Tekan Pernikahan Dini, Jabar Promosikan Usia Ideal Perkawinan

Sabtu, 24 Februari 2018 - 02:47 WIB
Tekan Pernikahan Dini,...
Tekan Pernikahan Dini, Jabar Promosikan Usia Ideal Perkawinan
A A A
BANDUNG - Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat gencar mempromosikan usia ideal perkawinan untuk menekan kasus pernikahan dini di Jabar.

Hal itu disampaikan Ketua P2TP2A Jabar Netty Prasetyani Heryawan menyikapi persoalan pernikahan dini yang kerap berujung pada tindak kekerasan. Menurut Netty, perkawinan yang ideal itu, yakni ketika calon pengantin telah mencapai usia reproduktif yang aman dan tepat.

"Jadi, jangan sampai kemudian hanya matang secara biologis, tapi secara emosional, secara psikologis, secara ekonomi tidak mapan, sehingga itulah yang memicu berbagai konflik dalam rumah tangga yang dibangun," tutur Netty ditemui seusai menghadiri Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) Tingkat Provinsi Jabar di Hotel Grand Asrilia, Jalan Pelajar Pejuang, Kota Bandung, Jumat (23/2/2018) malam.

Netty melanjutkan, berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jabar, rata-rata usia perkawinan masyarakat Jabar kini sudah 20 tahun. Meski terbilang sudah cukup ideal, namun hal itu harus tetap diwaspadai. Pasalnya, masih ada pasangan yang menikah di usia reproduksi yang tidak aman dan tidak tepat atau dikenal dengan istilah child married.

"Nah, tentu kita hari ini terus melakukan usaha persuasif kepada masyarakat, mengedukasi masyarakat tentang pendewasaan usia perkawinan yang memang harus dilakukan secara komprehensif, baik di ruang struktural maupun kultural," katanya.

Istri Gubernur Jabar Ahmad Heryawan itu menjelaskan, secara struktural, pendewasaan usia perkawinan harus dibarengi dengan singkronisasi kebijakan. Terlebih, kebijakan yang berlaku saat ini kontradiktif. Pasalnya, dalam Undang-Undang Pernikahan, anak perempuan dibolehkan menikah jika sudah berusia 16 tahun, sedangkan laki-laki 19 tahun.

"Sementara menurut Undang-Undang Perlindungan Anak, anak itu usia 0-18 tahun. Jadi, ada sesuatu yang kontradiktif antara undang-undang yang satu dengan yang lain. Ini tanggung jawab teman-teman di legislatif atau DPR RI untuk memperjuangkan revisinya," papar Netty.

Sementara dalam tataran implementasi, pendewasaan perkawinan bisa dilakukan dengan upaya jangka panjang dan jangka pendek. Upaya jangka panjang dapat diwujudkan dengan memperpanjang rata-rata usia pendidikan.

"Jadi, kalau pendidikan menengah universal ini dilakukan 12 tahun, minimal kan 18 tahun anak tidak menikah sampai lulus sekolah," terangnya.

Sosialisasi pendewasaan usia perkawinan yang gencar, kata Netty, termasuk ke dalam upaya jangka pendek. Selain itu, bisa pula dilakukan dengan cara mengawasi ketat pasangan yang akan menikah. Netty menyebutkan, saat calon pengantin mendaftarkan diri untuk menikah, sebaiknya ada upaya komprehensif, mulai dari kepala desa, Kantor Kementerian Agama (Kemenag), hingga Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil).

Netty menekankan, mereka bisa bekerja sama untuk memperbaiki tugas yang menjadi tanggung jawabnya masing-masing, mulai pendataan identitas, pemberian kursus calon pengantin, hingga pembekalan soal KDRT (kekerasan dalam tumah tangga) bagi calon pengantin yang selama ini mungkin tidak pernah dibahas.

"Karena tidak pernah dibahas, ketika masuk ke dunia keluarga, ada hal-hal yang tidak cocok, ada perbedaan pendapat, itu yang memicu konflik, dan pada gilirannya banyak sekali hal-hal yang tidak kita harapkan, seperti kekerasan," pungkasnya.

Sementara itu, saat akan dimintai pendapatnya, Gubernur Jabar Ahmad Heryawan enggan memberikan komentar. Seakan memberi tanda bahwa pertanyaan itu lebih tepat ditujukan kepada sang istri, sambil tersenyum, Gubernur yang akrab disapa Aher itu mengarahkan jari telunjuknya kepada perempuan yang dicintainya.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8066 seconds (0.1#10.140)