit. Di distrik ini tim disambut antusias oleh warga setempat. Distrik ini sebenarnya tidak ada dalam daftar 415 desa yang harus disurvei oleh peserta EPT.
Namun karena Kepala Distrik Borme menyampaikan permintaan langsung kepada PLN Area Jayapura, Tim 101 pun bergerak ke distrik yang berada di pedalaman Pegunungan Bintang itu.
Meski sulit dijangkau, Tim 101 ITB Jayapura tetap dengan senang hati melakukan perjalanan. “Pertama kali agak kaget juga karena di sini tidak ada kendaraan untuk menjangkau desa-desa yang disurvei,” kata Christian.
Alhasil kondisi ini membuat dia bersama timnya harus rela berjalan kaki untuk mencapai daerah yang disurvei dan tempat survei di desa lain. Bahkan ada satu desa yang harus dijangkau dengan berjalan kali sejauh 25 km selama 3 jam melewati jalan setapak dan naik turun bukit.
“Total enam jam pergipulang. Beruntung ini distrik terakhir yang kami survei. Tapi kami senang karena warga di sana menyambut kami bak raja. Dimasakin papeda dan (disambut) upacara bakar batu,” katanya.
Di Borme, tim ekspedisi menghabiskan waktu empat hari untuk mensurvei delapan kampung yang jaraknya berjauhan. Semuanya ditempuh dengan berjalan kaki melewati hutan dan perbukitan. Christian menuturkan, penduduk di sana sangat mendambakan adanya listrik. Selama ini warga mengaku listrik merupakan barang mewah.
Maklum, karena kondisi alamnya yang sangat sulit dijangkau dan minimnya infrastruktur, jaringan listrik tidak masuk ke daerah itu. Sebenarnya, di Borme sebelumnya pernah ada Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang dibangun oleh pemerintah. Namun, kondisinya memerlukan perawatan agar lebih bermanfaat bagi masyarakat.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Tim 101 ITB Jayapura, untuk melistriki distrik Borme memang cocok dikembangkan PLTS. Infrastruktur ini sesuai dengan kondisi alam di daerah tersebut. Hanya saja pemeliharaannya harus dikawal agar fasilitas kelistrikan itu bisa dipakai secara berkesinambungan.
Satu hal yang dirasakan Christian setelah perjalanan ekspedisi tersebut adalah dia menjadi lebih termotivasi untuk bekerja lebih baik lagi di PLN. Dia pun mengapresiasi pegawai yang bekerja di daerah dengan keterbatasan akses dan infrastruktur, tetapi mereka tetap bisa menikmati pekerjaannya tanpa mengeluh.
“Kawan-kawan saya tidak pernah mengeluh. Ketawa-ketawa saja. Ini pertama kalinya dia ikut ekspedisi ke luar ke pedalaman. Saya bersyukur sekali tempat saya bekerja di Minahasa hanya 50 km sudah bisa sampai di ibu kota provinsi. Ekspedisi ini membuka mata saya bahwa masih butuh perhatian agar sila kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bisa diwujudkan,” ujarnya.
Mendaki Lereng Gunung
Perjalanan tak kalah menegangkan juga dialami Christian dkk pada ekspedisi kali ini. Pada awal Agustus lalu, sebelum ke Distrik Borme, dia bersama timnya melakukan survei di Distrik Okaom, Kabupaten Pegunungan Bintang. Distrik ini berada di ketinggian sehingga hanya bisa dicapai dengan pesawat dengan perjalanan 20-30 menit, tergantung pada kondisi cuaca.
Setelah menginap di Distrik Oksibil, tempat mendarat pesawat, sesuai rencana awal tim bergerak ke Distrik Okaom untuk melakukan survei di 5 kampung, antara lain Limarun, Bulangkop 1, dan Bulangkop 2.
Selanjutnya perjalanan diteruskan ke Distrik Okbape dengan menggunakan moda transportasi darat berupa mobil dobel gardan. Seperti biasa, jalanan yang dilewati menanjak terjal berbatu. Butuh 2 jam untuk mencapai desa lain, yakni Kampung Bapenka, Distrik Okbape.
Di ketinggian sekitar 2.400 meter dan suhu rata-rata 14 derajat Celsius, tim diberi tahu bahwa ada air terjun yang bisa dimanfaatkan untuk membuat pembangkit listrik mikrohidro. Lokasinya pun tidak jauh, hanya sekitar 250 meter dari pusat desa. Mendengar itu, tim girang bukan kepalang karena membayangkan bisa membangun pembangkit mikro hidro untuk melistriki desa tersebut.
“Dekat saja bapak, air terjunnya ada di belakang bukit itu, paling hanya 20 menit kita ke sana,” kata seorang kepala kampung kepada Tim 101 ITB. Tak lama tim pun bergerak menuju lokasi air terjun. Namun setelah berjalan beberapa menit, anggota tim EPT dibuat kaget.
Medan yang harus dilalui ternyata sangat ekstrem karena menanjak dengan kemiringan mencapai 60 derajat. Alhasil anggota tim EPT harus bersusah payah mendaki bukit dengan persiapan seadanya. Begitu sampai di puncak, perjalanan menuju air terjun diteruskan dengan menyusuri lereng dengan jurang menganga di salah satu sisinya.
Bahkan di salah satu titik mereka harus menyeberangi jurang dengan jembatan hanya berupa sebatang pohon yang dipasang melintang. “Batang pohonnya licin dan bikin ngeri, sementara saya pakai sepatu sneaker. Akhirnya saya merayap duduk pelan-pelan biar jangan sampai jatuh,” ujar Chris tian. “Asli adrenalin saya terpacu sekaligus deg-degan,” tambahnya.
Dengan temuan air terjun ini, tim EPT mengusulkan bahwa desa-desa di Distrik Okbape memungkinkan untuk membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH). Dengan aliran air terjun yang cukup deras, tim mengusulkan pembangkit tersebut bisa dibuat dengan sistem grid yang pasokan listriknya bisa tersambung ke desa lain.
Opsi lain dibuat isolated jika hanya untuk mengaliri listrik di satu desa saja. Melistriki Papua memang tidak mudah. Kondisi alamnya yang sangat luas dengan beragam kondisi serta minimnya infrastruktur, membuat PLN harus bekerja ekstra keras untuk melistriki provinsi paling timur di Indonesia itu. Selain Christian, anggota eks pedisi yang lain pun memi liki cerita yang sama terkait medan yang dihadapi.
Tidak hanya di gunung dan bukit, mereka juga harus menaklukkan ganasnya ombak dan daratan penuh rawa. Sulit? Sudah pasti. Akan tetapi, demi keadilan di NKRI semua tantangan itu harus dilalui agar penduduk negeri ini merasakan dampak pembangunan secara merata.
Hal serupa juga dirasakan anggota tim lainnya dari kalangan internal PLN. Selain berhasil mengumpulkan data-data melalui survei, EPT ternyata semakin membangkitkan kecintaan terhadap Tanah Air. Para relawan yang rata-rata berasal dari luar Papua itu merasakan bagaimana sulitnya melistriki daerah yang jauh dari keramaian dan akses transportasi.
Setidaknya itulah yang dirasakan Christian Alberto Mamole, 25, pegawai PLN asal Minahasa, Sulawesi Utara. Pada program EPT, dia tergabung dalam Tim 101 ITB Jayapura ber sama 3 mahasiswa, 2 anggota TNI, dan 2 relawan PLN lain yang bekerja di Jayapura. EPT merupakan program terbaru dari PLN yang bertujuan meningkatkan elektrifikasi di Papua dan Papua Barat.
Ekspedisi ini melibatkan tim dari perguruan tinggi, Lembaga Penelitian Antarika Nasional (Lapan), TNI, dan pemerintah daerah. EPT diikuti 165 mahasiswa pencinta alam, 100 prajurit TNI, dan relawan PLN sebanyak 130 pegawai.
Tahap pertama, ekspedisi ini melibatkan 5 perguruan tinggi, yakni Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Sepuluh Nopember (ITS), dan Universitas Cendrawasih.
Christian yang bertugas selama sebulan di Posko EPT Jayapura mengaku sangat terkesan dan senang bisa bergabung dengan program yang digelar perusahaannya itu. Apalagi menjelajahi daerah-daerah baru di Nusantara merupakan keinginannya sejak dulu.
Dari sekian banyak desa di sejumlah distrik yang disinggahi untuk menyurvei potensi kelistrikan di Kabupaten Pegunungan Bintang, Christian punya pengalaman unik dari Distrik Borme.
Untuk mencapai distrik ini, pria yang sehari-harinya bertugas di PLTD Lopana, Amurang, Sulawesi Utara itu bersama timnya harus menempuh perjalanan dari Jayapura dengan pesawat perintis berbaling-baling tunggal selama kurang lebih 30 menit. Di distrik ini tim disambut antusias oleh warga setempat. Distrik ini sebenarnya tidak ada dalam daftar 415 desa yang harus disurvei oleh peserta EPT.
Namun karena Kepala Distrik Borme menyampaikan permintaan langsung kepada PLN Area Jayapura, Tim 101 pun bergerak ke distrik yang berada di pedalaman Pegunungan Bintang itu.
Meski sulit dijangkau, Tim 101 ITB Jayapura tetap dengan senang hati melakukan perjalanan. “Pertama kali agak kaget juga karena di sini tidak ada kendaraan untuk menjangkau desa-desa yang disurvei,” kata Christian.
Alhasil kondisi ini membuat dia bersama timnya harus rela berjalan kaki untuk mencapai daerah yang disurvei dan tempat survei di desa lain. Bahkan ada satu desa yang harus dijangkau dengan berjalan kali sejauh 25 km selama 3 jam melewati jalan setapak dan naik turun bukit.
“Total enam jam pergipulang. Beruntung ini distrik terakhir yang kami survei. Tapi kami senang karena warga di sana menyambut kami bak raja. Dimasakin papeda dan (disambut) upacara bakar batu,” katanya.
Di Borme, tim ekspedisi menghabiskan waktu empat hari untuk mensurvei delapan kampung yang jaraknya berjauhan. Semuanya ditempuh dengan berjalan kaki melewati hutan dan perbukitan. Christian menuturkan, penduduk di sana sangat mendambakan adanya listrik. Selama ini warga mengaku listrik merupakan barang mewah.
Maklum, karena kondisi alamnya yang sangat sulit dijangkau dan minimnya infrastruktur, jaringan listrik tidak masuk ke daerah itu. Sebenarnya, di Borme sebelumnya pernah ada Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang dibangun oleh pemerintah. Namun, kondisinya memerlukan perawatan agar lebih bermanfaat bagi masyarakat.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Tim 101 ITB Jayapura, untuk melistriki distrik Borme memang cocok dikembangkan PLTS. Infrastruktur ini sesuai dengan kondisi alam di daerah tersebut. Hanya saja pemeliharaannya harus dikawal agar fasilitas kelistrikan itu bisa dipakai secara berkesinambungan.
Satu hal yang dirasakan Christian setelah perjalanan ekspedisi tersebut adalah dia menjadi lebih termotivasi untuk bekerja lebih baik lagi di PLN. Dia pun mengapresiasi pegawai yang bekerja di daerah dengan keterbatasan akses dan infrastruktur, tetapi mereka tetap bisa menikmati pekerjaannya tanpa mengeluh.
“Kawan-kawan saya tidak pernah mengeluh. Ketawa-ketawa saja. Ini pertama kalinya dia ikut ekspedisi ke luar ke pedalaman. Saya bersyukur sekali tempat saya bekerja di Minahasa hanya 50 km sudah bisa sampai di ibu kota provinsi. Ekspedisi ini membuka mata saya bahwa masih butuh perhatian agar sila kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bisa diwujudkan,” ujarnya.
Mendaki Lereng Gunung
Perjalanan tak kalah menegangkan juga dialami Christian dkk pada ekspedisi kali ini. Pada awal Agustus lalu, sebelum ke Distrik Borme, dia bersama timnya melakukan survei di Distrik Okaom, Kabupaten Pegunungan Bintang. Distrik ini berada di ketinggian sehingga hanya bisa dicapai dengan pesawat dengan perjalanan 20-30 menit, tergantung pada kondisi cuaca.
Setelah menginap di Distrik Oksibil, tempat mendarat pesawat, sesuai rencana awal tim bergerak ke Distrik Okaom untuk melakukan survei di 5 kampung, antara lain Limarun, Bulangkop 1, dan Bulangkop 2.
Selanjutnya perjalanan diteruskan ke Distrik Okbape dengan menggunakan moda transportasi darat berupa mobil dobel gardan. Seperti biasa, jalanan yang dilewati menanjak terjal berbatu. Butuh 2 jam untuk mencapai desa lain, yakni Kampung Bapenka, Distrik Okbape.
Di ketinggian sekitar 2.400 meter dan suhu rata-rata 14 derajat Celsius, tim diberi tahu bahwa ada air terjun yang bisa dimanfaatkan untuk membuat pembangkit listrik mikrohidro. Lokasinya pun tidak jauh, hanya sekitar 250 meter dari pusat desa. Mendengar itu, tim girang bukan kepalang karena membayangkan bisa membangun pembangkit mikro hidro untuk melistriki desa tersebut.
“Dekat saja bapak, air terjunnya ada di belakang bukit itu, paling hanya 20 menit kita ke sana,” kata seorang kepala kampung kepada Tim 101 ITB. Tak lama tim pun bergerak menuju lokasi air terjun. Namun setelah berjalan beberapa menit, anggota tim EPT dibuat kaget.
Medan yang harus dilalui ternyata sangat ekstrem karena menanjak dengan kemiringan mencapai 60 derajat. Alhasil anggota tim EPT harus bersusah payah mendaki bukit dengan persiapan seadanya. Begitu sampai di puncak, perjalanan menuju air terjun diteruskan dengan menyusuri lereng dengan jurang menganga di salah satu sisinya.
Bahkan di salah satu titik mereka harus menyeberangi jurang dengan jembatan hanya berupa sebatang pohon yang dipasang melintang. “Batang pohonnya licin dan bikin ngeri, sementara saya pakai sepatu sneaker. Akhirnya saya merayap duduk pelan-pelan biar jangan sampai jatuh,” ujar Chris tian. “Asli adrenalin saya terpacu sekaligus deg-degan,” tambahnya.
Dengan temuan air terjun ini, tim EPT mengusulkan bahwa desa-desa di Distrik Okbape memungkinkan untuk membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH). Dengan aliran air terjun yang cukup deras, tim mengusulkan pembangkit tersebut bisa dibuat dengan sistem grid yang pasokan listriknya bisa tersambung ke desa lain.
Opsi lain dibuat isolated jika hanya untuk mengaliri listrik di satu desa saja. Melistriki Papua memang tidak mudah. Kondisi alamnya yang sangat luas dengan beragam kondisi serta minimnya infrastruktur, membuat PLN harus bekerja ekstra keras untuk melistriki provinsi paling timur di Indonesia itu. Selain Christian, anggota eks pedisi yang lain pun memi liki cerita yang sama terkait medan yang dihadapi.
Tidak hanya di gunung dan bukit, mereka juga harus menaklukkan ganasnya ombak dan daratan penuh rawa. Sulit? Sudah pasti. Akan tetapi, demi keadilan di NKRI semua tantangan itu harus dilalui agar penduduk negeri ini merasakan dampak pembangunan secara merata.
(don)