Kisah Ulama dan Pejuang Islam yang Dibuang ke Tanah Tondano

Jum'at, 05 Januari 2018 - 05:00 WIB
Kisah Ulama dan Pejuang Islam yang Dibuang ke Tanah Tondano
Kisah Ulama dan Pejuang Islam yang Dibuang ke Tanah Tondano
A A A
Sejumlah tokoh ulama dan pejuang Islam saat melawan kompeni Belanda pada abad ke 18 ternyata banyak dibuang di wilayah Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara yang notabene banyak dihuni non muslim. Diantara para ulama dan pejuang yang terkenal tersebut adalah Kiai Modjo dan Tuanku Imam Bonjol. Kiai Modjo adalah salah satu guru spritual dan panglima perang Pangeran Diponegoro.

Kiai Modjo lahir sekitar tahun 1792 dan kemudian menjadi guru agama Pajang dekat Delanggu, Surakarta. Nama sebenarnya adalah Muslim Mochammad Khalifah.

Ayah Kiai Modjo bernama Iman Abdul Arif, yang merupakan seorang ulama dusun tersebut berada dekat Pajang dan merupakan tanah pemberian (perdikan/swatantra) Raja Surakarta kepada beliau. Menurut suatu sumber Iman Abdul Ngarip memiliki alur keturunan dari Kerajaan Pajang. Sedangkan ibu Kiai Modjo adalah saudara perempuan HB III, dengan demikian hubungan Kiai Modjo adalah kemenakan Pangeran Diponegoro karena ibu Kiai Modjo (RA Mursilah bersepupu dengan Pangeran Diponegoro).

Meskipun ibunya seorang ningrat keraton, Kiai Modjo dibesarkan di luar keraton. Setelah menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan menetap di sana selama beberapa waktu Kiai Modjo kemudian memimpin satu pesantren di negeri Modjo.

Kiai Modjo menikah dengan RA Mangubumi janda cerai dari Pangeran Mangkubumi – paman Pangeran Diponegoro dan karena perkawinan ini Pangeran Diponegoro memanggil Kiai Modjo dengan sebutan “paman”. Meskipun dari garis ayah Kiai modjo adalah “kemenakan” Pangeran Diponegoro.

Kiai Modjo mempelajari agama Islam dengan berguru kepada Kiai Syarifudin di Gading Santren Klaten. Setelah dewasa, dia berguru kepada seorang kiai di Ponorogo. Disinilah Kiai Mojo mendapatkan pengajaran tentang ilmu kanuragan.

Sejak saat itulah dia terkenal akan kesaktiannya, di samping terkenal akan pendidikan agama dan pesantrennya. Dia pun termasuk salah seorang kepercayaan Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwono VIPB VI).

Sepeninggal ayahnya, Kiai Modjo melanjutkan tugas ayahnya sebagai guru agama di (pesantren) Modjo sehingga membuat Pangeran Diponegoro memilih Kiai Modjo sebagai penasehat agamanya sekaligus panglima perangnya saat melawan Belanda.

Setelah ditangkap oleh Belanda pada 17 November 1828 di Dusun Kembang Arum, Jawa Tengah, Kiai Modjo dibawa ke Batavia dan selanjutnya diasingkan ke Tondano – Minahasa hingga wafat di sana pada 20 Desember 1849 dalam usia 57 tahun.

Ikut bersama dia dalam pengasingan di Tondano adalah satu putranya (Gazaly), lima orang kerabat dekat serta lebih dari 50 orang pengikut lainnya yang semuanya laki-laki.

Kecuali Kiai Modjo, hampir semua pengikutnya menikah dengan wanita Tondano (Tombokan, Walalangi, Tumbelaka, Rumbayan, dan lain-lain) dan dari perkawinan ini lahir beberapa keluarga yang dewasa ini dikenal dengan nama keluarga (marga atau fam) antara lain “Pulukadang”, “Modjo”, “Baderan”, “Zess”, “Kyai Demak”, “Suratinoyo”, “Nurhamidin”, “Djoyosuroto”, “Sutaruno”, “Kiai Marjo”, dan lain-lain.

Di Tondano beliau menyalurkan ilmu kesaktiannya (yang dipelajarinya di Ponorogo) kepada pengikutnya dalam bentuk ilmu bela diri dan kemudian menjadi cikal bakal pencak silat.

Makam Kiai Modjo terletak di sebuah bukit di Kampung Jawa Tondano. Disamping makamnya, terdapat juga makam dari para pengikutnya yang kini menjadi salah satu obyek tujuan wisata di Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut).

Setelah Kiai Modjo juga diasingkan Kiai Hasan Maulani asal Lengkong Cirebon guru sekaligus pendiri tarekat Akmaliyah di Cirebon. Banyaknya pengikut tarekat Akmaliyah menakutkan penguasa saat itu karena perlawanannya terhadap Belanda. Hal ini mendorong Belanda untuk menangkap dan membuang Kiai Hasan Maulani ke Tondano pada 1846.

Setelah itu Pahlawan Nasional asal Sumbar yaitu Tuanku Imam Bonjol juga dibuang ke Tanah Minahasa.

Tuanku Imam Bonjol dilahirkan pada 1772 di Kampung Tanjung Bunga, Kabupaten Pasaman Sumatra Barat. Imam Bonjol adalah pemimpin yang paling terkenal dalam gerakan Padri di Sumatra, yang pada mulanya menentang perjudian, adu ayam, penggunaan opium, minuman keras, tembakau. Tetapi kemudian mengadakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda, yang mengakibatkan Perang Padri yang dimulai pada 1821 sehingga banyak menimbulkan korban dari pihak Belanda.

Namun Pada 1837, Desa Imam Bonjol berhasil diambil alih oleh Belanda, dan Imam Bonjol akhirnya menyerah. Dia kemudian diasingkan di beberapa tempat, dan pada akhirnya dibawa ke Minahasa.

Di sana Tuanku Imam Bonjol wafat 6 November 1864 dalam usia 92 tahun, dikebumikan di Desa Lotak Pineleng berjarak 25 km dari Tondano ke arah Manado.

Beberapa pengikut Imam Bonjol kemudian menikah dengan wanita kampung Jawa Tondano adalah; Malim Muda (menikah dengan cucu Kiai Demak), Haji Abdul Halim (menikah dengan Wonggo-Masloman), Si Gorak Panjang (menikah dengan putri Nurhamidin), dan Malim Musa. Dari (diantara) mereka menurunkan keluarga (fam) Baginda di Minahasa dewasa ini.

Setelah Imam Bonjol tokoh Islam lainnya yang dibuang ke Tondano konon adalah KH Ahmad Rifa’i asal Kendal, Jawa Tengah yang dibuang pada 1861.

Kiai Haji Ahmad Rifai dilahirkan pada 9 Muharam 1200 H atau 1786 di Desa Tempuran Kabupaten Semarang. Dia adalah seorang ulama keturunan Arab, memimpin suatu pesantren di Kendal Jawa Tengah. Setelah beberapa kali keluar masuk penjara Kendal dan Semarang karena dakwahnya yang tegas.

Tahun 1272 H (1856) adalah merupakan tahun permulaan krisis bagi gerakan Kiai Haji Ahmad Rifai . Hal ini disebabkan hampir seluruh kitab karangan dan hasil tulisan tangan disita pemerintah Belanda. Disamping itu para murid dan Ahmad Rifai sendiri terus – menerus mendapat tekanan Belanda.

Sebelum Haji Ahmad Rifai diasingkan dari Kaliwungu Kendal Semarang, tuduhan yang dikenakan hanyalah persoalan menghasut pemerintah Belanda dan membawa Haji Ahmad Rifai dipenjara beberapa hari di Kendal, Semarang dan terakhir di Wonosobo.

Tahun1859 Ahmad Rifa’i diasingkan Belanda ke Ambon, kemudian diasingkan lagi ke Tondano pada 1861 dan bergabung dengan pengikut Kiai Modjo.

Di Kampung Jawa Tondano KH Ahmad Rifa’i menciptakan kesenian terbang (rebana) disertai dengan lagu-lagu, syair-syair yang diambil dari kitab karangannya.

KH Ahmad Rifa’i wafat di Kampung Jawa Tondano pada Kamis 25 Robiul Akhir 1286 H atau tahun 1872 (usia 86 tahun) dan dimakamkan di Komplek Makam Kiai Modjo. Namun ada sumber yang mengatakan jika KH Ahmad Rifa’i ini dibuang di Ambon dan dimakamkan di sana. Menurut sumber tersebut KH Ahmad Rifa’i yang wafat di Kampung Jawa Tondano adalah salah pengikut Kiai Modjo yang juga bernama H Ahmad Rifa’i.

Usai KH Ahmad Rifai wafat pada 1880 Sayid Abdullah Assagaf ulama asal Palembang, Sumatera Selatan juga dibuang ke Tondano.

Sayed Abdullah Assagaf adalah orang Arab yang lahir di Palembang, Sumatera Selatan. Belanda mengasingkannya ke Tondano pada 1880 karena menghasut masyarakat untuk melawan Belanda. Perlawanan Abdullah Assagaf dianggap meresahkan Belanda.

Di Kampung Jawa Tondano Sayed Abdullah Assagaf menikah (lagi) dengan Ramlah Suratinoyo dan memiliki 7 orang anak, dan dari mereka menurunkan keluarga (fam) Assagaf di Kampung Jawa Tondano.

Keberadaan Abdullah Assagaf di Kampung Jawa Tondano telah mendistorsi budaya kampung Jawa Tondano yang semula sangat kental dengan budaya jawa. Abdullah Assagaf berhasil mentransfer dan mengawinkan budaya Arab-Sumatra dengan budaya Jawa dan melahirkan budaya Jawa Tondano (Jaton) generasi ketiga.

Kemudian pada 1884 giliran Gusti Pangeran Perbatasari asal Banjarmasin, Kalimantan dibuang ke Tondano. Sebelumnya Pangeran Perbatasari melakukan pemberontakan terhadap Belanda. Namun kemudian dia tertangkap di daerah Kutai ketika dalam perjalanan membeli persenjataan dan tahun 1884 diasingkan ke Kampung Jawa Tondano.

Di Kampung Jawa Tondano Pangeran Perbatasari menikah dengan dengan wanita Jaton. Satu orang saudara laki-lakinya (Gusti Amir) kemudian menyusul ke Kampung Jawa Tondano dan menikah dengan wanita Jaton

Selain itu Belanda juga membuang beberapa ulama asal Cilegon Banten yang memberontak terhadap kompeni pada 9 Juli 1888 di Cilegon Banten. Perlawanan rakyat itu disebut Geger Cilegon. Geger Cilegon dipimpin pemuka Islam Cilegon diantaranya Haji Abdul Karim (pemimpin tarekat di Lempuyang) Haji Muhammad Asnawi, Haji Jafar dan Haji Mardjaya dan ulama lainnya.

Dengan memekikan takbir para ulama dan murid-muridnya menyerbu beberapa tempat Kompeni yang ada di Cilegon. Cilegon pun dapat dikuasai oleh para pejuang “Geger Cilegon”.

Namun tak lama kemudian datang 40 serdadu kompeni. Terjadi pertempuran hebat dengan persenjataan yang tak seimbang antara para pejuang dengan serdadu kompeni. hingga akhirnya pemberontakan tersebut dapat dipatahkan. Keempat ulama tersebut akhirnya dibuang ke Kampung Jawa Tondano dan kemudian menikah dengan wanita Jaton, mereka adalah Haji Abdul Karim (menikah dengan fam Haji Ali) keturunannya menggunakan fam Aslah, Haji Muhammad Asnawi (menikah dengan fam Haji Ali), Haji Jafar (menikah dengan fam Maspekeh) dan Haji Mardjaya. Sementara ulama lainnya dibuang ke wilayah lainnya di Nusantara.

Kemudian menyusul Tengku Muhammad/ Umar ulama asal Aceh yang dibuang pada 1895 dan Haji Saparua asal Maluku yang dibuang pada 1900 di Tondano.

Sehingga Kampung Jawa Tondano peninggalan Kiai Modjo di Minahasa menjadi cikal bakal masuknya Agama Islam ke Minahasa dan Gorontalo.

Beberapa peninggalan Kiai Modjo di Tondano yang masih ada yaitu Masjid Al-Falah Kiai Modjo. Dari sinilah tempat mulanya Islam masuk ke tanah Minahasa dan Gorontalo.

Sumber :
- putrahermanto.wordpress
- wikipedia dan diolah dari berbagai sumber
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3603 seconds (0.1#10.140)