Lumbung Pangan dari Tanah Datar
A
A
A
Awal pekan lalu hujan turun membasahi Kota Merauke, Papua. Itu adalah hujan pertama dalam sebulan terakhir di kota itu. Meski hanya sebentar, hujan itu mampu mendinginkan udara.
Tidak terlalu panas. Dan, beban Yarky pun sedikit berkurang. Yarky adalah warga Western Povince, Papua Nugini (PNG). Dia baru saja berbelanja kebutuhan bahan pokok di Distrik Sota, Merauke. Seperti beras, mi instan, gula, sabun, dan lainnya.
Perjalanan Yarky tidak mudah. Untuk mencapai Sota, dia harus berjalan kaki satu hingga dua hari dari kampungnya. Tergantung kekuatan kaki. Dari garis perbatasan, Yarky menuju ke timur hingga sampai di Sungai Torasi. Lebar sungai mencapai dua kilometer.
Naik ketinting (perahu kayu) adalah satu-satunya jalan untuk menyeberang. Turun dari ketinting, Yarky masih meneruskan berjalan kaki. ”Berbelanja ke Sota jauh lebih dekat dibandingkan ke ibu kota Western Province yang hanya bisa ditempuh menggunakan pesawat,” kata Yarky kepada tim Teras Indonesia hasil kerja sama KORAN SINDO dan Bank BRI, pertengahan Agustus lalu.
Yarky adalah salah satu dari sekian banyak warga PNG yang kerap ke Sota untuk membeli bahan makanan. Mereka berasal dari sembilan kampung yang berada di wilayah perbatasan antara PNG dan Merauke.
Selain jaraknya lebih dekat, harga kebutuhan bahan pokok di Sota juga jauh lebih murah. Beras misalnya, di Sota hanya dijual Rp8.000/kg, sementara di negaranya bisa mencapai Rp20.000/kg. Kendati berada di ujung timur Indonesia, Merauke tidak pernah kekurangan bahan pangan, utamanya beras. Wilayah Papua bagian selatan ini merupakan lumbung padi.
Total ada 50.143 hektare (ha) sawah terhampar di Tanah Datar, julukan Merauke. Tersebar di Distrik Semangga, Distrik Kurik, Distrik Tanah Miring, dan Distrik Malind.
Dari luasan sawah itu, Merauke mampu memproduksi padi hingga 200.000 ton/tahun. Jumlah itu jauh melebihi kebutuhan pangan Kabupaten Merauke yang hanya 28.000 ton/tahun.
”Karena produksi surplus, Merauke bisa menjual beras ke daerah-daerah tetangga, seperti Kabupaten Asmat, Mappi, Bovel Digul, Pegunungan Bintang, Wamena, Jayapura, Sorong, dan Jaya Wijaya. Bahkan jika ada pengusaha yang mau turun tangan, bisa mengekspor beras ke PNG,” ujar Wakil Bupati Merauke Sularso.
Produktivitas padi di Merauke sebenarnya belum maksimal. Tipe sawahnya tadah hujan, sehingga hanya mengandalkan hujan untuk memenuhi kebutuhan air tanaman.
Irigasi berfungsi menampung air selama musim penghujan yang berlangsung mulai Januari hingga Juli. Para petani harus mengontrol aliran air dari irigasi ke sawah agar tanaman padi bisa panen dua kali dalam setahun, yakni pada April dan Agustus. Ngadimin,48, anggota kelompok tani Sukoraharjo di Kampung Semangga 3, Distrik Semangga mengatakan, sebenarnya irigasi di kampungnya tersambung ke Sungai Maro.
Sungai besar di Kabupaten Merauke. Namun ketika air laut pasang, air yang mengalir dari sungai ke irigasi menjadi asin. Jika tetap dibiarkan masuk ke areal persawahan tentu berbahaya. Tanaman padi bisa mati. Selain irigasi, kendala yang dihadapi petani di Merauke adalah pupuk. Sering kali pupuk bersubsidi dari pemerintah datang terlambat.
Mau tidak mau petani harus membeli pupuk tanpa subsidi di pasaran agar tanaman padi bisa tumbuh dengan baik. Padahal selisih harga antara pupuk bersubsidi dan nonsubsidi bisa mencapai Rp400.000/kuintal. Harga urea bersubsidi di Merauke saat ini Rp180.000, TSP36 Rp220.000, dan Phonska Rp230.000.
”Kebutuhan pupuk untuk satu hektare mencapai 4 kuin tal. Kalau pupuk subsidi datang terlambat, kami harus membeli pupuk nonsubsidi. Tentu biayanya jadi membengkak karena rata-rata petani di sini memiliki 5 ha sawah,” kata Ngadimin yang sejak kecil pindah ke Merauke ikut ayahnya transmigrasi pada 1984 silam.
Karena kepemilikan lahan sawah yang luas, petani di Merauke menggunakan mekanisasi dalam budidaya pertanian. Mereka menggunakan rotari dan traktor untuk mengolah tanah. Sementara ketika panen menggunakan mesin komben. Semacam mesin pemisah bulir padi dari tangkainya. Alat-alat pertanian ini juga menjadi kendala tersendiri bagi petani di Merauke karena harganya cukup mahal.
Rotari dan komben misalnya, harganya bisa mencapai Rp400 juta/unit. Petani terpaksa menyewanya. Itu berarti mereka harus menunggu giliran ketika banyak yang membutuhkan. Pelaku pertanian di Merauke kebanyakan memang warga pendatang. Mereka adalah peserta program transmigrasi di era Presiden Suharto.
Para transmigran menggarap lahanlahan tidur untuk bercocok tanam hingga berkembang seperti sekarang. Anak cucu transmigran meneruskan usaha budidaya pertanian karena hasil yang diperoleh sangat menjanjikan. Hasil panen tidak hanya cukup untuk makan tapi juga menyekolahkan putra-putrinya hingga ke jenjang perguruan tinggi.
”Saya mempunyai sembilan anak. Alhamdulillah tiga anak saya lulus kuliah. Mereka kini menjadi pegawai sambil bertani,” kata Parto Mujiono,68, transmigran asal Sragen, Jawa Tengah. Di samping rumah Parto terparkir sebuah mobil MPV keluaran terbaru dan satu unit traktor yang menandakan perekonomian keluarganya cukup mapan.
Keberhasilan para pendatang mengolah lahan pertanian ini lamakelamaan menggugah warga lokal untuk mengikutinya. Mereka belajar budidaya padi dari para pendatang untuk kemudian dipraktikkan. Seperti Anton Maro, anggota kelompok tani di Kampung Sirapu, Distrik Semangga, Merauke. Ayah dua anak ini memiliki lima hektare sawah yang digarap sendiri. Hasil panen rata-rata 3,5 ton/hektare.
”Dari hasil panen itu saya bisa mendapatkan uang Rp20 juta (per haktare). Ini bisa untuk membiayai kehidupan keluarga,” ungkap Anton yang bertani mengikuti jejak ayahnya. Sama seperti petani lain di Merauke, Anton juga menggunakan mekanisasi dalam budi daya padi. Lahan sawah yang luas tidak bisa digarap manual.
Apalagi sumber daya manusia (SDM) petani buruh di Merauke sangat terbatas. ”Tidak sanggup kalau tanpa mesin,” katanya. Bertani juga dilakoni warga lokal lainnya, Fitalis wasri Gebze. Dia memiliki 2,5 ha sawah.
Namun Fitalis agak berbeda. Lantaran tidak memiliki biaya, dia terpaksa tidak memupuk tanaman padinya. Pupuk subsidi dari pemerintah tidak bisa diandalkan karena datangnya sering terlambat.
Itulah mengapa hasil panen sawah milik Fitalis sangat minim, hanya sekitar 1,48 ton/hektare. ”Tidak punya biaya. Olah lahan saja habis Rp2 juta/hektare untuk sewa rotari dan traktor. Untuk bayar mesin komben ketika panen, saya bagi hasil. Pemilik mesin komben mendapat 1 sak untuk setiap 8 sak padi,” katanya.
Kondisi ini menjadi keprihatinan tersendiri bagi Pemerintah Ka bupaten (Pemkab) Merauke. Sebab, sektor pertanian menjadi fokus ke depan sebagai upaya mewujudkan Merauke menjadi lumbung pangan nasional. Sektor ini diharapkan bisa membuka lapangan pekerjaan dan juga meningkatkan kesejahteraan warga.
Tidak hanya warga pendatang tapi juga suku Malind Anim Ha yang merupakan warga asli Merauke. Untuk itu, Pemkab Merauke mengalokasikan anggaran 30% APBD untuk sektor pertanian. Anggaran itu digunakan untuk pendampingan, merekrut penyuluh-penyuluh pertanian, diskusi, dan mendatangkan tenaga ahli agar pertanian di Merauke semakin maju.
”Kami juga melakukan sinergi dengan TNI/Polri, di mana setiap Babinsa wajib memiliki lahan pertanian, sehingga mereka bisa juga bisa memberikan pendampingan kepada masyarakat,” kata Wakil Bupati Merauke Sularso. Merauke memiliki 1,2 juta hektare lahan pertanian yang terdiri atas lahan basah dan lahan kering.
Hingga saat ini baru sedikit yang sudah dimanfaatkan untuk lahan pertanian. Misalnya, sawah(50.143ha) dan perkebunan (50.308,7 ha). Lahan perkebunan ini antara lain ditanami cabai (147 ha) dan pohon kelapa (6.726 ha). ”Dalam tiga tahun terakhir, Kabupaten Merauke membuka lahan sawah baru seluas 7.800 ha,” kata Sularso.
Beberapa kendala yang disampaikan petani juga menjadi fokus program pertanian Merauke. Pemkab berupaya membangun irigasi primer dan sekunder serta memenuhi kebutuhan pupuk petani. Diakui oleh Sularso, saat ini baru 50% kuota pupuk untuk Kabupaten Merauke yang terealisasi. Padahal jika kuota itu terpenuhi, maka produktivitas padi di Tanah Datar bisa mencapai 7-8 ton/hektare.
Sejak Zaman Belanda
Sektor pertanian tidak bisa dipisahkan dari Merauke. Sejak zaman Belanda, Merauke telah dijadikan sebagai lumbung pangan. Beragam proyek dilakukan untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Dari mulai proyek Padi Kumbe pada 1939-1958, dilanjutkan Program Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) pada 2007, lalu Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pada 2009, dan kini program sejuta hektare sawah di era Presiden Jokowi.
Sekretaris Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Merauke Albin Gebze mengatakan, padi sebenarnya bukan hal baru bagi Tanah Datar.
Masyarakat sudah membudida yakannya sejak zaman kolonial. Itu terbukti dengan adanya masa kejayaan Padi Kumbe pada 1950- 1958. Sayangnya, padi ter sebut kini sudah hilang tak berbekas. ”Belanda juga membangun irigasi kumbe di Merauke yang merupakan iri gasi terbaik di dunia. Selain di Merauke, irigasi ini juga ada di Suriname,” katanya.
Mengapa beragam proyek lumbung pangan belum sepenuhnya berhasil di Merauke? Albin menilai karena pemerintah tidak melakukan pendekatan adat dalam mengembangkan proyek lumbung pangan ini. Cara ini penting dilakukan karena suku asli Merauke yaitu Malind Anim Ha memiliki kepercayaan yang tidak bisa ditabrak.
”Ada tujuh kelompok besar dalam Suku Malind Anim Ha yang masing-masing memiliki totem (benda atau binatang yang dianggap suci dan dipuja) berbeda-beda. Ini yang harus dipahami,” ujarnya.
Misalnya kelompok masyarakat yang memiliki totem sagu. Mereka tidak akan bisa menerima ketika pembukaan lahan sawah atau komoditas pertanian lain menghancurkan tanaman sagu. Sebab, tanaman sagu di anggap suci dan tidak boleh di ganggu keberadaannya.
Pun dengan kelompok-kelompok lain dengan totem kelapa, kanguru, dan lainnya. Artinya, dalam setiap pembukaan lahan pertanian baru tidak boleh sembarangan.
Perlu disesuaikan dengan adat budaya Suku Malind. Ketua LMA Kabupaten Merauke Fredericus Wanim Mahoze menambahkan, saat ini total penduduk Suku Malind Anim Ha di Merauke sekitar 40.000 orang.
Dari jumlah itu tidak lebih dari 10% yang mulai ikut bertani padi. ”LMA terus mendorong warga lokal untuk ikut dilibatkan dalam pengembangan padi di Merauke. Mereka perlu diberikan motivasi,” katanya.
Fredericus yakin program lumbung pangan nasional di Merauke akan sukses ke depan. Syaratnya hanya satu. Seperti moto Kabupaten Me rauke, Izakod Bekai Izakod Kai yang berarti satu hati satu tujuan.
Tidak terlalu panas. Dan, beban Yarky pun sedikit berkurang. Yarky adalah warga Western Povince, Papua Nugini (PNG). Dia baru saja berbelanja kebutuhan bahan pokok di Distrik Sota, Merauke. Seperti beras, mi instan, gula, sabun, dan lainnya.
Perjalanan Yarky tidak mudah. Untuk mencapai Sota, dia harus berjalan kaki satu hingga dua hari dari kampungnya. Tergantung kekuatan kaki. Dari garis perbatasan, Yarky menuju ke timur hingga sampai di Sungai Torasi. Lebar sungai mencapai dua kilometer.
Naik ketinting (perahu kayu) adalah satu-satunya jalan untuk menyeberang. Turun dari ketinting, Yarky masih meneruskan berjalan kaki. ”Berbelanja ke Sota jauh lebih dekat dibandingkan ke ibu kota Western Province yang hanya bisa ditempuh menggunakan pesawat,” kata Yarky kepada tim Teras Indonesia hasil kerja sama KORAN SINDO dan Bank BRI, pertengahan Agustus lalu.
Yarky adalah salah satu dari sekian banyak warga PNG yang kerap ke Sota untuk membeli bahan makanan. Mereka berasal dari sembilan kampung yang berada di wilayah perbatasan antara PNG dan Merauke.
Selain jaraknya lebih dekat, harga kebutuhan bahan pokok di Sota juga jauh lebih murah. Beras misalnya, di Sota hanya dijual Rp8.000/kg, sementara di negaranya bisa mencapai Rp20.000/kg. Kendati berada di ujung timur Indonesia, Merauke tidak pernah kekurangan bahan pangan, utamanya beras. Wilayah Papua bagian selatan ini merupakan lumbung padi.
Total ada 50.143 hektare (ha) sawah terhampar di Tanah Datar, julukan Merauke. Tersebar di Distrik Semangga, Distrik Kurik, Distrik Tanah Miring, dan Distrik Malind.
Dari luasan sawah itu, Merauke mampu memproduksi padi hingga 200.000 ton/tahun. Jumlah itu jauh melebihi kebutuhan pangan Kabupaten Merauke yang hanya 28.000 ton/tahun.
”Karena produksi surplus, Merauke bisa menjual beras ke daerah-daerah tetangga, seperti Kabupaten Asmat, Mappi, Bovel Digul, Pegunungan Bintang, Wamena, Jayapura, Sorong, dan Jaya Wijaya. Bahkan jika ada pengusaha yang mau turun tangan, bisa mengekspor beras ke PNG,” ujar Wakil Bupati Merauke Sularso.
Produktivitas padi di Merauke sebenarnya belum maksimal. Tipe sawahnya tadah hujan, sehingga hanya mengandalkan hujan untuk memenuhi kebutuhan air tanaman.
Irigasi berfungsi menampung air selama musim penghujan yang berlangsung mulai Januari hingga Juli. Para petani harus mengontrol aliran air dari irigasi ke sawah agar tanaman padi bisa panen dua kali dalam setahun, yakni pada April dan Agustus. Ngadimin,48, anggota kelompok tani Sukoraharjo di Kampung Semangga 3, Distrik Semangga mengatakan, sebenarnya irigasi di kampungnya tersambung ke Sungai Maro.
Sungai besar di Kabupaten Merauke. Namun ketika air laut pasang, air yang mengalir dari sungai ke irigasi menjadi asin. Jika tetap dibiarkan masuk ke areal persawahan tentu berbahaya. Tanaman padi bisa mati. Selain irigasi, kendala yang dihadapi petani di Merauke adalah pupuk. Sering kali pupuk bersubsidi dari pemerintah datang terlambat.
Mau tidak mau petani harus membeli pupuk tanpa subsidi di pasaran agar tanaman padi bisa tumbuh dengan baik. Padahal selisih harga antara pupuk bersubsidi dan nonsubsidi bisa mencapai Rp400.000/kuintal. Harga urea bersubsidi di Merauke saat ini Rp180.000, TSP36 Rp220.000, dan Phonska Rp230.000.
”Kebutuhan pupuk untuk satu hektare mencapai 4 kuin tal. Kalau pupuk subsidi datang terlambat, kami harus membeli pupuk nonsubsidi. Tentu biayanya jadi membengkak karena rata-rata petani di sini memiliki 5 ha sawah,” kata Ngadimin yang sejak kecil pindah ke Merauke ikut ayahnya transmigrasi pada 1984 silam.
Karena kepemilikan lahan sawah yang luas, petani di Merauke menggunakan mekanisasi dalam budidaya pertanian. Mereka menggunakan rotari dan traktor untuk mengolah tanah. Sementara ketika panen menggunakan mesin komben. Semacam mesin pemisah bulir padi dari tangkainya. Alat-alat pertanian ini juga menjadi kendala tersendiri bagi petani di Merauke karena harganya cukup mahal.
Rotari dan komben misalnya, harganya bisa mencapai Rp400 juta/unit. Petani terpaksa menyewanya. Itu berarti mereka harus menunggu giliran ketika banyak yang membutuhkan. Pelaku pertanian di Merauke kebanyakan memang warga pendatang. Mereka adalah peserta program transmigrasi di era Presiden Suharto.
Para transmigran menggarap lahanlahan tidur untuk bercocok tanam hingga berkembang seperti sekarang. Anak cucu transmigran meneruskan usaha budidaya pertanian karena hasil yang diperoleh sangat menjanjikan. Hasil panen tidak hanya cukup untuk makan tapi juga menyekolahkan putra-putrinya hingga ke jenjang perguruan tinggi.
”Saya mempunyai sembilan anak. Alhamdulillah tiga anak saya lulus kuliah. Mereka kini menjadi pegawai sambil bertani,” kata Parto Mujiono,68, transmigran asal Sragen, Jawa Tengah. Di samping rumah Parto terparkir sebuah mobil MPV keluaran terbaru dan satu unit traktor yang menandakan perekonomian keluarganya cukup mapan.
Keberhasilan para pendatang mengolah lahan pertanian ini lamakelamaan menggugah warga lokal untuk mengikutinya. Mereka belajar budidaya padi dari para pendatang untuk kemudian dipraktikkan. Seperti Anton Maro, anggota kelompok tani di Kampung Sirapu, Distrik Semangga, Merauke. Ayah dua anak ini memiliki lima hektare sawah yang digarap sendiri. Hasil panen rata-rata 3,5 ton/hektare.
”Dari hasil panen itu saya bisa mendapatkan uang Rp20 juta (per haktare). Ini bisa untuk membiayai kehidupan keluarga,” ungkap Anton yang bertani mengikuti jejak ayahnya. Sama seperti petani lain di Merauke, Anton juga menggunakan mekanisasi dalam budi daya padi. Lahan sawah yang luas tidak bisa digarap manual.
Apalagi sumber daya manusia (SDM) petani buruh di Merauke sangat terbatas. ”Tidak sanggup kalau tanpa mesin,” katanya. Bertani juga dilakoni warga lokal lainnya, Fitalis wasri Gebze. Dia memiliki 2,5 ha sawah.
Namun Fitalis agak berbeda. Lantaran tidak memiliki biaya, dia terpaksa tidak memupuk tanaman padinya. Pupuk subsidi dari pemerintah tidak bisa diandalkan karena datangnya sering terlambat.
Itulah mengapa hasil panen sawah milik Fitalis sangat minim, hanya sekitar 1,48 ton/hektare. ”Tidak punya biaya. Olah lahan saja habis Rp2 juta/hektare untuk sewa rotari dan traktor. Untuk bayar mesin komben ketika panen, saya bagi hasil. Pemilik mesin komben mendapat 1 sak untuk setiap 8 sak padi,” katanya.
Kondisi ini menjadi keprihatinan tersendiri bagi Pemerintah Ka bupaten (Pemkab) Merauke. Sebab, sektor pertanian menjadi fokus ke depan sebagai upaya mewujudkan Merauke menjadi lumbung pangan nasional. Sektor ini diharapkan bisa membuka lapangan pekerjaan dan juga meningkatkan kesejahteraan warga.
Tidak hanya warga pendatang tapi juga suku Malind Anim Ha yang merupakan warga asli Merauke. Untuk itu, Pemkab Merauke mengalokasikan anggaran 30% APBD untuk sektor pertanian. Anggaran itu digunakan untuk pendampingan, merekrut penyuluh-penyuluh pertanian, diskusi, dan mendatangkan tenaga ahli agar pertanian di Merauke semakin maju.
”Kami juga melakukan sinergi dengan TNI/Polri, di mana setiap Babinsa wajib memiliki lahan pertanian, sehingga mereka bisa juga bisa memberikan pendampingan kepada masyarakat,” kata Wakil Bupati Merauke Sularso. Merauke memiliki 1,2 juta hektare lahan pertanian yang terdiri atas lahan basah dan lahan kering.
Hingga saat ini baru sedikit yang sudah dimanfaatkan untuk lahan pertanian. Misalnya, sawah(50.143ha) dan perkebunan (50.308,7 ha). Lahan perkebunan ini antara lain ditanami cabai (147 ha) dan pohon kelapa (6.726 ha). ”Dalam tiga tahun terakhir, Kabupaten Merauke membuka lahan sawah baru seluas 7.800 ha,” kata Sularso.
Beberapa kendala yang disampaikan petani juga menjadi fokus program pertanian Merauke. Pemkab berupaya membangun irigasi primer dan sekunder serta memenuhi kebutuhan pupuk petani. Diakui oleh Sularso, saat ini baru 50% kuota pupuk untuk Kabupaten Merauke yang terealisasi. Padahal jika kuota itu terpenuhi, maka produktivitas padi di Tanah Datar bisa mencapai 7-8 ton/hektare.
Sejak Zaman Belanda
Sektor pertanian tidak bisa dipisahkan dari Merauke. Sejak zaman Belanda, Merauke telah dijadikan sebagai lumbung pangan. Beragam proyek dilakukan untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Dari mulai proyek Padi Kumbe pada 1939-1958, dilanjutkan Program Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) pada 2007, lalu Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pada 2009, dan kini program sejuta hektare sawah di era Presiden Jokowi.
Sekretaris Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Merauke Albin Gebze mengatakan, padi sebenarnya bukan hal baru bagi Tanah Datar.
Masyarakat sudah membudida yakannya sejak zaman kolonial. Itu terbukti dengan adanya masa kejayaan Padi Kumbe pada 1950- 1958. Sayangnya, padi ter sebut kini sudah hilang tak berbekas. ”Belanda juga membangun irigasi kumbe di Merauke yang merupakan iri gasi terbaik di dunia. Selain di Merauke, irigasi ini juga ada di Suriname,” katanya.
Mengapa beragam proyek lumbung pangan belum sepenuhnya berhasil di Merauke? Albin menilai karena pemerintah tidak melakukan pendekatan adat dalam mengembangkan proyek lumbung pangan ini. Cara ini penting dilakukan karena suku asli Merauke yaitu Malind Anim Ha memiliki kepercayaan yang tidak bisa ditabrak.
”Ada tujuh kelompok besar dalam Suku Malind Anim Ha yang masing-masing memiliki totem (benda atau binatang yang dianggap suci dan dipuja) berbeda-beda. Ini yang harus dipahami,” ujarnya.
Misalnya kelompok masyarakat yang memiliki totem sagu. Mereka tidak akan bisa menerima ketika pembukaan lahan sawah atau komoditas pertanian lain menghancurkan tanaman sagu. Sebab, tanaman sagu di anggap suci dan tidak boleh di ganggu keberadaannya.
Pun dengan kelompok-kelompok lain dengan totem kelapa, kanguru, dan lainnya. Artinya, dalam setiap pembukaan lahan pertanian baru tidak boleh sembarangan.
Perlu disesuaikan dengan adat budaya Suku Malind. Ketua LMA Kabupaten Merauke Fredericus Wanim Mahoze menambahkan, saat ini total penduduk Suku Malind Anim Ha di Merauke sekitar 40.000 orang.
Dari jumlah itu tidak lebih dari 10% yang mulai ikut bertani padi. ”LMA terus mendorong warga lokal untuk ikut dilibatkan dalam pengembangan padi di Merauke. Mereka perlu diberikan motivasi,” katanya.
Fredericus yakin program lumbung pangan nasional di Merauke akan sukses ke depan. Syaratnya hanya satu. Seperti moto Kabupaten Me rauke, Izakod Bekai Izakod Kai yang berarti satu hati satu tujuan.
(don)