Dupa Penopang Hidup Warga Lereng Kawi
A
A
A
MALANG - Pagi masih berselimut kabut tipis yang turun dari puncak Gunung Kawi. Udara juga masih terasa beku. Di antara kabut dan bekunya pagi, Adi Kiswoyo sudah terlihat sibuk mengecek proses produksi dupa di belakang rumahnya. Beberapa pekerja terlihat begitu sibuk berteman dengan debu-debu tipis sisa bahan untuk dupa. Debu yang berhamburan tidak mereka pedulikan. Tangan-tangan para pekerja ini bergerak begitu cepat untuk segera menuntaskan pekerjaan. "Pesanan sedang banyak," ujar Adi.
Tingkat kesibukan di rumah produksi dupa milik Adi yang ada di Desa Bedalisodo, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur terus meningkat dalam beberapa pekan terakhir. Mereka harus melayani peningkatan pesanan dupa menjelang Tahun Baru Imlek dan Nyepi. "Kali ini peningkatan permintaan bisa di atas 50%. Biasanya kami memproduksi 14 ton setiap minggunya. Sekarang harus menambah jadi 21 ton," ujarnya.
Rumah produksi dupa yang dikelolanya lebih banyak memproduksi dupa dengan memanfaatkan teknologi. Bambu yang digunakan diimpor dari China dan Vietnam. Harga bahan bakunya diakuinya lebih mahal, tetapi harga jualnya juga tinggi. Pada hari biasa, harga dupa produksinya mencapai Rp20.000/kg, sekarang naik menjadi Rp25.000/kg.
Meskipun kondisi saat ini sering turun hujan, dia mengaku tidak khawatir proses produksinya akan terganggu. Hal ini disebabkan seluruh proses produksinya menggunakan mesin, termasuk pengeringan dupa menggunakan oven. Hanya berjarak beberapa belas meter dari rumah Adi Kiswoyo, terdengar suara potongan-potongan bambu dibelah. Seperti alunan musik, di tengah suasana tenang Desa Dalisodo.
Terlihat Suwarno,48, begitu cekatan membelah potongan bambu yang panjangnya mencapai sekitar 50 cm tersebut. Di antara kesejukan lereng timur Gunung Kawi, Suwarno bersama anak dan istrinya telah basah oleh tetesan keringat, membelah potongan-potongan bambu.
"Baru kemarin bambunya tiba, makanya sekarang harus segera kami kerjakan agar bisa segera dijual," ungkapnya sambil terus membelah bambu.
Bambu petung tersebut didatangkan dari wilayah Blitar. Setelah dipotong-potong dengan panjang sekitar 50 cm, lalu dibelah mengikuti panjang bambu. Belahannya kecil-kecil memanjang seukuran tusuk sate. "Belahan kecil-kecil ini kami jadikan tangkai untuk dupa," katanya.
Belahan-belahan bambu seukuran tusuk sate ini mereka sebut biting. Bentuknya menyerupai lidi. Selesai dibelah kecil-kecil, potongan bambu itu dijemur supaya kering. Setelah kering, potongan bambu dihaluskan. Potongan bambu atau biting yang sudah halus dijual ke perajin dupa yang juga ada di sekitar rumah Suwarno. "Kami khusus membuat biting-nya saja. Setelah itu kami setorkan ke pembuat dupa. Di desa kami, sudah sejak 1970-an dikenal sebagai produsen dupa," ungkapnya.
Dia dan keluarganya tidak memproduksi dupa, hanya memproduksi biting. Usaha ini sudah dijalaninya secara turun-temurun. Sebelum banyak tetangganya memproduksi dupa sendiri, biting hasil kerjanya dia jual ke pabrik dupa yang ada di Kota Malang. Harga jual biting ini sangat murah, sekitar Rp4.500/kg. Saat ini perajin biting untuk dupa di Desa Dalisodo juga terusik dengan kehadiran biting produksi China dan Vietnam. Kualitasnya jauh lebih bagus. Lebih lentur dan lebih halus. Harganya mencapai Rp28.000/kg. Ahmad,50, pemilik usaha dupa di Desa Dalisodo, mengaku tidak semua dupa menggunakan biting impor.
"Hanya dupa yang berkualitas tinggi yang menggunakan tangkai impor, sementara untuk dupa kelas biasa tetap menggunakan biting karya warga setempat," tuturnya. Dia menyebutkan ada lebih dari 30 pemilik usaha dupa di desanya. Mereka rata-rata memiliki 5-20 pekerja yang juga asli desa tersebut. Dupa-dupa produksi warga desa lereng Gunung Kawi ini dipasarkan ke Bali, Jakarta, Pematang Siantar, dan Singkawang.
Harga dupa sangat bervariatif. Mulai Rp5.500/kg hingga Rp20.000/kg. Tetapi menjelang Tahun Baru Imlek atau perayaan Nyepi, harga dupa tertinggi bisa mencapai Rp25.000/kg. Harga paling mahal memiliki kualitas paling bagus karena menggunakan tangkai impor yang lentur dan pencetakan dupanya menggunakan mesin. Adapun dupa paling murah diproduksi secara manual. Tangkai yang sudah dibasahi dengan lem khusus, dimasukkan dalam tumpukan tepung bahan dupa.
Tepung tersebut terdiri dari serbuk kayu jati dan beberapa bahan campuran lainnya. Satu bendel biting yang jumlahnya mencapai ratusan biji, langsung dimasukkan dalam tumpukan bubuk bahan dupa.
Pekerja yang rata-rata perempuan tersebut, lalu memutar-mutar biting di tumpukan tepung berwarna kecokelatan. Dengan sendirinya, tepung lengket di ujung biting sehingga menjadi dupa setengah jadi. Usaha ini dinilai Ahmad sangat tinggi nilai ekonominya. Bahkan, dia rela meninggalkan usaha konstruksinya demi memproduksi dupa.
"Kami kirim ke Bali. Mereka permintaannya sangat banyak. Kami bisa kirim hingga bertonton dupa ke Bali setiap minggunya," terangnya.
Dupa yang dikirim ke Bali masih setengah jadi. Belum ada pewanginya. Pemberian pewangi dilakukan oleh pembelinya di Bali. Ada pula beberapa pemilik usaha dupa di Desa Dalisodo yang sudah mampu memberikan pewangi sendiri. Dupa begitu hidup dan menghidupi masyarakat di lereng Gunung Kawi. Usaha turun-temurun ini hingga kini masih lestari. Bahkan, generasi modern di desa itu mampu mengembangkan teknologi baru dalam memproduksi dupa dengan mesin.
Tingkat kesibukan di rumah produksi dupa milik Adi yang ada di Desa Bedalisodo, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur terus meningkat dalam beberapa pekan terakhir. Mereka harus melayani peningkatan pesanan dupa menjelang Tahun Baru Imlek dan Nyepi. "Kali ini peningkatan permintaan bisa di atas 50%. Biasanya kami memproduksi 14 ton setiap minggunya. Sekarang harus menambah jadi 21 ton," ujarnya.
Rumah produksi dupa yang dikelolanya lebih banyak memproduksi dupa dengan memanfaatkan teknologi. Bambu yang digunakan diimpor dari China dan Vietnam. Harga bahan bakunya diakuinya lebih mahal, tetapi harga jualnya juga tinggi. Pada hari biasa, harga dupa produksinya mencapai Rp20.000/kg, sekarang naik menjadi Rp25.000/kg.
Meskipun kondisi saat ini sering turun hujan, dia mengaku tidak khawatir proses produksinya akan terganggu. Hal ini disebabkan seluruh proses produksinya menggunakan mesin, termasuk pengeringan dupa menggunakan oven. Hanya berjarak beberapa belas meter dari rumah Adi Kiswoyo, terdengar suara potongan-potongan bambu dibelah. Seperti alunan musik, di tengah suasana tenang Desa Dalisodo.
Terlihat Suwarno,48, begitu cekatan membelah potongan bambu yang panjangnya mencapai sekitar 50 cm tersebut. Di antara kesejukan lereng timur Gunung Kawi, Suwarno bersama anak dan istrinya telah basah oleh tetesan keringat, membelah potongan-potongan bambu.
"Baru kemarin bambunya tiba, makanya sekarang harus segera kami kerjakan agar bisa segera dijual," ungkapnya sambil terus membelah bambu.
Bambu petung tersebut didatangkan dari wilayah Blitar. Setelah dipotong-potong dengan panjang sekitar 50 cm, lalu dibelah mengikuti panjang bambu. Belahannya kecil-kecil memanjang seukuran tusuk sate. "Belahan kecil-kecil ini kami jadikan tangkai untuk dupa," katanya.
Belahan-belahan bambu seukuran tusuk sate ini mereka sebut biting. Bentuknya menyerupai lidi. Selesai dibelah kecil-kecil, potongan bambu itu dijemur supaya kering. Setelah kering, potongan bambu dihaluskan. Potongan bambu atau biting yang sudah halus dijual ke perajin dupa yang juga ada di sekitar rumah Suwarno. "Kami khusus membuat biting-nya saja. Setelah itu kami setorkan ke pembuat dupa. Di desa kami, sudah sejak 1970-an dikenal sebagai produsen dupa," ungkapnya.
Dia dan keluarganya tidak memproduksi dupa, hanya memproduksi biting. Usaha ini sudah dijalaninya secara turun-temurun. Sebelum banyak tetangganya memproduksi dupa sendiri, biting hasil kerjanya dia jual ke pabrik dupa yang ada di Kota Malang. Harga jual biting ini sangat murah, sekitar Rp4.500/kg. Saat ini perajin biting untuk dupa di Desa Dalisodo juga terusik dengan kehadiran biting produksi China dan Vietnam. Kualitasnya jauh lebih bagus. Lebih lentur dan lebih halus. Harganya mencapai Rp28.000/kg. Ahmad,50, pemilik usaha dupa di Desa Dalisodo, mengaku tidak semua dupa menggunakan biting impor.
"Hanya dupa yang berkualitas tinggi yang menggunakan tangkai impor, sementara untuk dupa kelas biasa tetap menggunakan biting karya warga setempat," tuturnya. Dia menyebutkan ada lebih dari 30 pemilik usaha dupa di desanya. Mereka rata-rata memiliki 5-20 pekerja yang juga asli desa tersebut. Dupa-dupa produksi warga desa lereng Gunung Kawi ini dipasarkan ke Bali, Jakarta, Pematang Siantar, dan Singkawang.
Harga dupa sangat bervariatif. Mulai Rp5.500/kg hingga Rp20.000/kg. Tetapi menjelang Tahun Baru Imlek atau perayaan Nyepi, harga dupa tertinggi bisa mencapai Rp25.000/kg. Harga paling mahal memiliki kualitas paling bagus karena menggunakan tangkai impor yang lentur dan pencetakan dupanya menggunakan mesin. Adapun dupa paling murah diproduksi secara manual. Tangkai yang sudah dibasahi dengan lem khusus, dimasukkan dalam tumpukan tepung bahan dupa.
Tepung tersebut terdiri dari serbuk kayu jati dan beberapa bahan campuran lainnya. Satu bendel biting yang jumlahnya mencapai ratusan biji, langsung dimasukkan dalam tumpukan bubuk bahan dupa.
Pekerja yang rata-rata perempuan tersebut, lalu memutar-mutar biting di tumpukan tepung berwarna kecokelatan. Dengan sendirinya, tepung lengket di ujung biting sehingga menjadi dupa setengah jadi. Usaha ini dinilai Ahmad sangat tinggi nilai ekonominya. Bahkan, dia rela meninggalkan usaha konstruksinya demi memproduksi dupa.
"Kami kirim ke Bali. Mereka permintaannya sangat banyak. Kami bisa kirim hingga bertonton dupa ke Bali setiap minggunya," terangnya.
Dupa yang dikirim ke Bali masih setengah jadi. Belum ada pewanginya. Pemberian pewangi dilakukan oleh pembelinya di Bali. Ada pula beberapa pemilik usaha dupa di Desa Dalisodo yang sudah mampu memberikan pewangi sendiri. Dupa begitu hidup dan menghidupi masyarakat di lereng Gunung Kawi. Usaha turun-temurun ini hingga kini masih lestari. Bahkan, generasi modern di desa itu mampu mengembangkan teknologi baru dalam memproduksi dupa dengan mesin.
(amm)