Kabasaran, Legenda Keberanian Waraney Pertahankan Tanah Minahasa

Jum'at, 18 Mei 2018 - 05:00 WIB
Kabasaran, Legenda Keberanian Waraney Pertahankan Tanah Minahasa
Kabasaran, Legenda Keberanian Waraney Pertahankan Tanah Minahasa
A A A
MANADO - Kabasaran. Mendengar namanya, banyak orang nyalinya langsung ciut. Bukan karena mereka seorang pemberani dengan pedang yang siap menghunus. Atau penampilannya tampak sangar saat mata terbelalak dengan pakaian serba merah. Pun dengan aksesoris lehernya dengan beragam tengkorak dijejer membuat bulu kuduk berdiri.

Tapi para penari dengan pakaian serba merah, mata melotot, wajah garang, diiringi tambur sambil membawa pedang dan tombak tajam itu sejatinya membuat Kabasaran ini kharismanya tak pernah redup. Warna pakaian dominan merah dengan berbagai aksesoris berupa topi berhias sayap dan paruh burung uwak (buceros exaratus) atau burung jenis lainnya. Kalung dengan tengkorak monyet (macaca nigra), gelang dan lain-lain menambah kesempurnaan seorang prajurit yang gagah perkasa.

Dialah para Waraney yang memiliki sifat jujur, pemberani dan bijaksana. Simbol ketangguhan Bangsa Malesung atau Tanah Minahasa yang memiliki suatu arti bahwa keturunan bangsa Malesung harus selalu menjaga tanah Minahasa agar selalu tentram dan damai, dimana para Waraney era ini di tuntut untuk rajin bekerja, membangun daerah, berjuang untuk anak cucu.

“Saat ini apa yang kami lakukan adalah untuk melestarikan adat budaya warisan leluhur dengan benar. Karena itu apabila Waraney di era ini diartikan sebagai seorang yang arogan, sombong, suka berkelahi, pemaki, rasis, alkoholik dan hal-hal buruk lainnya itu bukanlah seorang Waraney melainkan para perusak nama baik dari Waraney,” jelas Semen Koraah, Ketua Kabasaran Waraney Totokay Pineleng, Kabupaten Minahasa.

Dijelaskan Semen, kalau pun dirinya diberikan kemampuan tak tembus atau terluka meski benda tajam menyentuh tubuhnya itu disebabkan karena Tuhan memberikan karunianya. Sebab kata dia, jika Tuhan tak mengijinkan siapapun bisa terluka.

Jadi seorang penari Kabasaran yang benar mereka tak akan meminum alkohol ketika akan bermain apalagi memainkan pedang dengan menggesek-gesekannya di jalanan yang membuat para penontonnya ketakutan. “Itu berarti mereka itu sudah mabuk. Kami dilarang mengosok-gosok pedang atau tombak di jalanan,” terangnya.

Dalam beberapa catatan, visi dan misi seorang Waraney begitu mulia. “Esa Kita Peleng…! Esa Woan Pawetengan Kumihit Un Posan. Taan Kita Peleng Esa…! Maesa Wian Untep…! Maasa Masaru Se Kaseke Wana Ng’Kesot…!” (Satu Kita Semua…! Satu Lalu Dipisahkan Tempat Karena Kebaktian Agama/Ajaran. Tapi Kita Semua Satu…! Satu Dibagian Dalam…! Bersatu Menghadap Musuh Dari Luar…!

Menuju itu semua tidaklah mudah. Proses ritual dari jalan hidup seorang Waraney cukup panjang. Sejarah panjang Waraney yang merupakan prajurit perang pemberani dari bangsa Malesung (Orang Minahasa) yang tidak pernah mundur dalam setiap peperangan yang terjadi di zaman kolonial maupun sebelum zaman kolonial sudah teruji.

Meski pada akhirnya Waraney tenggelam karena ulah kompeni. Tapi sebelum ada kolonial Belanda, Waraney merupakan tentara bangsa Malesung yang menjadi ujung tombak di setiap suku di Minahasa dalam melawan segala sesuatu yang dapat mengancam bangsa Malesung baik itu berupa binatang buas maupun manusia.

“Siapa pun yang berniat berbuat jahat di tanah Minahasa pasti akan kami lawan. Inilah sebenarnya fungsi Kabasaran dulu,” kata Pembina Kabasaran Waraney Totokay Pineleng, Kabupaten Minahasa, Micky Sondakh.
Pensiunan pegawai negeri sipil di Dinas Kebudayaan Sulut itu menjelaskan, dalam beberapa literatur seperti apa yang disampaikan C J Lengkong dalam bwaraneyblog dijelaskan, sepanjang perjalanan waktu masuk dalam kolonial Belanda, para Waraney tetap kokoh menjaga setiap prinsip dasar mereka.

Walaupun beberapa daerah mulai pudar dengan mengandalkan prajurit Waraney dikarenakan Belanda membangun sistem pemerintahan. Dimana dalam peperangan para Waraney sudah jarang dilibatkan karena Belanda telah membentuk tentara pemerintah untuk keamanan daerah-daerah di Minahasa. Tetapi makna dan semangat Waraney selalu tumbuh dalam perjuangan setiap orang Minahasa. Mereka selalu tetap memegang teguh tradisi warisan para leluhur bangsa Malesung.

Tugas seorang Waraney bukan saja sebagai prajurit untuk berperang. Waraney yang dimaksud adalah dia sebagai seorang yang dapat melindungi suku, menafkahi keluarga, memimpin suku dan menjaga tradisi dari para leluhur Minahasa. Jadi Waraney disaat itu ialah mereka para pemburu, petani, ahli seni, ahli bangunan, nelayan, ahli pengobatan, dan ahli perang.
Tulisan pekikan “I Yayat U Santi” dalam cengkaraman burung Manguni mempunyai pengertian memerangi segala yang jahat (kezaliman dan kelaliman). Jadi Burung Manguni ini melambangkan kekuatan para Waraney dalam menjaga tanah Minahasa, yang saat ini ditempati oleh 9 Suku Minahasa yaitu Tontemboan, Tonsea, Tolour, Tombulu, Tonsawang, Panosakan, Pasan, Babontehu dan Bantik.
Dikutip dari Wikipedia, seiring tidak ada lagi peperangan antardaerah, Kabasaran kini dijadikan sebagai tari penyambutan tamu dan hiburan warga Minahasa ketika menyelenggarakan pesta adat. Seringkali, tarian ini hadir sebagai hiburan warga ketika propinsi Sulawesi Utara menyelenggarakan festival adat.Kawasaran/Kabasaran merupakan identitas tou Minahasa, bukan sekadar dijadikan sebagai tari penyambutan tamu dan hiburan warga, tetapi lebih dalam kepada proses ritual dari jalan hidup seorang waraney. Ketika suara tambur itu ditabuh bertalu-talu. Gerak tarian pun mulai dilakukan setelah Sarian yang menjadi pemimpin tarian itu memberi komando. Pekik suara Sarian ‘Makalele I Yayat U Santi pun bergema, gemericik suara kaki para penari pun akan begitu memekak di telinga.Itulah pertanda dimulainya tarian Kabasaran saat tamu kebesaran atau ada pejabat yang datang. Ungkapan I Yayat U Santi yang terjemahan harafiahnya berarti angkatlah dan acung-acungkanlah pedang (Mu) Itu. Maka apabila menggunakan ungkapan dan seruan ini untuk masa kini, maka maknanya ialah supaya kita melengkapi diri kita dengan segala kearifan, hikmat, keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi serta keahlian.

Pada zaman dahulu para penari Kabasaran, hanya menjadi penari pada upacara-upacara adat. Namun, dalam kehidupan sehari-harinya mereka adalah petani dan rakyat biasa. Apabila Minahasa berada dalam keadaan perang, maka para penari Kabasaran menjadi Waraney.

Tiap penari kabasaran memiliki satu senjata tajam yang merupakan warisan dari leluhurnya yang terdahulu, karena penari kabasaran adalah penari yang turun temurun. Tarian ini umumnya terdiri dari tiga babak (sebenarnya ada lebih dari tiga, hanya saja, sekarang ini sudah sangat jarang dilakukan).

Babak-babak tersebut terdiri dari:
Pertama, Cakalele, yang berasal dari kata “saka” yang artinya berlaga, dan “lele” artinya berkejaran melompat-lompat. Babak ini dulunya ditarikan ketika para prajurit akan pergi berperang atau sekembalinya dari perang. Atau, babak ini menunjukkan keganasan berperang pada tamu agung, untuk memberikan rasa aman pada tamu agung yang datang berkunjung bahwa setan-pun takut mengganggu tamu agung dari pengawalan penari Kabasaran.

Babak kedua ini disebut Kumoyak, yang berasal dari kata “koyak” artinya, mengayunkan senjata tajam pedang atau tombak turun naik, maju mundur untuk menenteramkan diri dari rasa amarah ketika berperang. Kata “koyak” sendiri, bisa berarti membujuk roh dari pihak musuh atau lawan yang telah dibunuh dalam peperangan.

Kemudian Lalaya’an. Pada bagian ini para penari menari bebas riang gembira melepaskan diri dari rasa berang seperti menari “Lionda” dengan tangan dipinggang dan tarian riang gembira lainnya. Keseluruhan tarian ini berdasarkan aba-aba atau komando pemimpin tari yang disebut “Tumu-tuzuk” (Tombulu) atau “Sarian” (Tonsea).

Aba-aba diberikan dalam bahasa sub–etnik tombulu, Tonsea, Tondano, Totemboan, Ratahan, Tombatu dan Bantik. Pada tarian ini, seluruh penari harus berekspresi Garang tanpa boleh tersenyum, kecuali pada babak lalayaan, dimana para penari diperbolehkan mengumbar senyum riang.Gerakan tari Kabasaran pada dasarnya terdiri dari sembilan gerakan pedang (santi/kelewang) dan Sembilan gerakan tombak (wengkou) dengan langkah kaki 4/4, yaitu dua langkah kekiri dan dua langkah ke kanan.
Aturan menarinya pun begitu tegas dan jelas. Dalam gerakan pedang dan tombak, yaitu pedang (santi/kelewang) tidak boleh digunakan untuk menusuk dan menangkis, tombak (wengkou) hanya untuk gerakan menusuk sedangkan untuk menangkis hanya boleh perisai (kelung).
Kabasaran, Legenda Keberanian Waraney Pertahankan Tanah Minahasa
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.9272 seconds (0.1#10.140)