129 Tahun Sawahlunto, Jejak Kota Batu Bara Menjadi Kota Wisata Sejarah

Senin, 11 Desember 2017 - 05:01 WIB
129 Tahun Sawahlunto,...
129 Tahun Sawahlunto, Jejak Kota Batu Bara Menjadi Kota Wisata Sejarah
A A A
Tepat 1 Desember 2017, Kota Sawahlunto, Provinsi Sumatera Barat, genap berusia 129 tahun. Ketika pertama kali didirikan dan diresmikan pada 1 Desember 1888 oleh Pemerintah Hindia Belanda, Sawahlunto yang terletak 95 km sebelah timur laut Kota Padang, dikenal dengan produksi tambang batu bara dengan kualitas super.

Cikal bakal berdirinya Sawahlunto sebagai kota, tak lepas dengan penelitian yang dilakukan oleh beberapa geolog asal Belanda ke pedalaman Minangkabau yang saat itu dikenal sebagai Dataran Tinggi Padang. Sebagaimana yang ditugaskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, penelitian pertama dilakukan oleh Ir C De Groot van Embden pada 1858, kemudian dilanjutkan oleh Ir Willem Hendrik de Greve pada 1867.

Dalam penelitian De Greve, diketahui dalam perut bumi di sekitar aliran Batang Ombilin, salah satu sungai yang ada di Sawahlunto, terkandung puluhan juta ton batu bara (ada yang menyebut 205 juta ton). Sejak penelitian tersebut diumumkan ke Batavia pada 1870, pemerintah Hindia Belanda mulai merencanakan pembangunan sarana dan prasarana yang dapat memudahkan eksploitasi batu bara di Sawahlunto.

Akhirnya, Sawahlunto dijadikan sebagai kota pada 1888, tepatnya pada 1 Desember yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Sawahlunto. Cadangan “emas hitam” dalam jumlah besar ini menarik Pemerintahan Hindia Belanda untuk berinvestasi 5,5 juta gulden untuk membangun fasilitas pengusahaan tambang batu bara Ombilin. Pada situs ptba.co.id disebut investasi Pemerintah Hindia Belanda sekitar 20 juta Gulden atau setara dengan Rp150 miliar.

Termasuk untuk membangun Pelabuhan Emma Haven, sekarang dikenal dengan nama Pelabuhan Teluk Bayur di Padang, untuk memperlancar ekspor batu bara. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda juga membangun jalur kereta api dari Emma Haven ke Sawahlunto sepanjang 155,5 kilometer. Proyek tiga serangkai ini, yaitu tambang batu bara Ombilin, jalur kereta api, dan pelabuhan Teluk Bayur, sebenarnya sudah dimulai pada 1887.

Kota ini mulai memproduksi batu bara sejak 1892 hingga mencapai puluhan ribu ton per tahun. Areal penambangan batu bara di Kota Tambang ini mencapai lebih kurang 16.000 hektare yang tersebar di Kecamatan Talawi.

Kemudian pada 1893, Pemerintah Hindia Belanda menyelesaikan pembangunan Pelabuhan Emma Haven. Pelabuhan ini berfungsi sebagai pintu gerbang antar pulau serta pintu gerbang arus keluar masuk barang ekspor-impor dari dan ke Sumatera Barat.

Sampai era Perang Dunia II, Pelabuhan Teluk Bayur merupakan salah satu dari lima pelabuhan terbesar dan tersibuk di Indonesia. Seiring dengan berkembangnya Singapura sebagai pelabuhan transit, Selat Malaka menjadi jalur pelayaran yang penting, mengakibatkan menurunnya aktivitas perdagangan di Teluk Bayur.

Sedangkan proyek jalur kereta api yang menghubungkan Teluk Bayur-Sawahlunto melewati Kota Padang Panjang selesai dibangun pada 1893. Pembangunan jalur kereta api ini terbagi dalam lima tahap, pertama jalur kereta api dari Pulau Air (Padang) ke Padang Panjang (71 km) selesai 12 Juli 1891.

Kedua, dari Padang Panjang – Bukit Tinggi (19 km) selesai November 1891; ketiga, dari Padang Panjang - Solok ( 53 km) selesai Juli 1892; keempat dari Solok - Muara Kalaban (23 km) dan Padang - Teluk Bayur (7 km) selesai Oktober 1892.
Terakhir adalah dari Muara Kalaban ke Sawahlunto (2 km) yang harus menembus sebuah bukit dengan membuat terowongan sepanjang 835 meter yang selesai Januari 1894. Terowongan ini (Lubang Kalam) dikerjakan oleh para narapidana yang dibawa dari berbagai penjara di nusantara atau yang dikenal dengan istilah orang-orang rantai.

Sampai 1898, aktivitas tambang di Sawahlunto masih mengandalkan narapidana yang dipaksa bekerja untuk menambang dan dibayar dengan harga murah. Mereka dipekerjakan dengan paksa oleh pemerintah Belanda. Kaki mereka diikat dengan rantai, dicambuk dan disiksa jika tidak bekerja.

Aktivitas pertambangan batu bara terus berlanjut dan terjadi pasang surut hingga berakhir pada 2004. Untuk produksi batu bara terjadi peningkatan dari 1.758 ton pada 1892 menjadi 100.000 ton, bahkan pada 1901 terjadi peningkatan 200.000 ton. Sejak 1940 hingga 1970-an produksi batu bara Ombilin terus merosot dan seiring itu jumlah penduduk di Sawahlunto pun mengalami penurunan.

Jumlah penduduk kota Sawahlunto mengalami penurunan yang sangat tajam sejak merosotnya produksi batu bara di kota ini pada 1940. Dari 43.576 jiwa pada 1930 menjadi 13.561 jiwa pada 1980. Kemudian secara perlahan, jumlah penduduk kota ini meningkat pada 1990, sejalan dengan kembali pulihnya produksi batu bara sejak 1980.

Setelah produksi batu bara Sawahlunto mengalami penurunan sejak awal 2000, semua fasilitas pertambangan tidak difungsikan lagi sebagaimana mestinya. Kemudian Pemerintah Kota Sawahlunto berinisiatif menjadikan Sawahlunto menjadi kota wisata tambang dengan tata ruang dan bangunan khas kolonial dengan mengusung slogan “Kota Wisata Tambang yang Berbudaya”.

Saat ini Kota Sawahlunto berkembang menjadi kota wisata tua yang multietnik, sehingga menjadi salah satu kota tua terbaik di Indonesia. Sebagian telah ditetapkan sebagai cagar budaya, sehingga Sawahlunto menjadi kota kecil yang nyaman untuk tempat wisatawan melihat jejak kota tambang batu bara. Era kejayaan tambang batu bara dan tragedi orang rantai di Sawahlunto yang sudah berusia 129 tahun terawat rapi oleh Pemerintah Kota Sawahlunto.

129 Tahun Sawahlunto, Jejak Kota Batu Bara Menjadi Kota Wisata Sejarah

Museum Kereta Api Sawahlunto.Foto/Istimewa

Setidaknya ada 4 tempat jejak bersejarah yang wajib dikunjungi saat ke Sawahlunto, yaitu Lubang Mbah Soero, Museum Goedang Ransoem, Museum Kereta Api, dan Hotel Ombilin. Lubang Mbah Soero merupakan sebuah tunnel panjang yang digunakan untuk proses penggalian dan pengangkutan batu bara pada zaman pemerintahan Belanda. Panjang tunnel ini sebenarnya mencapai puluhan kilometer, namun yang digunakan untuk keperluan wisata hanyalah 186 meter saja.

Sedangkan di museum Goedang Ransoem terdapat perlengkapan masak yang digunakan untuk menyediakan makanan para pekerja tambang. Ukuran tempat masak di museum ini ada yang memiliki diameter 124 cm dengan tinggi 148 cm. Pada zaman dulu satu dapur umum bisa memasak hingga 65 pikul atau sekitar 4.000 liter beras setiap hari.

Di museum Kereta Api, terasa suasana masa kolonial. Museum ini dulunya adalah stasiun kereta api yang dibangun oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Salah satu daya tarik utama museum ini adalah Mak Itam, yakni sebuah lokomotif bertenaga batu bara.

Dan, Hotel Ombilin juga merupakan salah satu saksi bisu kejayaan Sawahlunto di masa lalu. Hotel ini pada zaman dulu sering digunakan sebagai tempat menginap tamu-tamu Belanda. Hotel ini dibangun pada 1918 dengan arsitektur khas Belanda.

Diolah dari berbagai sumber.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0890 seconds (0.1#10.140)