Nani Wartabone, Pejuang Kemerdekaan dari Gorontalo

Sabtu, 27 Januari 2018 - 05:00 WIB
Nani Wartabone, Pejuang...
Nani Wartabone, Pejuang Kemerdekaan dari Gorontalo
A A A
Tanggal 23 Januari 1942 bagi masyarakat Gorontalo menjadi momen yang selalu dikenang. Dimana pada 23 Januari 1942 di Gorontalo muncul gerakan masyarakat di bawah pimpinan Nani Wartabone yang berjuang untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda.

Peristiwa yang terjadi pada 23 Januari 1942 itu dikenal sebagai hari patriotik. Peristiwa itu juga disebut proklamasi kecil di daerah. Di bawah kepemimpinan Nani Wartabone, ribuan warga Gorontalo turun ke jalan tanpa memandang suku, agama dan jabatan.

Ketika itu, rakyat Gorontalo dari berbagai kalangan dan golongan turun ke jalan menduduki kantor-kantor pemerintahan Belanda, banyak tentara Belanda yang ditahan, ada kepala polisi, asisten residen dan kepala kontrolir. Pada waktu itu, massa juga mengibarkan bendera merah putih di depan Kantor Pos Gorontalo.

Nani Wartabone lahir di Gorontalo pada 30 Januari 1907 dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang cukup berada. Zakaria Wartabone, ayahnya bekerja untuk pemerintah Belanda, sedangkan ibunya merupakan keturunan bangsawan.

Meski ayahnya bekerja untuk pemerintah Belanda, namun Nani Wartabone sejak kecil sudah anti akan pemerintah kolonial Belanda. Bahkan ia tak betah bersekolah karena para pengajarnya yang berkebangsaan Belanda.

Menurut penuturan Lukman Wakid yang merupakan suami dari Yvonne Mohamad, cucu pertama dari anak sulungnya, Sarinah Wartabone, perjuangan Nani Wartabone dalam merebut kemerdekaan Indonesia dimulai ketika dia terlibat dalam pendirian organisasi kepemudaan Jong Gorontalo di Surabaya dimana Nani Wartabone sebagai sekretarisnya.

"Pulang dari Surabaya, Nani Wartabone mulai membentuk perjuangan dari kalangan petani, para petani setiap istirahat didoktrin, kita harus merdeka," ujar Lukman Wakid.

Dijelaskan, perjuangan Nani Wartabone dimulai dari kalangan petani, karena sepulang dari sekolahnya di Surabaya, Nani Wartabone meminta sawah kepada orangtuanya untuk digarap. Dari situlah Nani Wartabone mulai mendoktrin para petani untuk berjuang lepas dari belenggu penjajahan.

Klimaks perjuangan Nani Wartabone terjadi ketika Jepang masuk ke Manado. Mendengar Jepang akan masuk ke Gorontalo, Belanda lari, namun sebelumnya Belanda sempat membumi hanguskan beberapa fasilitas penting di Gorontalo seperti gudang kopra, pelabuhan, jembatan, kapal motor, serta penyimpanan beras dan minyak.

Melihat kondisi lowong begitu, Nani Wartabone langsung mengerahkan semua rakyat berjalan dari Suwawa menuju ke kota. Di setiap jalan yang dilewati, banyak orang-orang yang ikut bergabung sehingga massa makin bertambah menjadi ribuan.

Sesampainya di Kota, semua pejabat-pejabat Belanda berhasil mereka tangkap, dan hari itu tanggal 23 Januari Nani Wartabone berhasil menurunkan bendara Belanda dan menggantinya dengan bendera merah putih.

"Itu yang diceritakan ke kita, jadi sebenarnya, orang Gorontalo itu harus bangga, karena dia lebih dahulu menyatakan Kemerdekaan Negara Republik Indonesia," jelas Lukman.

Di mata keluarga, Nani Wartabone dikenal merupakan sosok kharismatik, jarang berbicara, sayang dengan keluarga, baik dengan anak cucunya, tidak mau bermasalah dengan orang dan banyak, taat beribadah dan sangat nasionalis. "Beliau kalau nonton televisi, ada acara 17 Agustus atau mendengar lagu-lagu perjuangan, beliau pasti menangis," tambah Wakid.

Nani Wartabone sangat tidak mau melihat orang Gorontalo itu susah dan melarat. Gorontalo bisa jadi hebat kalau membangun negeri sendiri. "Katanya susah-susah kita cari merdeka tapi malah banyak yang keluar dari Gorontalo," lanjut Lukman.

Makanya menurut Lukman, Nani Wartabone sangat marah terhadap orang Gorontalo yang datang ke Manado, karena orang Gorontalo datang ke Manado malah jadi susah, sementara di Gorontalo mereka punya sawah yang luas, kalau pun tidak punya tanah, masih banyak lahan yang bisa digarap, masih banyak hutan-hutan yang bisa dijadikan sawah.

"Waktu zaman itu, sekitar tahun 60-an, di Gorontalo mereka ada rumah, ada semua, mereka datang ke Manado hanya tidur dalam kas, jualan rokok tidur di bawah situ. Kita ini harus besarkan kita punya negeri, karena Nani Wartabone berpikir kalau Gorontalo berhasil dengan peningkatan persawahan berarti jadi lumbung beras, dengan sendirinya rakyat bisa hidup," jelas Lukman.

Bahkan di masa Letkol Rauf Mo'o menjadi Wali Kota Manado tahun 1966-1971, Nani Wartabone pernah menyampaikan kalau bertemu dengan orang Gorontalo di Manado agar diusir pulang kembali ke Gorontalo, suruh membangun di Gorontalo, karena dia ingin Gorontalo harus terdepan.

"Itu yang saya lihat prinsip hidupnya, Nani Wartabone juga sangat mencintai masyarakat Gorontalo, sampai mau meninggal pun berpesan "bukan anak cucu saya kalau tidak mau melihat rakyat Gorontalo," sudah semacam sumpah," lanjut Lukman.

Kecintaan Nani Wartabone terhadap Gorontalo lanjut Lukman tidak diragukan lagi, semangat nasionalismenya tinggi, kalau sekarang lagi ribut tentang NKRI harga mati, bagi Gorontalo bukan hanya harga mati, tetapi sampai mati.

Yvonne Mohamad, cucu pertama dari anak sulung Nani Wartabone yakni Sarinah Wartabone juga banyak bercerita tentang kakeknya tersebut. Yvone bahkan pernah ikut merasakan perjuangan bersama kakeknya sejak dia masih berusia tiga bulan.

"Saya pernah merasakan berjuang bersama ibu dan kakek saya waktu itu, bersama para pejuang lainnya keluar masuk hutan, bersembunyi dari kejaran penjajah," ujar Yvonne

Masih membekas diingatan Yvonne akan pesan kakeknya bahwa membuat masyarakat Gorontalo senang dan sejahtera merupakan cita-cita utama kakeknya sampai mati.

"Apabila suatu saat pegang jabatan, kekuasaan, atau apapun itu, kebetulan kaya, jangan meninggalkan rakyat Gorontalo, kalau kalian sampai lakukan itu, kalian bukan anak cucu saya," ujar Yvonne menirukan pesan kakenya sebelum meninggal.

Masyarakat Gorontalo harus bangga karena sebelum kemerdekaan, Nani Wartabone sudah berani memproklamirkan diri mendirikan negara NKRI. Masyarakat Gorontalo harus mengambil makna dari sejarah perjuangan Nani Wartabone dengan mewujudkan cita-cita dari Nani Wartabone agar rakyat Gorontalo senang dan sejahtera sehingga tidak sia-sia perjuangan 23 Januari 1942 kalau masyarakat Gorontalo sudah merdeka.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1327 seconds (0.1#10.140)