Gadis Jabar Dijual ke China, Pemerintah RI Upayakan Deportasi
A
A
A
BANDUNG - Pemerintah Republik Indonesia berencana melakukan upaya deportasi untuk memulangkan para korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang saat ini masih berada di China. Cara ini dinilai lebih mudah dilakukan dibanding opsi lain.
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Jabar Kombes Pol Umar Surya Fana mengatakan, ada beberapa cara untuk memulangkan 11 korban yang masih berada di dua provinsi yakni Yunan dan Shenzen, China. Yakni upaya police to police, government to government, ekstradisi atau deportasi, dan Mutual Legal Assistance (MLA).
"Namun dari kelima cara itu, hanya deportasi yang paling mudah. Untuk itu, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) akan mencabut paspor mereka sehingga tak memiliki kewarganegaraan atau stateless. Karena tak punya pospor, Pemerintah China mau tidak mau harus memulangkan para korban Indonesia. Mungkin deportasi cara paling naif, rendah lah, tapi bagi kami nggak masalah yang penting goal-nya korban selamat dan pulang ke Indonesia," kata Umar ditemui di Lapangan Gasibu, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Jumat (3/8/2018). (Baca Juga: Polisi Bongkar Sindikat Penjualan Gadis Jabar ke China
Dalam upaya memulangkan para korban dan mengusut tuntas kasus itu, pihaknya diundang Interpol untuk menghadiri rapat koordinasi (rakor) bersama Kemlu, dan Imigrasi Kemenkum HAM. Dalam rapat itu diketahui bahwa Kedutaan Besar RI di China telah berhasil berkomunikasi dengan korban. Informasi terakhir, korban mengirimkan kondisi terakhir mereka di sana. Salah satu dari 11 korban, dirawat di sebuah rumah sakit sejak tiga hari lalu. Informasi yang diperoleh, korban disiksa oleh "suami"-nya. Korban memiliki luka di perut akibat operasi cesar. Kemudian korban dikembalikan ke broker (calo). "Dia (korban) dipukul suaminya," ujar Umar.
Upaya memulangkan para korban cukup sulit, tutur Umar, karena aturan dan hukum di China, korban dengan suaminya menikah secara resmi. Namun, Mabes Polri dan Kemenlu akan membeberkan bukti-bukti bahwa mereka korban TPPO. Sebab, banyak aturan yang dilanggar dalam pernikahan itu.
Misalnya, korban tak mengantongi izin atau visa nikah antarnegara, izin tinggal yang mereka kantongi pun hanya visa kunjungan atau wisata, bukan nikah. Selain itu, manipulasi usia. Dalam dokumen tertera usia korban dijadikan lebih dewasa beberapa tahun dari yang sebenarnya. Padahal, ada korban yang masih di bawah umur, 15 dan 16 tahun.
Umar menjelaskan, salah satu syarat nikah antarwarga negara itu ada rekomendasi dari KBRI. ‎Dalam kasus ini tidak ada. Lalu, pengakuan tersangka korban memakai visa nikah yang dikeluarkan China saat dicek ternyata tidak ada. Ini berarti mereka menggunakan visa kunjungan dan kerja.
"Walau di sana pernikahan adat China-nya bener tapi formalnya nggak bener, itu cara kita kembalikan mereka meski dengan deportasi. Deportasi butuh waktu nanti dibicarakan. Kami inginnya proses deportasi cepat. Jadi, selain TPPO, para pelaku juga akan dijerat pasal pemalsuan dokumen. Namun, pasal itu disubsidairkan karena ancaman hukumannya rendah. Jadi pasal utama TPPO," ujarnya.
Para korban yang masih berada di China, menurut Umar, bisa berkomunikasi dengan keluarga masing-masing. Namun yang menjadi masalah, di China, aplikasi Whatsapp (WA) tidak bisa digunakan. Para korban menggunakan aplikasi Wechat. "KBRI sudah memberikan kartu Indonesia agar para korban bisa berkomunikasi menggunakan WA. Pemerintah membelikan mereka pulsa. Saat ini, Interpol udah bikin grup WA dengan para korban," ungkap Umar.
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Jabar Kombes Pol Umar Surya Fana mengatakan, ada beberapa cara untuk memulangkan 11 korban yang masih berada di dua provinsi yakni Yunan dan Shenzen, China. Yakni upaya police to police, government to government, ekstradisi atau deportasi, dan Mutual Legal Assistance (MLA).
"Namun dari kelima cara itu, hanya deportasi yang paling mudah. Untuk itu, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) akan mencabut paspor mereka sehingga tak memiliki kewarganegaraan atau stateless. Karena tak punya pospor, Pemerintah China mau tidak mau harus memulangkan para korban Indonesia. Mungkin deportasi cara paling naif, rendah lah, tapi bagi kami nggak masalah yang penting goal-nya korban selamat dan pulang ke Indonesia," kata Umar ditemui di Lapangan Gasibu, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Jumat (3/8/2018). (Baca Juga: Polisi Bongkar Sindikat Penjualan Gadis Jabar ke China
Dalam upaya memulangkan para korban dan mengusut tuntas kasus itu, pihaknya diundang Interpol untuk menghadiri rapat koordinasi (rakor) bersama Kemlu, dan Imigrasi Kemenkum HAM. Dalam rapat itu diketahui bahwa Kedutaan Besar RI di China telah berhasil berkomunikasi dengan korban. Informasi terakhir, korban mengirimkan kondisi terakhir mereka di sana. Salah satu dari 11 korban, dirawat di sebuah rumah sakit sejak tiga hari lalu. Informasi yang diperoleh, korban disiksa oleh "suami"-nya. Korban memiliki luka di perut akibat operasi cesar. Kemudian korban dikembalikan ke broker (calo). "Dia (korban) dipukul suaminya," ujar Umar.
Upaya memulangkan para korban cukup sulit, tutur Umar, karena aturan dan hukum di China, korban dengan suaminya menikah secara resmi. Namun, Mabes Polri dan Kemenlu akan membeberkan bukti-bukti bahwa mereka korban TPPO. Sebab, banyak aturan yang dilanggar dalam pernikahan itu.
Misalnya, korban tak mengantongi izin atau visa nikah antarnegara, izin tinggal yang mereka kantongi pun hanya visa kunjungan atau wisata, bukan nikah. Selain itu, manipulasi usia. Dalam dokumen tertera usia korban dijadikan lebih dewasa beberapa tahun dari yang sebenarnya. Padahal, ada korban yang masih di bawah umur, 15 dan 16 tahun.
Umar menjelaskan, salah satu syarat nikah antarwarga negara itu ada rekomendasi dari KBRI. ‎Dalam kasus ini tidak ada. Lalu, pengakuan tersangka korban memakai visa nikah yang dikeluarkan China saat dicek ternyata tidak ada. Ini berarti mereka menggunakan visa kunjungan dan kerja.
"Walau di sana pernikahan adat China-nya bener tapi formalnya nggak bener, itu cara kita kembalikan mereka meski dengan deportasi. Deportasi butuh waktu nanti dibicarakan. Kami inginnya proses deportasi cepat. Jadi, selain TPPO, para pelaku juga akan dijerat pasal pemalsuan dokumen. Namun, pasal itu disubsidairkan karena ancaman hukumannya rendah. Jadi pasal utama TPPO," ujarnya.
Para korban yang masih berada di China, menurut Umar, bisa berkomunikasi dengan keluarga masing-masing. Namun yang menjadi masalah, di China, aplikasi Whatsapp (WA) tidak bisa digunakan. Para korban menggunakan aplikasi Wechat. "KBRI sudah memberikan kartu Indonesia agar para korban bisa berkomunikasi menggunakan WA. Pemerintah membelikan mereka pulsa. Saat ini, Interpol udah bikin grup WA dengan para korban," ungkap Umar.
(amm)