Bung Karno Mencari Jalan Pembubaran PKI

Minggu, 01 Oktober 2017 - 05:05 WIB
Bung Karno Mencari Jalan Pembubaran PKI
Bung Karno Mencari Jalan Pembubaran PKI
A A A
TANGGAL 6 Oktober 1965 atau lima hari paskaperistiwa 30 September 1965, Njoto masih terlihat di Istana Bogor. Raut muka petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI) itu tampak lesu, pucat, dan tidak bersemangat.

Njoto seperti tertekan dan lebih banyak diam. "Hei, Oei (Oei Tjoe Tat), kowe duduk dekat Njoto. Wani ngomong?. Kabeh wedi karo dia. Kowe ora". Presiden Soekarno yang kebetulan melihat situasi serba "tak nyaman" itu berseloroh, melontarkan teguran dalam bahasa campuran Jawa ngoko dan Indonesia.

Kebetulan hanya Oei Tjoe Tat yang duduk di sebelah Njoto. Para menteri Kabinet Dwikora yang lain pada menjauhinya. Entah takut disangkutpautkan dengan operasi 30 September 1965 atau karena alasan lain, semua menjaga jarak darinya. Tak ada satupun yang menyapa.

Saat itu jelang sidang pertama Kabinet 100 Menteri (istilah lawan politik Soekarno) di Istana Bogor. Sidang digelar mendadak. Tidak ada undangan seperti biasanya. Istana langsung menghubungi dan meminta masing masing segera kumpul. Sedikitnya 40 orang menteri hadir.

Semua mengenakan pakaian putih putih sebagaimana seragam pembantu Presiden. Njoto yang juga anggota kabinet memilih menyendiri. Njoto baru sebulan menikmati jabatan Menteri Negara. Politisi cum seniman yang mengenalkan lagu Genjer Genjer dari Banyuwangi ke Jakarta itu diperbantukan untuk urusan presidium.

Dalam autobiografi "Memoar Oei Tjoe Tat Pembantu Presiden Soekarno", Oei mengaku takut menyapa lebih dulu. Dalam hati sempat bertanya tanya. Njoto kok masih aman?. Malah menghadiri sidang.

Awalnya Oei berharap pria yang memiliki nama pena Iramani itu memulai percakapan. Sebab dia tidak ingin menarik perhatian.

"Mengapa mesti takut, Pak?". Oei merespon teguran Bung Karno. "Ya sudah, ngomong-ngomong lah". Bung Karno meminta Oei mengajak ngobrol Njoto seperti biasa.

"Bung Njoto, ini sebenarnya bagaimana sih, kok jadi tidak karuan". Oei membuka percakapan. Dia meminta penjelasan ikhwal peristiwa 30 September 1965.

"Aduh," ucap Njoto sembari menggeleng-gelengkan kepala. Suaranya lirih. "Kacau, semua kacau. Kok sampai begini jadinya". Keluh Njoto kepada Oei dengan volume pelan. Njoto seperti orang kehilangan harapan.

Njoto adalah tulang punggung PKI. Bersama DN Aidit dan Lukman, ketiganya kerap dijuluki triumvirat. Bila Aidit memikul tanggung jawab politik partai secara umum, dan Lukman diserahi urusan Front Persatuan, Njoto lah yang mengemban tugas agitasi dan propaganda.

Redup bersinarnya PKI bergantung hasil "gorengannya". Di tangan ketiga pemuda revolusioner ini PKI terbukti moncer kembali. PKI yang remuk di tahun 1948, berhasil bangkit. Bahkan menempati urutan empat besar peraupan suara pada pemilu 1955.

"PKI memiliki 3.000.000 anggota setia dan militan. Semuanya tersebar di seluruh Indonesia. Banyak di antaranya dilatih sebagai sukarelawan, "tulis Atmadji Sumarkidjo dalam buku Mendung Diatas Istana Merdeka.

Besarnya kekuatan massa yang dimiliki membuat kepercayaan diri para elit partai berlambang palu arit berlipat. PKI berniat mengikuti jejak pertahanan komunis Cina (RRC). Yaitu mengorganisir milisia.

Dalam laporan buku "Menyingkap Kabut Halim 1965", DN Aidit meminta Bung Karno membentuk angkatan ke V. Seperti laiknya tentara, PKI ingin kaum buruh dan tani juga memanggul senjata.

Permintaan itu menjadi polemik di lingkungan militer, terutama Angkatan Darat yang terang terangan menolak keras. Dan angin politik pun berubah.

Sebuah operasi militer yang dilancarkan pagi buta (30 September 1965) memporak-porandakan segalanya. Tujuh jenderal Angkatan Darat diculik.

Sebelum dicemplungkan ke sumur lubang buaya beberapa di antaranya dihabisi dengan tembakan bedil. PKI pun tertuduh sebagai dalang dibalik gerakan kudeta.

Semua ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di Republik ini. Bahkan orang yang paling awam politik sekalipun ingin mengetahuinya. Dalam sidang kabinet Waperdam II Dr Leimena angkat bicara.

"Kita kini sebenarnya sudah masuk perangkap Nekolim, yakni Let Indonesian fight Indonesian". Perangkap yang menggiring orang Indonesia melawan sesama orang Indonesia.

Ya, perang saudara. Peristiwa 30 September 1965, kata Leimena adalah ulah Nekolim. Operasi Subuh adalah jawaban atas rencana Indonesia hendak meningkatkan konfrontasi, yaitu melaksanakan Konfrensi Anti Pangkalan Militer Asing (KIAPMA).

Soekarno gencar-gencarnya mengibarkan slogan ganyang Malaysia. Slogan Inggris dilinggis, Amerika disetrika terus digelorakan. Konfrontasi ini dipicu langkah Inggris dan Malaysia yang mengumumkan sepihak penyatuan negara.

Pengumuman pada September 1963 itu dituding Bung Karno sebagai pelanggaran perjanjian (Inggris, Filipina dan Indonesia) sekaligus contoh imperialisme Inggris.

Leimena tidak mewakili kelompok kiri. Dia juga bukan simpatisan PKI. Dalam sidang kabinet kedua 6 November 1965 Leimena kembali menegaskan dalang utama G 30S adalah Nekolim.

Tetapi aktor aktornya orang-orang Indonesia sendiri. Orang-orang yang mudah diadu domba. Apalagi setelah terjadi aftermath (akibat busuk red), G 30S, kata Leimena adalah set back nasional dan internasional.

Njoto, satu satunya perwakilan PKI yang hadir di sidang kabinet mengatakan "Memang ada oknum-oknum PKI yang terlibat. Tetapi juga ada oknum-oknum CIA (Central Intelligence Agency)."

Di buku "Dokumen CIA, melacak penggulingan Soekarno dan G30S 1965" mengulas bagaimana Amerika melalui komunikasi surat kawat (telegram) terus memantau situasi politik ekonomi Indonesia.

Amerika berupaya membujuk Soekarno untuk menghentikan konfrontasi dengan Malaysia. Soekarno diminta mengganti jalan negosiasi damai. Karena tidak berhasil, Amerika mencoba merongrong wibawa Soekarno. Caranya dengan mengurangi bantuan militer dan ekonomi.

Sebelumnya bantuan teknis disalurkan kepada kelompok sipil, polisi dan para perwira yang terlibat aktivitas sipil pemberantasan malaria di Indonesia. Kemudian program bantuan militer (MAP) senjata, komunikasi, latihan dukungan dana untuk stabilisasi.

Dari nominal 53,2 dollar USA pada tahun 1963, 85,8 dollar USA tahun 1964, anjlok menjadi 15,0 dollar USA pada tahun 1965. Pengurangan bantuan itu bentuk tekanan Pemerintah Paman Sam terhadap Indonesia.

Meski begitu, Amerika tetap khawatir pengurangan bantuan justru menjadikan Indonesia semakin merapat ke Uni Soviet dan Cina. Amerika ketar-ketir Soekarno mengambil tindakan nekat menasionalisasi aset atau mengusir investasi asing, terutama properti minyak milik Amerika di Indonesia.

Njoto bersuara pelan. Kendati demikian masih bisa didengar. Di buku "Kitab Merah Kumpulan Kisah Kisah Tokoh G 30 S PKI", sebelum angkat bicara Njoto mengeluarkan secarik kertas berisi tulisan tangan.

Wakil Ketua II CC PKI itu berujar "PKI tidak bertanggung jawab atas peristiwa G 30S". "Kejadian itu adalah masalah internal Angkatan Darat". Secara implisit Njoto mengarah pada gerakan Dewan Jendral.

John Roosa, sejarawan University of British Columbia, Kanada dalam buku Dalih Pembunuhan Massal menulis G 30S memang dirancang tanpa sepengetahuan Njoto.

Pemimpin Redaksi Harian Rakyat itu sudah lama dijauhkan dari proses pengambilan keputusan penting di Politbiro PKI. Aidit menganggap Njoto lebih Soekarnois ketimbang Komunis.

Njoto juga teridentifikasi lebih condong ke poros komunis Uni Soviet daripada poros Peking (RRC) yang menjadi garis partai (PKI). Dalam catatan memoarnya, Oei Tjoe Tat menuliskan Njoto sempat menegaskan "Gestapu-stommilingen (orang-orang goblok gestapu)".

Orang-orang goblok yang merugikan komunisme. Di sidang kabinet kedua 6 November 1965 Njoto masih juga terlihat. Dia mengatakan adanya keterlibatan kinderkrankheit Nasionalisme.

Dia menyebut di wilayah Surabaya, Magelang dan Semarang. Kinderkrankheit Nasionalisme adalah golongan nasionalis kanak-kanak yang turut membantai orang-orang komunis.

Robert Cribb dari Monash University dalam karyanya "The Indonesian Killings of 1965-1966: Studies from Java And Bali" menyebut jumlah orang orang komunis (pengurus, kader dan simpatisan) yang dibantai mencapai 1 juta jiwa.

Rincinya 800.000 di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah serta 200.000 di Bali dan Sumatera. Bung Karno nampak lain dari biasanya. Dia terlihat prihatin, tertekan.

Kesantaian, kecerahan dan tawa Bung Karno lenyap. Suasana berganti penuh keprihatinan, kewaswasan, ketegangan. Kadang menyelip kekecewaan mendalam bercampur kemarahan.

"Geharewar (hingar bingar red) ini supaya ditenangkan dulu, baru kemudian diadakan politieke opplosing (pemecahan politik red)".

Oei Tjoe Tat dalam memoarnya menulis Bung Karno mengatakan "Saya tetap akan menjalankan Revolusi met jullie (Dengan kalian red), dengan kabinet ini".

"Mijn chief concern, is het behoud van de Republiek en de Revolutie (Kepentingan pokok saya adalah kelangsungan Republik dan Revolusi red)".

"Jangan ragu dan khawatir saya dalam pengaruh Dewan Revolusi. Saya tidak akan tunduk padanya. Ben je gek dat ik mijn kabinet laat demisioneren (Gila, aku membiarkan kabinetku didemisionerkan red)".

Kata kata Bung Karno lebih ditujukan kepada beberapa anggota pimpinan Angkatan Bersenjata yang turut hadir. Bung Karno berupaya meyakinkan mereka.

Semuanya terdiam. Bung Karno melanjutkan "Musuh terbesar bagi Nekolim: RRT di Utara, Indonesia di Asia Tenggara. Indonesia dan Soekarnonya is the greatest And dangerous spot in Southeast Asia (Tempat terbesar dan paling berbahaya di Asia Tenggara red)".

"Maka taktik mereka, pisahkan Tiongkok dari Indonesia yang sekarang ini benar-benar mulai jadi kenyataan. Jones, Dubes Amerika Serikat di Jakarta telah memberi Rp150 juta untuk mengembangkan the free world ideology (ideologi dunia bebas red)".

"Ada surat penyerahan dan surat tanda terima di tangan saya. Pecunia non olet, geld stinkt niet (uang tak berbau red). Jangan masuk perangkap Nekolim. Anders kunnen wij onze. Revolutie wel oprollen (Kalau tidak gulung tikarlah Revolusi kita red)".

Bung Karno mengatakan peristiwa 30 September bukan hanya persoalan Angkatan Darat. Menurut Bung Karno ada persoalan politik di sana.

Karenanya pemimpin besar revolusi itu meminta ada tinjauan politik secara tenang. Adanya aksi bakar membakar dan bunuh membunuh kata Soekarno menunjukkan ada pihak yang menunggangi.

"Epiloog yang tegen mijn wens in, tegen mijn wens in (menentang kehendakku red) ". Dengan teriak emosional Bung Karno berseru kepada semua pihak untuk tidak memanaskan keadaan.

Revolusi, kata Bung Karno tengah dipertaruhkan. Partai-partai yang turut membakar diancamnya akan dibubarkan. "Aku memang lagi memikirkan pembubaran Partai Komunis Indonesia".

Ungkapnya dalam bahasa Indonesia dan Belanda: "Ketetapan hati saya als jullie mij nog lusten, behoud mij! Zo niet, gooi mij eruit (Kalau kalian masih menyukai saya, pertahankan saya, kalau tidak, lempar saja saya keluar red) ".

Sampai 2-3 kali, Bung Karno berseru "Selamatkanlah Revolusi ini !". 12 Maret 1966 atau sehari setelah penandatanganan Supersemar (11 Maret) atau enam bulan paska operasi 30 September. Angkatan Bersenjata menggelar show of force.

Di atas arak-arakan tank, mobil lapis baja, duduk, berdiri mahasiswa, pemuda pemudi sambil meneriakkan kemenangannya menyingkirkan pemerintahan Soekarno.

Kepada orang-orang terdekatnya Bung Karno menuturkan "Biarlah aku lepaskan jabatan kepresidenanku daripada harus menyaksikan perang saudara, yang nantinya bisa dimanfaatkan kekuatan Nekolim".
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.6832 seconds (0.1#10.140)