Pataka Bintang Bulan Tentara PETA, Lambang Suci Melawan Penjajah
A
A
A
Saat pendudukan balatentara Dai Nippon Jepang dalam Perang Asia Timur Raya (1942 -1945), menjalankan kebijakan pertahanan yang dikenal dengan Nippon Islamic Grass Root Policy. Kebijakan tersebut memanfaatkan potensi ulama akar rumput dan ulama non partai politik dijadikan pemimpin tentara pribumi untuk melawan tentara penjajah sekutu.
Balatentara Dai Nippon tidak bisa mengamankan dan menguasai wilayah jajahan di seluruh Asia. Tentara Jepang sangat memerlukan bantuan pribumi dijadikan tentara. Oleh karena itu, dibentuklah tentara pribumi yang diberi nama Tentara Pembela Tanah Air atau tentara PETA. Untuk di Pulau Jawa Madura dan Bali, diresmikan pada 3 Oktober 1945. Dengan Komandan Batalion atau Daidan-cho adalah ulama.
Kehadiran organisasi militer modern sebenarnya telah diperjuangkan dalam National Congres (Natico) Centraal Sjarikat Islam di Bandung pada 16 Juni 1916. Namun, tidak diizinkan oleh penjajah Belanda karena takut kekuatan tersebut digunakan untuk melawannya.
Baru pada 27 tahun kemudian, tepat pada 3 Oktober 1943, Balatentara Dai Nippon mengizinkan dengan meresmikan terbentuknya Tentara PETA dengan dipercayakan ulama sebagai Daidan-Cho atau Komandan Batalion. Di seluruh Jawa Madura dan Bali ada sekitar 80 Batalion. Saat itu, sebagai pimpinan pusat Tentara PETA diangkatlah, Mr Kasman Singodimedjo dari Perserikatan Moehammadijah.
Di samping itu, Umat Islam diizinkan pula oleh balatentara Dai Nippon membangun Lasjkar Hizboellah dan Barisan Sabilillah. Saat itu terdaftar 400.000 Lasjkar Hizboellah dipimpinan KH Maskoer dari Nahdlatoel Oelama.
Beberapa sumber juga menyebutkan pembentukan PETA dianggap berawal dari surat Raden Gatot Mangkoepradja kepada Gunseikan (kepala pemerintahan militer Jepang) pada September 1943. Isinya berupa permohonan agar bangsa Indonesia diperkenankan membantu pemerintahan Jepang di medan perang. Ada pendapat, ini merupakan strategi Jepang untuk membangkitkan semangat patriotisme dengan memberi kesan bahwa usul pembentukan PETA berasal dari kalangan pemimpin Indonesia sendiri.
Pendapat ini ada benarnya, karena sebagaimana berita yang dimuat pada koran "Asia Raya" pada 13 September 1943, adanya usulan sepuluh ulama, yaitu KH Mas Mansyur, KH Adnan, Dr Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Guru H Mansur, Guru H Cholid, KH Abdul Madjid, Guru H Jacob, KH Djunaedi, H. Mochtar dan H Mohammad Sadri. Mereka menuntut agar segera dibentuk tentara sukarela, bukan wajib militer, untuk akan mempertahankan Pulau Jawa .
Hal ini menunjukkan adanya peran golongan agama, khususnya ulama, dalam rangka pembentukan tentara PETA. Tujuan para ulama mengusulkan ini untuk menanamkan paham kebangsaan dan cinta tanah air yang berdasarkan ajaran agama. Kemudian juga diperlihatkan dalam pataka atau bendera tentara PETA yang berupa lambang Bintang dan Bulan Sabit.
Pataka atau bendera tentara PETA berupa Bintang Bulan pun dibenarkan dan ditetapkan oleh balatentara Dai Nippon. Simbol Bintang Bulan berwarna putih yang ditempatkan di dalam bulatan Matahari Merah dengan cahaya yang memancar ke seluruh penjuru Tanah Air.
Pemilihan lambang Bintang Bulan diyakini oleh umat Islam Indonesia sebagai Lambang Kemenangan Umat Islam dan Lambang yang Suci. Lambang yang diramalkan dalam Jangka Jayabaya, lambang Ratu Adil yang membebaskan dari berbagai bentuk penindasan dan terciptanya Keadilan bagi bangsa dan negara Indonesia.
Daidancho Mr Kasman Singodimedjo menerima Daidanki, Pataka Tentara PETA di hadapan Saiko Shikikan Jenderal Kumashiki Harada di Lapangan Ikada Gambir 8 Februari 1944. Daidanki Pataka PETA di dalamnya terdapat lambang Bintang Bulan yang dihormati penduduk Pulau Jawa.
Bintang Bulan disimbolkan dalam Keris sebagai senjata. Pada tangkainya terdapat bulatan yang ada permatanya disebut Kartika yang berarti Bintang. Pada sarung Keris bagian atas berbentuk Bulan Sabit disebut Sasi artinya Bulan. Maksud Kartika Sasi pada Keris adalah lambang Bulan Bintang.
Sekali lagi dalam masa perang, peran ulama dari Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam (POI), Persatuan Islam (Persis), begitu nyata. Terutama dalam lahirnya tentara PETA untuk melawan penjajah.
Kemudian setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 atau Jumat Legi 9 Ramadhan 1364, para ulama dengan tentara PETA diubahnya menjadi BKR, TKR, TRI, dan selanjutnya dikenal sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 5 Oktober 1945. Setelah ulama berhasil merebut Bojongkokosan, Sukabumi, Jawa Barat, pada 9 Desember 1945 dan Ambarawa, Jawa Tengah, pada 15 Desember 1945, diangkatlah menjadi Panglima Besar TNI, Jenderal Sudirman.
Pengaruh dari latar belakang pembentukan organisasi militer modern di atas ini, tidaklah heran bila Khudrotus Syeikh Rois Akbar KH Hasyim Asy'ari lebih memilih Perang Jihad Fi Sabilillah pada 22 Oktober 1945, untuk menjawab pendaratan tentara Sekutu dan NICA. Dibandingkan jalur diplomasi yang dipilih Perdana Menteri Soetan Sjahrir dan Amir Sharifoeddin dari Partai Sosialis Indonesia.
Sumber:
Api Sejarah 2, karya Ahmad Mansur Suryanegara
Balatentara Dai Nippon tidak bisa mengamankan dan menguasai wilayah jajahan di seluruh Asia. Tentara Jepang sangat memerlukan bantuan pribumi dijadikan tentara. Oleh karena itu, dibentuklah tentara pribumi yang diberi nama Tentara Pembela Tanah Air atau tentara PETA. Untuk di Pulau Jawa Madura dan Bali, diresmikan pada 3 Oktober 1945. Dengan Komandan Batalion atau Daidan-cho adalah ulama.
Kehadiran organisasi militer modern sebenarnya telah diperjuangkan dalam National Congres (Natico) Centraal Sjarikat Islam di Bandung pada 16 Juni 1916. Namun, tidak diizinkan oleh penjajah Belanda karena takut kekuatan tersebut digunakan untuk melawannya.
Baru pada 27 tahun kemudian, tepat pada 3 Oktober 1943, Balatentara Dai Nippon mengizinkan dengan meresmikan terbentuknya Tentara PETA dengan dipercayakan ulama sebagai Daidan-Cho atau Komandan Batalion. Di seluruh Jawa Madura dan Bali ada sekitar 80 Batalion. Saat itu, sebagai pimpinan pusat Tentara PETA diangkatlah, Mr Kasman Singodimedjo dari Perserikatan Moehammadijah.
Di samping itu, Umat Islam diizinkan pula oleh balatentara Dai Nippon membangun Lasjkar Hizboellah dan Barisan Sabilillah. Saat itu terdaftar 400.000 Lasjkar Hizboellah dipimpinan KH Maskoer dari Nahdlatoel Oelama.
Beberapa sumber juga menyebutkan pembentukan PETA dianggap berawal dari surat Raden Gatot Mangkoepradja kepada Gunseikan (kepala pemerintahan militer Jepang) pada September 1943. Isinya berupa permohonan agar bangsa Indonesia diperkenankan membantu pemerintahan Jepang di medan perang. Ada pendapat, ini merupakan strategi Jepang untuk membangkitkan semangat patriotisme dengan memberi kesan bahwa usul pembentukan PETA berasal dari kalangan pemimpin Indonesia sendiri.
Pendapat ini ada benarnya, karena sebagaimana berita yang dimuat pada koran "Asia Raya" pada 13 September 1943, adanya usulan sepuluh ulama, yaitu KH Mas Mansyur, KH Adnan, Dr Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Guru H Mansur, Guru H Cholid, KH Abdul Madjid, Guru H Jacob, KH Djunaedi, H. Mochtar dan H Mohammad Sadri. Mereka menuntut agar segera dibentuk tentara sukarela, bukan wajib militer, untuk akan mempertahankan Pulau Jawa .
Hal ini menunjukkan adanya peran golongan agama, khususnya ulama, dalam rangka pembentukan tentara PETA. Tujuan para ulama mengusulkan ini untuk menanamkan paham kebangsaan dan cinta tanah air yang berdasarkan ajaran agama. Kemudian juga diperlihatkan dalam pataka atau bendera tentara PETA yang berupa lambang Bintang dan Bulan Sabit.
Pataka atau bendera tentara PETA berupa Bintang Bulan pun dibenarkan dan ditetapkan oleh balatentara Dai Nippon. Simbol Bintang Bulan berwarna putih yang ditempatkan di dalam bulatan Matahari Merah dengan cahaya yang memancar ke seluruh penjuru Tanah Air.
Pemilihan lambang Bintang Bulan diyakini oleh umat Islam Indonesia sebagai Lambang Kemenangan Umat Islam dan Lambang yang Suci. Lambang yang diramalkan dalam Jangka Jayabaya, lambang Ratu Adil yang membebaskan dari berbagai bentuk penindasan dan terciptanya Keadilan bagi bangsa dan negara Indonesia.
Daidancho Mr Kasman Singodimedjo menerima Daidanki, Pataka Tentara PETA di hadapan Saiko Shikikan Jenderal Kumashiki Harada di Lapangan Ikada Gambir 8 Februari 1944. Daidanki Pataka PETA di dalamnya terdapat lambang Bintang Bulan yang dihormati penduduk Pulau Jawa.
Bintang Bulan disimbolkan dalam Keris sebagai senjata. Pada tangkainya terdapat bulatan yang ada permatanya disebut Kartika yang berarti Bintang. Pada sarung Keris bagian atas berbentuk Bulan Sabit disebut Sasi artinya Bulan. Maksud Kartika Sasi pada Keris adalah lambang Bulan Bintang.
Sekali lagi dalam masa perang, peran ulama dari Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam (POI), Persatuan Islam (Persis), begitu nyata. Terutama dalam lahirnya tentara PETA untuk melawan penjajah.
Kemudian setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 atau Jumat Legi 9 Ramadhan 1364, para ulama dengan tentara PETA diubahnya menjadi BKR, TKR, TRI, dan selanjutnya dikenal sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 5 Oktober 1945. Setelah ulama berhasil merebut Bojongkokosan, Sukabumi, Jawa Barat, pada 9 Desember 1945 dan Ambarawa, Jawa Tengah, pada 15 Desember 1945, diangkatlah menjadi Panglima Besar TNI, Jenderal Sudirman.
Pengaruh dari latar belakang pembentukan organisasi militer modern di atas ini, tidaklah heran bila Khudrotus Syeikh Rois Akbar KH Hasyim Asy'ari lebih memilih Perang Jihad Fi Sabilillah pada 22 Oktober 1945, untuk menjawab pendaratan tentara Sekutu dan NICA. Dibandingkan jalur diplomasi yang dipilih Perdana Menteri Soetan Sjahrir dan Amir Sharifoeddin dari Partai Sosialis Indonesia.
Sumber:
Api Sejarah 2, karya Ahmad Mansur Suryanegara
(wib)