Menelisik Asal Suku Tengger dari Prasasti Muncang
A
A
A
Baru purnama lalu, Ribuan masyarakat Suku Tengger, selesai merayakan hari raya Yadnya Kasada. Aroma harum kemenyan yang terbakar, masih terasa menghiasi ujung hidung. Bertebaran, bersama lembutnya debu pasir Gunung Bromo.
Rapal doa yang dibacakan para dukun Suku Tengger, juga masih terdengar merdu di antara lembutnya suara pasir yang berbisik di lautan pasir Gunung Bromo. Berbagai persembahan hasil bumi, juga masih segar tersimpan di kawah gunung suci itu.
Tatapan mata Teguh Joko Tengger (39) begitu dalam. Menyaksikan suka cita sanak keluarganya, membawa hasil bumi untuk menjadi persembahan di puncak gunung suci. “Setiap perayaan Yadya Kasada, kami sekeluarga selalu pulang merayakannya,” ujarnya.
Bapak dua anak, yang kini menetap di Kabupaten Malang, tersebut, merupakan anak Suku Tengger, yang lahir di Desa Ngadiwono, Kabupaten Pasuruan. Meski telah bekerja di luar tanah kelahirannya, tetapi dia dan keluarganya tidak pernah meninggalkan upacara adat Suku Tengger.
Cerita tentang Tengger, dan Gunung Bromo, selalu menarik untuk disimak. Masyarakat gunung, yang hingga kini tetap teguh mempertahankan keyakinan dan adat istiadatnya itu, tidak lepas dari mitologi cerita bersatunya Roro Anteng, dan Joko Seger. Dua anak manusia, yang disatukan oleh cinta kasih.
Catatan sejarah tentang keberadaan Suku Tengger, ternyata bukan sekedar hasil mitologi saja. Sejarah itu, juga terpahat di sebuah batu pualam setinggi 142,5 centimeter; dengan panjangnya 102 centimeter; dan lebarnya 22 centimeter.
Batu pualam besar itu, dikenal sebagai Prasasti Muncang. Ditemukan di Dusun Blandit, Desa Wonorejo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Di permukaan batu tersebut, terpahat tulisan dengan huruf Jawa, yang sangat halus.
Pada permukaan batu itu, terpahat cerita tentang keberadaan Suku Tengger yang saat ini menghuni lereng-lereng pegunungan Tengger, dan Gunung Bromo. Eksotisme dan keagungan Bromo, tercipta melalui proses perjalanan sejarah panjang yang tidak mengenal batasan waktu.
Sejarahwan Universitas Negeri Malang (UM), Dwi Cahyono mengungkapkan, keberadaan Prasasti Muncang, mematahkan asumsi keberadaan Suku Tengger, yang baru ada di wilayah Pegunungan Tengger, dan Gunung Bromo, pascaruntuhnya Kerajaan Majapahit.
Dalam catatan sejarah yang ada di Prasasti Muncang, masyarakat Suku Tengger, sudah ada jauh sebelum hadirnya Kerajaan Singhasari, dan Majapahit di tanah Jawa Dwipa. Dwi berani memperkirakan, sejarah Bromo sebagai tanah suci bagi masyarakat Suku Tengger, sudah ada sejak tahun 929 masehi.
Menurutnya, cerita tentang keberadaan masyarakat Suku Tengger, dan kesucian serta keagungan Gunung Bromo, sudah tercatat sejak perpindahan kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno, dari wilayah Jawa Tengah, ke wilayah Jawa Timur. “Saat itu, di bawah kepemimpinan Mpu Sindok,” timpalnya.
Catatan sejarah ini, tentunya akan menjadi pembanding mitologi, dan anggapan orang tentang munculnya masyarakat Suku Tengger, setelah habisnya era Kerajaan Majapahit, di antara tahun 1.300-1.400 masehi.
Cerita mitologi berkembang, saat anak bangsawan dari Kerajaan Majapahit, yakni Joko Seger, dan Roro Anteng, melarikan diri ke wilayah Gunung Bromo. Mereka sangat berharap memiliki keturunan, dengan sumpah akan mengorbankan anak bungsunya sebagai persembahan untuk dewa apabila permintaannya dikabulkan.
Permohonan itu dikabulkan, dan pasangan ini dikaruniai sebanyak 25 anak. Di kemudian hari, keduanya lupa akan sumpahnya. Anak bungsunya yang bernama, Dewata Kusuma tidak juga dijadikan persembahan kepada dewa.
Akhirnya, kuasa dewa sendiri yang merebut Dewata Kusuma dan menghempaskannya ke kawah Gunung Bromo. Mitologi yang berkembang secara turun-temurun ini, sampai sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat Suku Tengger, yang dikenal teguh memegang budayanya, sehingga dikenal adanya upacaya Yadnya Kasada.
Terlepas dari mitologi tersebut, kata Dwi berdasarkan catatan pada prasasti yang ada, ternyata upacara Yadnya Kasada, sudah dilakukan masyarakat Suku Tengger, sejak ratusan tahun sebelum munculnya mitologi tersebut.
Dia menyebutkan, sejumlah prasasti dengan jelas menggambarkan keberadaan orang-orang Tengger, berserta upacara Yadnya Kasada. Salah satunya, tercatat dalam Prasasti Pananjakan yang ditemukan tahun 1880, di daerah Penanjakan, Kabupaten Pasuruan.
Dalam prasasti berangka tahun 1405 itu, disebutkan adanya larangan untuk menarik pajak pada bulan titi leman atau akhir bulan di bulan Asada. Larangan itu berlaku untuk lima desa yaitu Desa Walandit, Mamanggis, Lili, Jebing, dan Kacaba.
“Pajak dilarang ditarik pada saat itu, karena warga desa tengah memuja gunung keramat nan mulia yaitu Gunung Brama (dewa gunung api),” ujar Dwi. Desa Walandit sendiri, saat ini lebih dikenal sebagai Dusun Blandit, di Desa Wonorejo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Sedangkan Desa Mamanggis, kata dia sekarang diperkirakan bernama daerah Kemanggisan yang terletak di sekitar Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Desa Jebing, diperkirakan sekarang berubah menjadi daerah Jabung, yang juga terletak di Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Nama Gunung Brama yang disebut dalam prasasti tersebut, diduga saat ini berkembang namanya menjadi Gunung Bromo. Sementara masyarakat yang memuja gunung tersebut, dinamakan orang-orang kakahyangan.
Dwi memperkirakan, mereka yang disebut orang-orang ka-kahyangan adalah cikal bakal masyarakat Suku Tengger. Prasasti Pananjakan, sekarang tersimpan di Museum Nasional Jakarta.
Selain Prasasti Pananjakan, Dwi menyebutkan, jauh sebelumnya terdapat serentetan prasasti pada masa kepemimpinan Mpu Sindok yang bertutur tentang Bromo, dan upacara Kasada.
Prasasti itu, salah satunya adalah Prasasti Muncang, yang tercatat dibuat pada tahun 944 masehi. Prasasti itu, tersimpan di Museum Mpu Purwa, Kota Malang, Jawa Timur. Prasasti Muncang, salah satunya berisi penetapan sebidang tanah di selatan pasar Desa Muncang, sebagai tanah perdikan.
“Hasil bumi tanah perdikan ini, digunakan untuk membangun Prasada Kabhaktyan Siddhayoga. Yaitu bangunan suci untuk peribadatan harian bagi Bhathara Sang Hyang Swayambhwa yang bersemayam di Walandit,” timpalnya.
Sebelum Prasasti Muncang, tercatat juga ada Prasasti Lingga Sutan, yang dibuat tahun 929 masehi. Prasasti ini berisi tentang, penetapan Desa Lingga Sutan, sebagai wilayah Rakriyan Hujung, dan hasil pertanian di sana, setiap setahun sekali juga dipersembahkan untuk Bhathara I-Walandit.
Dwi menyebutkan, dari tiga prasasti ini jelas terlihat adanya keterkaitan. Yaitu, adanya upacara pemujaan pada Bhathara I-Walandit, atau Bhathara Sang Hyang Swayambhwa.
Sementara pada Prasasti Penanjakan, semakin diperjelas bahwa dewa-dewa yang dipuja adalah dewa gunung api Brama.
Dari catatan-catatan prasasti tersebut, semakin terlihat sejarah Suku Tengger, dan Gunung Bromo, hadir jauh sebelum masa akhir Kerajaan Majapahit. Bahkan, sudah tercatat sejak kepemimpinan Mpu Sindok di wilayah Jawa Timur.
Rapal doa yang dibacakan para dukun Suku Tengger, juga masih terdengar merdu di antara lembutnya suara pasir yang berbisik di lautan pasir Gunung Bromo. Berbagai persembahan hasil bumi, juga masih segar tersimpan di kawah gunung suci itu.
Tatapan mata Teguh Joko Tengger (39) begitu dalam. Menyaksikan suka cita sanak keluarganya, membawa hasil bumi untuk menjadi persembahan di puncak gunung suci. “Setiap perayaan Yadya Kasada, kami sekeluarga selalu pulang merayakannya,” ujarnya.
Bapak dua anak, yang kini menetap di Kabupaten Malang, tersebut, merupakan anak Suku Tengger, yang lahir di Desa Ngadiwono, Kabupaten Pasuruan. Meski telah bekerja di luar tanah kelahirannya, tetapi dia dan keluarganya tidak pernah meninggalkan upacara adat Suku Tengger.
Cerita tentang Tengger, dan Gunung Bromo, selalu menarik untuk disimak. Masyarakat gunung, yang hingga kini tetap teguh mempertahankan keyakinan dan adat istiadatnya itu, tidak lepas dari mitologi cerita bersatunya Roro Anteng, dan Joko Seger. Dua anak manusia, yang disatukan oleh cinta kasih.
Catatan sejarah tentang keberadaan Suku Tengger, ternyata bukan sekedar hasil mitologi saja. Sejarah itu, juga terpahat di sebuah batu pualam setinggi 142,5 centimeter; dengan panjangnya 102 centimeter; dan lebarnya 22 centimeter.
Batu pualam besar itu, dikenal sebagai Prasasti Muncang. Ditemukan di Dusun Blandit, Desa Wonorejo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Di permukaan batu tersebut, terpahat tulisan dengan huruf Jawa, yang sangat halus.
Pada permukaan batu itu, terpahat cerita tentang keberadaan Suku Tengger yang saat ini menghuni lereng-lereng pegunungan Tengger, dan Gunung Bromo. Eksotisme dan keagungan Bromo, tercipta melalui proses perjalanan sejarah panjang yang tidak mengenal batasan waktu.
Sejarahwan Universitas Negeri Malang (UM), Dwi Cahyono mengungkapkan, keberadaan Prasasti Muncang, mematahkan asumsi keberadaan Suku Tengger, yang baru ada di wilayah Pegunungan Tengger, dan Gunung Bromo, pascaruntuhnya Kerajaan Majapahit.
Dalam catatan sejarah yang ada di Prasasti Muncang, masyarakat Suku Tengger, sudah ada jauh sebelum hadirnya Kerajaan Singhasari, dan Majapahit di tanah Jawa Dwipa. Dwi berani memperkirakan, sejarah Bromo sebagai tanah suci bagi masyarakat Suku Tengger, sudah ada sejak tahun 929 masehi.
Menurutnya, cerita tentang keberadaan masyarakat Suku Tengger, dan kesucian serta keagungan Gunung Bromo, sudah tercatat sejak perpindahan kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno, dari wilayah Jawa Tengah, ke wilayah Jawa Timur. “Saat itu, di bawah kepemimpinan Mpu Sindok,” timpalnya.
Catatan sejarah ini, tentunya akan menjadi pembanding mitologi, dan anggapan orang tentang munculnya masyarakat Suku Tengger, setelah habisnya era Kerajaan Majapahit, di antara tahun 1.300-1.400 masehi.
Cerita mitologi berkembang, saat anak bangsawan dari Kerajaan Majapahit, yakni Joko Seger, dan Roro Anteng, melarikan diri ke wilayah Gunung Bromo. Mereka sangat berharap memiliki keturunan, dengan sumpah akan mengorbankan anak bungsunya sebagai persembahan untuk dewa apabila permintaannya dikabulkan.
Permohonan itu dikabulkan, dan pasangan ini dikaruniai sebanyak 25 anak. Di kemudian hari, keduanya lupa akan sumpahnya. Anak bungsunya yang bernama, Dewata Kusuma tidak juga dijadikan persembahan kepada dewa.
Akhirnya, kuasa dewa sendiri yang merebut Dewata Kusuma dan menghempaskannya ke kawah Gunung Bromo. Mitologi yang berkembang secara turun-temurun ini, sampai sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat Suku Tengger, yang dikenal teguh memegang budayanya, sehingga dikenal adanya upacaya Yadnya Kasada.
Terlepas dari mitologi tersebut, kata Dwi berdasarkan catatan pada prasasti yang ada, ternyata upacara Yadnya Kasada, sudah dilakukan masyarakat Suku Tengger, sejak ratusan tahun sebelum munculnya mitologi tersebut.
Dia menyebutkan, sejumlah prasasti dengan jelas menggambarkan keberadaan orang-orang Tengger, berserta upacara Yadnya Kasada. Salah satunya, tercatat dalam Prasasti Pananjakan yang ditemukan tahun 1880, di daerah Penanjakan, Kabupaten Pasuruan.
Dalam prasasti berangka tahun 1405 itu, disebutkan adanya larangan untuk menarik pajak pada bulan titi leman atau akhir bulan di bulan Asada. Larangan itu berlaku untuk lima desa yaitu Desa Walandit, Mamanggis, Lili, Jebing, dan Kacaba.
“Pajak dilarang ditarik pada saat itu, karena warga desa tengah memuja gunung keramat nan mulia yaitu Gunung Brama (dewa gunung api),” ujar Dwi. Desa Walandit sendiri, saat ini lebih dikenal sebagai Dusun Blandit, di Desa Wonorejo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Sedangkan Desa Mamanggis, kata dia sekarang diperkirakan bernama daerah Kemanggisan yang terletak di sekitar Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Desa Jebing, diperkirakan sekarang berubah menjadi daerah Jabung, yang juga terletak di Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Nama Gunung Brama yang disebut dalam prasasti tersebut, diduga saat ini berkembang namanya menjadi Gunung Bromo. Sementara masyarakat yang memuja gunung tersebut, dinamakan orang-orang kakahyangan.
Dwi memperkirakan, mereka yang disebut orang-orang ka-kahyangan adalah cikal bakal masyarakat Suku Tengger. Prasasti Pananjakan, sekarang tersimpan di Museum Nasional Jakarta.
Selain Prasasti Pananjakan, Dwi menyebutkan, jauh sebelumnya terdapat serentetan prasasti pada masa kepemimpinan Mpu Sindok yang bertutur tentang Bromo, dan upacara Kasada.
Prasasti itu, salah satunya adalah Prasasti Muncang, yang tercatat dibuat pada tahun 944 masehi. Prasasti itu, tersimpan di Museum Mpu Purwa, Kota Malang, Jawa Timur. Prasasti Muncang, salah satunya berisi penetapan sebidang tanah di selatan pasar Desa Muncang, sebagai tanah perdikan.
“Hasil bumi tanah perdikan ini, digunakan untuk membangun Prasada Kabhaktyan Siddhayoga. Yaitu bangunan suci untuk peribadatan harian bagi Bhathara Sang Hyang Swayambhwa yang bersemayam di Walandit,” timpalnya.
Sebelum Prasasti Muncang, tercatat juga ada Prasasti Lingga Sutan, yang dibuat tahun 929 masehi. Prasasti ini berisi tentang, penetapan Desa Lingga Sutan, sebagai wilayah Rakriyan Hujung, dan hasil pertanian di sana, setiap setahun sekali juga dipersembahkan untuk Bhathara I-Walandit.
Dwi menyebutkan, dari tiga prasasti ini jelas terlihat adanya keterkaitan. Yaitu, adanya upacara pemujaan pada Bhathara I-Walandit, atau Bhathara Sang Hyang Swayambhwa.
Sementara pada Prasasti Penanjakan, semakin diperjelas bahwa dewa-dewa yang dipuja adalah dewa gunung api Brama.
Dari catatan-catatan prasasti tersebut, semakin terlihat sejarah Suku Tengger, dan Gunung Bromo, hadir jauh sebelum masa akhir Kerajaan Majapahit. Bahkan, sudah tercatat sejak kepemimpinan Mpu Sindok di wilayah Jawa Timur.
(sms)