Gempa Dahsyat 1926 yang Meluluhlantakkan Padang Panjang

Jum'at, 23 Maret 2018 - 05:00 WIB
Gempa Dahsyat 1926 yang Meluluhlantakkan Padang Panjang
Gempa Dahsyat 1926 yang Meluluhlantakkan Padang Panjang
A A A
Bencana gempa beberapa kali menghantam Padang Panjang, Sumatera Barat. Pasca-Padri, tercatat dua kali Padang Panjang dihantam gempa besar, yakni tahun 1833 (Boelhouwer, 1841: 19) dan 1916. Namun, kedua gempa tersebut kurang terekam dalam ingatan orang Minang, karena tidak memberi efek pada psikis mereka. Berbeda kondisinya ketika gempa 1926 dengan kekuatan 7,8 Skala Richter (SR) yang dilaporkan menelan 354 korban jiwa mengoyak Padang Panjang. Hampir seluruh orang Minang mengingatnya.

Tepat tanggal 28 Juni 1926, gempa dahsyat mengguncang Kota Padang Panjang dan sekitarnya. Gempa yang terjadi pada hari Senin pukul 10.10 dan pukul 13.00 itu menimbulkan guncangan kuat. Soeara Kota Gedang mengabadikan peristiwa itu. Kerusakan gempa 1926 terekam di beberapa titik, di antaranya Danau Singkarak, Danau Maninjau, Sawahlunto, dan Alahan Panjang (Soeara Kota Gedang tanggal 7 Juli 1926).

Gempa susulan selanjutnya memperparah kondisi di sekitar Danau Singkarak. Danau Singkarak mengalami 'tsunami' dan membanjiri daratan yang ada di sekitarnya. Luapannya menerjang ratusan rumah yang berada di pinggirnya dan memakan korban ratusan jiwa. Selain itu, gempa telah meluluhlantakkan stasiun kereta api, menghancurkan hotel-hotel, pasar, rumah-rumah pegawai Kolonial Belanda, dan lain sebagainya. Dalam catatan Dagblad Radio tanggal 29 Juni 1926, gempa 7,8 SR itu telah menghancurkan 2.383 rumah, 472 rumah di Agam rata dengan tanah. Selain meratakan rumah, gempa telah membuat rekahan tanah yang besar dan longsor di beberapa lokasi, seperti Padang Panjang, Kubu Kerambil, dan Simabur.

Pandji Poestaka dalam reportasenya tanggal 2 Juli 1927, mendapat informasi mengejutkan dari seorang pegawai onder officer Padang Panjang, yang datang tergopoh-gopoh ke Padang. Ia melaporkan seluruh gedung militer, rumah sakit, penjara, officer, dan onder officer rusak parah dan hampir-hampir tidak bisa ditempati. Tidak hanya itu, sebagian besar bangunan di sepanjang jalan Kotobaru hingga Padang Panjang roboh. Dan, rakyat yang kehilangan rumah mereka, akhirnya mendirikan kemah darurat di sekitar Pasar Padang Panjang.

Menyikapi bencana luar biasa ini, Residen Whitlaw mengirim telegram pada Gubernur Jenderal yang berkedudukan di Buitenzorg. Melalui telegram, Whitlaw mengabarkan dampak luar biasa gempa yang menghancurkan fasilitas umum di Padang Panjang. Trem dan rel kereta api tidak dapat berfungsi karena rusak di beberapa titik, sehingga memutus jalur pantai Barat Sumatera dengan pedalaman Minangkabau.

Selain Padang Panjang, daerah di sekitar Solok, seperti Koto Anau, Cupak, Selayo juga terkena imbas guncangan 7,8 SR. Sedangkan untuk Distrik Sawahlunto, beberapa gedung milik Landsbedrijf de Ombilin Steenkolenontginning rusak berat, namun tidak terjadi kecelakaan dalam lubang tambang penghasil batubara tersebut.

Pascagempa 7,8 SR, Padang Panjang kembali diguncang tiga kali gempa susulan. Residen Whitlaw yang turut menginap di Padang Panjang tanggal 29 Juni 1926 merasakan kuatnya gempa tektonik darat. Pandji Poestaka tanggal 4 Juli 1926 kembali melaporkan rumah-rumah yang sebelum rusak ringan, kemudian ambruk. 100 orang tewas di Padang Panjang, dan 200 orang tewas di Batusangkar. Di Solok, 15 orang meregang nyawa, rumah-rumah mengalami kerusakan, terutama di pinggir Singkarak.

Donasi untuk Korban Gempa
Pemerintah Kolonial Belanda baru bisa mengerahkan bantuan militer untuk korban gempa dan dan mengamankan aset-asetnya tanggal 3 Juli 1926. Melalui pasukan militer, pemerintah mengirimkan makanan ke daerah-daerah yang terkena dampak gempa.

Persoalan terbesar yang dihadapi pemerintah terletak pada perhubungan darat. Bantuan pun terlambat sampai di pengungsian. Dan, bantuan makanan yang dikirimkan pemerintah banyak membantu korban gempa, yang kesulitan mencari bahan makanan pokok.

Dahsyatnya gempa 1926 rupanya terdengar hingga ke luar negeri. Saluran bantuan gempa, kemudian mengalir via Residen Sumatera Barat mulai dari Consul General Swedia hingga ke £ 1 juta dari Sydney Australia.

Untuk meringankan derita korban gempa, para perantau yang berada di Jawa menyumbangkan donasinya melalui Studiefonds Kota Gedang Cabang Betawi, ataupun kelompok keagamaan dan harian lokal yang membuka gempah fonds.

Selain me-recovery korban, bangunan, dan fasilitas umum, pemerintah Kolonial Belanda melakukan penyelidikan sebab-sebab terjadinya gempa. Dari beberapa kali pengecekan data geologi, akhirnya diketahui gempa Padang Panjang disebabkan pergerakan sesar Sumatera (Dagblad Radio, 30 Juni 1926).

Gempa Padang Panjang memang untuk sementara mengakhiri seluruh konflik yang telah membuncah. Untuk diketahui, memasuki Februari 1926, konflik antara kelompok kuminih (komunis) dengan Islam reformis makin meruncing. Konflik laten, telah membuka blok-blok baru, pascaperseteruan murid-murid Thawalib dengan Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA), kini membuka perseteruan dengan pengurus Muhammadiyah Padang Panjang. Memanasnya hubungan itu ditandai beragam isu yang sengaja diembuskan. Namun, konflik yang terjadi di antara keduanya sempat mereda, ketika gempa 7,8 Skala Richter meluluhlantakkan Padang Panjang pada 1926.

Banyak orang Minang masa itu, mencoba menghubungkan musibah dengan silang sengketa kaum tua, Islam reformis, dan mengganasnya kuminih. Namun, terlepas dari rumor itu, masing-masing pihak yang bertikai, sibuk menata kembali bangunan, maupun psikis mereka yang dilumpuhkan gempa 7,8 SR. Tidak kurang bangunan sekolah milik Thawalib dan Diniyah Padang Panjang mengalami rusak berat.

Thawalib dan Diniyah School Luluh Lantak
Mantan guru Sumatra Thawalib sekaligus penasihat Muhammadiyah Cabang Sungai Batang Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA) atau Haji Rasul belum mengetahui peristiwa 'guncangan' yang meluluhlantakkan rumahnya di Gatangan. Ia baru kembali dari Mesir, pascamenggondol gelar Doktor Honoris Causa, kemudian menumpang kapal 'Indrapura' menuju Belawan. Saat melanjutkan perjalanan dari Medan menuju Sumatera Barat, ia baru mendengar kabar menyedihkan itu, ketika baru sampai di Sibolga tanggal 29 Juni 1926 (Hamka, 1958).

Haji Rasul mendengar rumah-rumah di Padang Panjang runtuh dan banyak orang tewas ditimpa puing. Menumpang sebuah mobil yang melaju kencang dari Sibolga menuju Padang Panjang, ia hanya ingin melihat kondisi rumah di Gatangan Pasar Usang dan keadaan Surau Jembatan Besi.

Haji Rasul masih bersyukur, melihat adik kandungnya Yusuf Amrullah dan keluarganya selamat dari gempa. Rakyat Gatangan umumnya mengunjungi pekan Senin di Pasar Padang Panjang, banyak yang selamat dari reruntuhan rumah. Pada tanggal 30 Juni 1926, berangkatlah Amrullah bersaudara dan keluarganya menuju Sungai Batang Maninjau.

Suasana batin Haji Rasul jadi tak menentu. Kenangan manis selama berkunjung ke Mesir, raihan gelar akademik tertinggi dalam hidupnya, seakan pupus bersama ambruknya bangunan dan korban tewas tertimpa reruntuhan. Pikirannya menerawang pada kenangannya selama mengajar di Padang Panjang, rumah di Gatangan, yang dibangun untuk tempat berteduh keluarganya yang datang dari Maninjau.

Lain halnya dengan kondisi yang dialami Rahmah El-Yunusiah dan Diniyah School. Sebelum gempa pada Juni 1926, kapasitas asrama Diniyah yang disediakan di tingkat dua gedung tidak mencukupi, pembangunan gedung baru mulai dilakukan secara gotong royong.

Ketika gempa bumi berkekuatan 7,8 SR mengguncang, gedung lama beserta fondasi gedung baru yang dibangun oleh guru dan murid-murid Thawalib pun ambruk. Seorang guru Diniyah Putri bernama Nanisah-asal Banuhampu Agam, tewas tertimpa runtuhan bangunan.

Selain menghancurkan fisik bangunan Diniyah School, gempa itu juga menghentikan proses kegiatan belajar-mengajar. Dua hari setelah gempa kuat itu, murid-murid Diniyah pulang ke kampung halamannya masing-masing. Bersama rombongan Diniyah-juga ada murid Thawalib, Normaal School, dan saudagar Pasar Padang Panjang. Mereka meninggalkan kota sementara waktu, sampai gempa susulan hilang.

Rahmah menyaksikan sendiri, banyak orang yang meninggalkan tanah kelahirannya karena beban psikis, pasca gempa yang berat masa itu. "Seolah-olah sekumpulan khalifah di Gurun Sahara, berbondong-bondong membawa bebannya masing-masing.". Demikian Rahmah menarasikan kondisi pada tahun 1926 (Boekoe Peringatan 15 Tahoen Dinijjah School Poetri Padang Panjang, 1938).

*Fikrul Hanif Sufyan
Pemerhati Sejarah Sumatera Barat
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6713 seconds (0.1#10.140)