Kisah Syekh Musthafa, Pendiri Ponpes Tertua di Sumatera
A
A
A
SYEIKH Musthafa Husein Al-Mandili adalah ulama besar Mandailing yang berjasa mendirikan pondok pesantren (ponpes) Musthafawiyah, Purba Baru, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Sebuah pesantren tertua di Sumatera yang memiliki alumni besar di Tanah Air.
Syekh Musthafa Husein lebih dikenal dengan julukan Tuan Syeikh Purba lahir di Tanobato, Kabupaten Mandailing Natal, pada tahun 1886 atau 1303 Hijriyah dan wafat pada tahun 1955.
Berkat perjuangan dan jasanya, namanya diabadikan di gedung kampus IAIN Sumatera Utara Medan, sekarang menjadi UIN Sumut. Saat kecil Syekh Musthafa Husein bernama Muhammad Yatim. Ia merupakan anak ke 3 dari 8 bersaudara, anak pasangan H Husein Nasution dan Hj Halimah.
Muhammad Yatim memang lahir dari keluarga yang cukup berada. Bapaknya seorang pedagang hasil bumi di Pasar Tanobato. Keadaan masyarakat pada masa kelahirannya banyak yang menyedihkan dan tertekan. Apalagi kala itu Pemerintah kolonial Belanda melakukan sistem paksa penanaman kopi beserta pengangkutannya dari pedalaman ke pantai.
Muhammad Yatim awalnya mengaji di Hutapungkut dalam bimbingan Syekh Abdul Hamid sekitar 2 tahun (1898-1900). Usai mengaji, gurunya Syekh Abdul Hamid menganjurkannya memperdalam ilmu agama ke Mekkah, Saudi Arabia.
Pada tahun 1900 ia pun berangkat ke Mekkah bersamaan dengan musim haji. Pada 5 tahun pertama belajar di Masjidil Haram, Muhammad Yatim merasa belum memperoleh ilmu sehingga dia berencana untuk hijrah belajar ke Mesir.
Semua barang-barang sudah dikemasi dan tinggal menunggu keberangkatan. Namun, saat menunggu keberangkatan dia berjumpa dengan salah seorang pelajar dari Palembang yang juga menuntut ilmu di Masjidil Haram. Muhammad Yatim menuturkan bahwa dia mau meninggalkan Masjidil Harom karena sudah 5 tahun belajar belum merasa mendapatkan ilmu.
Pelajar dari Palembang itu pun mengajak Muhammad Yatim berdiskusi dan membantu menjelaskan pelajaran yang ada di Masjidil Haram. Sejak itu, Muhammad Yatim mulai memahami ilmu yang ada dan akhirnya mencabut keputusannya untuk pindah ke Mesir.
Setelah kembali ke Masjidil Haram, Muhammad Yatim akhirnya mendapat perhatian dari gurunya. Oleh guru-gurunya, namanya diubah menjadi Musthafa yang berarti orang pilihan.
Adapun yang menjadi gurunya ketika belajar di Masjidil Haram di antaranya Syekh Abdul Qadir bin Shobir Al-Mandili, Syekh Ahmad Sumbawa, Syekh Saleh Bafadhil, Syekh Ali Maliki, Syekh Umar Bajuned, Syekh Ahmad Khatib Sambas, Syekh Abdul Rahman, Syekh Umar sato, Syekh M Amin Mardin, Syekh Mukhtar Aththorid Al-Boghori.
Di Mekkah, ia mempelajari dan mendalami ilmu Quran, bahasa Arab, tafsir, fiqih, hadits, tauhid, ilmu falak, balaghah, ‘arudh, qasidah barzanji. Sekembalinya ke Indonesia pada tahun 1912 dipanggil pulang karena orang tuanya meninggal dunia.
Setelah Syekh Musthafa kembali ke bumi Mandailing pada 1912, ia langsung mengajarkan ilmu yang diperolehnya dari Mekkah di mesjid Pasar Tanobato. Di masjid ini, ada pengajian yang dipimpin Syekh Muhammad yang juga pernah belajar di Mekkah. Pengajian itu telah berlangsung kurang lebih 13 tahun dengan pesertanya yang berdatangan dari berbagai desa di Mandailing.
Pada saat pengajian berlangsung, Syekh Muhammad selalu memperkenalkan Musthafa Husein kepada peserta pengajian yang pada masa itu sering disebut wirid-wirid. Syekh Muhammad selalu mengatakan bahwa kita kedatangan seorang guru yang alim dan cakap.
Dan sejalan dengan perkenalan ini Syekh Muhammad juga selalu memberi kesempatan kepada Musthafa Husein untuk memberi tausiyah pengajian. Pengajian yang teratur ini membuat para pesertanya makin meluas dan Musthafa Husein makin masyhur dan makin dikenal masyarakat.
Belakangan dengan bantuan masyarakat diadakanlah pengajian khusus kaum ibu yang waktunya setiap malam Selasa. Sedangkan untuk anak-anak dan pemuda diadakan pada pagi hari.
Seiring waktu berjalan, pengajian yang dipimpin Musthafa semakin ramai. Syekh Muhammad berangsur-angsur pula mengundurkan diri dan mempercayakan sepenuhnya pengajian yang ada kepada Syekh Musthafa Husein.
Namun, pengajian di Masjid Pasar Tanobato itu hanya berlangsung 3 tahun karena Pasar Tanobato terkena musibah banjir besar yang menghanyutkan rumah penduduk pada tahun 1915. Akibat bencana itu salah seorang murid tertua Syekh Musthafa Husein hanyut.
Beruntung murid-murid Syekh Musthafa Husein banyak yang selamat karena beberapa hari sebelum banjir pemilik rumah penampungan murid-murid itu keberatan rumahnya ditumpangi terus menerus oleh anak mengaji.
Karena itu, murid Musthada Husein pindah ke tempat yang lebih jauh dari rumah tumpangan tersebut. Ketika banjir datang, tempat mereka selamat dari banjir dan mereka semua pun selamat.
Pada 25 November 1915, Syekh Musthafa hijrah ke Purba Baru setelah selamat dari bencana banjir, tempat asal keluarganya. Di Purba Baru, pengajian dilanjutkan kembali sebagaimana yang dilakukan di Pasar Tanobato.
Seiring waktu berputar peserta pengajian ternyata makin bertambah dan mesjid yang ada tidak memadai lagi menampung peserta pengajian. Maka atas inisiatif Syekh Musthafa Husein dan dengan bantuan penduduk setempat dibangunlah gedung tempat belajar secara tersendiri di dekat rumahnya di pinggir jalan raya trans Sumatera di tengah-tengah Desa Purba Baru, Kabupaten Mandailing Natal.
Semula rumah Syekh Musthafa Husein berada di dekat masjid, sedikit jauh dari jalan raya. Belakangan Syekh Musthafa merasa rumahnya terlalu sempit dan jauh dari tempat mengaji, lalu ia meminta kepada penduduk supaya dicarikan tanah perumahan di pinggir jalan raya.
Peserta pengajian pun kian bertambah. Tak hanya berdatangan dari desa sekitar, akan tetapi juga dari desa-desa yang jauh. Karena kebanyakan murid yang datang berasal dari keluarga tidak mampu, akhirnya mereka membangun gubuk-gubuk kecil untuk tempat tinggalnya.
Gubuk kecil ini terbuat dari kayu beratap ilalang ini berukuran 2 x 3 meter. Gubuk inilah yang kini dipertahankan dan menjadi ciri khas Ponpes Musthafawiyah Purba Baru, Sumatera Utara meski saat ini atapnya ada yang diganti dengan seng. Ponpes tertua di Sumatera Utara ini kini terus melahirkan ulama dan para dai.
Nama Musthafawiyah artinya madrasah pilihan. Walau tempat pengajian sudah pindah ke gedung tersendiri pada 1931, pengajian di masjid tetap dilaksanakan sebagaimana sebelumnya.
Namun, jadwalnya hanya pagi dan malam hari, sesudah salat Subuh sampai menjelang Duha sekitar jam 07.00 WIB. Kemudian sesudah salat Magrib sampai Isya.
Peserta pengajian ini adalah juga anak-anak penduduk sekitar Desa Purba Baru. Di samping itu, Syekh Musthafa Husein selalu memelihara salat berjamaah di masjid.
Dalam pelaksanaan salat berjamaah ini Syekh Musthafa Husein sangat tertib. Sejak baligh, Syekh Musthafa tidak pernah meninggalkan salat wajib satu waktu pun.
Di pesantren Purba Baru ini para santri tidak hanya mendapatkan pelajaran agama saja, tetapi juga bidang-bidang lain yang nantinya jadi bekal santri di kemudian hari. Para santri laki-laki diwajibkan tinggal di gubuk-gubuk kecil di sekitar pesantren yang mendidik santri agar mampu hidup mandiri. Kini, ribuan santri dari penjuru daerah di Sumatera dan Indonesia menimba ilmu di ponpes ini.
Syekh Musthafa dikenal sebagai guru yang mengajarkan santrinya untuk menjadi pengusaha, pedagang dan petani yang baik dan sukses. Suasana pendidikan yang dikembangkan Syekh Musthafa di Purba Baru sangat menarik masyarakat sekitar untuk mengirimkan anak-anaknya belajar di Musthafawiyah.
Syekh Musthafa Husein terus mengembangkan dan menyiarkan Islam lewat pesantren ini. Pada tahun 1934 setelah mengajar 19 tahun lamanya, Syekh Musthafa menggeluti usaha. Penanganan madrasah dipercayakannya kepada keponakannya yang sekaligus juga kader dan penerusnya yaitu Syekh Abdul Halim Khatib dan menantunya Syekh Ja’far Abdul Wahhab Tanjung.
Dalam bidang usaha ini ia memperluas kebun karet, nenas dan rambutan. Termasuk dalam hal ini pengolahan karet menjadi lateks, usaha pengawetan buah dan rencana pengalengannya. Selain itu ia meneruskan usahanya dalam bidang perdagangan serta tetap mengembangkan pengajian di masjid.
Di dalam pendidikan formal ini ia selalu menekankan kepada murid-muridnya untuk hidup mandiri. Ungkapannya yang selalu dikenang ialah “tuan kecil lebih baik daripada jongos besar”.
Kemudian, dalam hidup ini ia menekankan agar tidak mengharapkan bantuan dan belas kasihan orang lain, apalagi mengharapkan sedekah. Ia menyampaikan nasihat dengan kalimat Batak Mandailing“baen na tuho, borkatan dei” (usaha sendiri lebih baik dan lebih berkah).
Syekh Musthafa mengatakan, hasil usaha sendiri walaupun kecil lebih baik dari bantuan atau pemberian orang lain, walau bantuan atau pemberian orang lain itu lebih besar. Syekh Musthafa juga berpetuah kepada murid-muridnya agar setiap ilmu yang diperoleh supaya diajarkan kepada orang lain.
Syekh Musthafa juga dikenal sebagai ulama yang dihormati Nahdlatul Ulama (NU). Ketika Indonesia merdeka tahun 1945, ia pernah mengumpulkan para ulama ahlussunnah wal jama’ah se-Tapanuli (bagian) Selatan. Di antaranya Syekh Ali Hasan Ahmad, Syekh Baharuddin Thalib Lubis, Nuddin Lubis, dan lain-lain.
Pada tanggal 9 Februari 1947, Nahdlatul Ulama (NU) Sumatera Utara resmi berdiri pertama kali di Kota Padangsidimpuan, Tapanuli Selatan. Syekh Musthafa Husein terpilih menjadi Rais Syuriah pertama dan Syekh Baharuddin Thalib Lubis terpilih sebagai Ketua Tanfidziyah pertama. Pesantren Musthafawiyah Purba Baru menjadi pusat organisasi Nahdlatul Ulama (NU) di Sumatera Utara.
Syekh Musthafa Husein meninggal dunia di Padangsidimpuan dan dimakamkan di Purba Baru pada 16 November 1955. Adapun tampuk kepemimpinan pesantren yang diteruskan oleh putranya Syekh Abdullah Bin Musthafa bin Husein Nasution. Di bawah kepemimpinannya, ponpes Musthafawiyah kian berkembang pesat hingga dipimpin cucunya, Haji Musthafa Bakri Nasution.
Sumber: Wikipedia dan diolah dari berbagai sumber
Syekh Musthafa Husein lebih dikenal dengan julukan Tuan Syeikh Purba lahir di Tanobato, Kabupaten Mandailing Natal, pada tahun 1886 atau 1303 Hijriyah dan wafat pada tahun 1955.
Berkat perjuangan dan jasanya, namanya diabadikan di gedung kampus IAIN Sumatera Utara Medan, sekarang menjadi UIN Sumut. Saat kecil Syekh Musthafa Husein bernama Muhammad Yatim. Ia merupakan anak ke 3 dari 8 bersaudara, anak pasangan H Husein Nasution dan Hj Halimah.
Muhammad Yatim memang lahir dari keluarga yang cukup berada. Bapaknya seorang pedagang hasil bumi di Pasar Tanobato. Keadaan masyarakat pada masa kelahirannya banyak yang menyedihkan dan tertekan. Apalagi kala itu Pemerintah kolonial Belanda melakukan sistem paksa penanaman kopi beserta pengangkutannya dari pedalaman ke pantai.
Muhammad Yatim awalnya mengaji di Hutapungkut dalam bimbingan Syekh Abdul Hamid sekitar 2 tahun (1898-1900). Usai mengaji, gurunya Syekh Abdul Hamid menganjurkannya memperdalam ilmu agama ke Mekkah, Saudi Arabia.
Pada tahun 1900 ia pun berangkat ke Mekkah bersamaan dengan musim haji. Pada 5 tahun pertama belajar di Masjidil Haram, Muhammad Yatim merasa belum memperoleh ilmu sehingga dia berencana untuk hijrah belajar ke Mesir.
Semua barang-barang sudah dikemasi dan tinggal menunggu keberangkatan. Namun, saat menunggu keberangkatan dia berjumpa dengan salah seorang pelajar dari Palembang yang juga menuntut ilmu di Masjidil Haram. Muhammad Yatim menuturkan bahwa dia mau meninggalkan Masjidil Harom karena sudah 5 tahun belajar belum merasa mendapatkan ilmu.
Pelajar dari Palembang itu pun mengajak Muhammad Yatim berdiskusi dan membantu menjelaskan pelajaran yang ada di Masjidil Haram. Sejak itu, Muhammad Yatim mulai memahami ilmu yang ada dan akhirnya mencabut keputusannya untuk pindah ke Mesir.
Setelah kembali ke Masjidil Haram, Muhammad Yatim akhirnya mendapat perhatian dari gurunya. Oleh guru-gurunya, namanya diubah menjadi Musthafa yang berarti orang pilihan.
Adapun yang menjadi gurunya ketika belajar di Masjidil Haram di antaranya Syekh Abdul Qadir bin Shobir Al-Mandili, Syekh Ahmad Sumbawa, Syekh Saleh Bafadhil, Syekh Ali Maliki, Syekh Umar Bajuned, Syekh Ahmad Khatib Sambas, Syekh Abdul Rahman, Syekh Umar sato, Syekh M Amin Mardin, Syekh Mukhtar Aththorid Al-Boghori.
Di Mekkah, ia mempelajari dan mendalami ilmu Quran, bahasa Arab, tafsir, fiqih, hadits, tauhid, ilmu falak, balaghah, ‘arudh, qasidah barzanji. Sekembalinya ke Indonesia pada tahun 1912 dipanggil pulang karena orang tuanya meninggal dunia.
Setelah Syekh Musthafa kembali ke bumi Mandailing pada 1912, ia langsung mengajarkan ilmu yang diperolehnya dari Mekkah di mesjid Pasar Tanobato. Di masjid ini, ada pengajian yang dipimpin Syekh Muhammad yang juga pernah belajar di Mekkah. Pengajian itu telah berlangsung kurang lebih 13 tahun dengan pesertanya yang berdatangan dari berbagai desa di Mandailing.
Pada saat pengajian berlangsung, Syekh Muhammad selalu memperkenalkan Musthafa Husein kepada peserta pengajian yang pada masa itu sering disebut wirid-wirid. Syekh Muhammad selalu mengatakan bahwa kita kedatangan seorang guru yang alim dan cakap.
Dan sejalan dengan perkenalan ini Syekh Muhammad juga selalu memberi kesempatan kepada Musthafa Husein untuk memberi tausiyah pengajian. Pengajian yang teratur ini membuat para pesertanya makin meluas dan Musthafa Husein makin masyhur dan makin dikenal masyarakat.
Belakangan dengan bantuan masyarakat diadakanlah pengajian khusus kaum ibu yang waktunya setiap malam Selasa. Sedangkan untuk anak-anak dan pemuda diadakan pada pagi hari.
Seiring waktu berjalan, pengajian yang dipimpin Musthafa semakin ramai. Syekh Muhammad berangsur-angsur pula mengundurkan diri dan mempercayakan sepenuhnya pengajian yang ada kepada Syekh Musthafa Husein.
Namun, pengajian di Masjid Pasar Tanobato itu hanya berlangsung 3 tahun karena Pasar Tanobato terkena musibah banjir besar yang menghanyutkan rumah penduduk pada tahun 1915. Akibat bencana itu salah seorang murid tertua Syekh Musthafa Husein hanyut.
Beruntung murid-murid Syekh Musthafa Husein banyak yang selamat karena beberapa hari sebelum banjir pemilik rumah penampungan murid-murid itu keberatan rumahnya ditumpangi terus menerus oleh anak mengaji.
Karena itu, murid Musthada Husein pindah ke tempat yang lebih jauh dari rumah tumpangan tersebut. Ketika banjir datang, tempat mereka selamat dari banjir dan mereka semua pun selamat.
Pada 25 November 1915, Syekh Musthafa hijrah ke Purba Baru setelah selamat dari bencana banjir, tempat asal keluarganya. Di Purba Baru, pengajian dilanjutkan kembali sebagaimana yang dilakukan di Pasar Tanobato.
Seiring waktu berputar peserta pengajian ternyata makin bertambah dan mesjid yang ada tidak memadai lagi menampung peserta pengajian. Maka atas inisiatif Syekh Musthafa Husein dan dengan bantuan penduduk setempat dibangunlah gedung tempat belajar secara tersendiri di dekat rumahnya di pinggir jalan raya trans Sumatera di tengah-tengah Desa Purba Baru, Kabupaten Mandailing Natal.
Semula rumah Syekh Musthafa Husein berada di dekat masjid, sedikit jauh dari jalan raya. Belakangan Syekh Musthafa merasa rumahnya terlalu sempit dan jauh dari tempat mengaji, lalu ia meminta kepada penduduk supaya dicarikan tanah perumahan di pinggir jalan raya.
Peserta pengajian pun kian bertambah. Tak hanya berdatangan dari desa sekitar, akan tetapi juga dari desa-desa yang jauh. Karena kebanyakan murid yang datang berasal dari keluarga tidak mampu, akhirnya mereka membangun gubuk-gubuk kecil untuk tempat tinggalnya.
Gubuk kecil ini terbuat dari kayu beratap ilalang ini berukuran 2 x 3 meter. Gubuk inilah yang kini dipertahankan dan menjadi ciri khas Ponpes Musthafawiyah Purba Baru, Sumatera Utara meski saat ini atapnya ada yang diganti dengan seng. Ponpes tertua di Sumatera Utara ini kini terus melahirkan ulama dan para dai.
Nama Musthafawiyah artinya madrasah pilihan. Walau tempat pengajian sudah pindah ke gedung tersendiri pada 1931, pengajian di masjid tetap dilaksanakan sebagaimana sebelumnya.
Namun, jadwalnya hanya pagi dan malam hari, sesudah salat Subuh sampai menjelang Duha sekitar jam 07.00 WIB. Kemudian sesudah salat Magrib sampai Isya.
Peserta pengajian ini adalah juga anak-anak penduduk sekitar Desa Purba Baru. Di samping itu, Syekh Musthafa Husein selalu memelihara salat berjamaah di masjid.
Dalam pelaksanaan salat berjamaah ini Syekh Musthafa Husein sangat tertib. Sejak baligh, Syekh Musthafa tidak pernah meninggalkan salat wajib satu waktu pun.
Di pesantren Purba Baru ini para santri tidak hanya mendapatkan pelajaran agama saja, tetapi juga bidang-bidang lain yang nantinya jadi bekal santri di kemudian hari. Para santri laki-laki diwajibkan tinggal di gubuk-gubuk kecil di sekitar pesantren yang mendidik santri agar mampu hidup mandiri. Kini, ribuan santri dari penjuru daerah di Sumatera dan Indonesia menimba ilmu di ponpes ini.
Syekh Musthafa dikenal sebagai guru yang mengajarkan santrinya untuk menjadi pengusaha, pedagang dan petani yang baik dan sukses. Suasana pendidikan yang dikembangkan Syekh Musthafa di Purba Baru sangat menarik masyarakat sekitar untuk mengirimkan anak-anaknya belajar di Musthafawiyah.
Syekh Musthafa Husein terus mengembangkan dan menyiarkan Islam lewat pesantren ini. Pada tahun 1934 setelah mengajar 19 tahun lamanya, Syekh Musthafa menggeluti usaha. Penanganan madrasah dipercayakannya kepada keponakannya yang sekaligus juga kader dan penerusnya yaitu Syekh Abdul Halim Khatib dan menantunya Syekh Ja’far Abdul Wahhab Tanjung.
Dalam bidang usaha ini ia memperluas kebun karet, nenas dan rambutan. Termasuk dalam hal ini pengolahan karet menjadi lateks, usaha pengawetan buah dan rencana pengalengannya. Selain itu ia meneruskan usahanya dalam bidang perdagangan serta tetap mengembangkan pengajian di masjid.
Di dalam pendidikan formal ini ia selalu menekankan kepada murid-muridnya untuk hidup mandiri. Ungkapannya yang selalu dikenang ialah “tuan kecil lebih baik daripada jongos besar”.
Kemudian, dalam hidup ini ia menekankan agar tidak mengharapkan bantuan dan belas kasihan orang lain, apalagi mengharapkan sedekah. Ia menyampaikan nasihat dengan kalimat Batak Mandailing“baen na tuho, borkatan dei” (usaha sendiri lebih baik dan lebih berkah).
Syekh Musthafa mengatakan, hasil usaha sendiri walaupun kecil lebih baik dari bantuan atau pemberian orang lain, walau bantuan atau pemberian orang lain itu lebih besar. Syekh Musthafa juga berpetuah kepada murid-muridnya agar setiap ilmu yang diperoleh supaya diajarkan kepada orang lain.
Syekh Musthafa juga dikenal sebagai ulama yang dihormati Nahdlatul Ulama (NU). Ketika Indonesia merdeka tahun 1945, ia pernah mengumpulkan para ulama ahlussunnah wal jama’ah se-Tapanuli (bagian) Selatan. Di antaranya Syekh Ali Hasan Ahmad, Syekh Baharuddin Thalib Lubis, Nuddin Lubis, dan lain-lain.
Pada tanggal 9 Februari 1947, Nahdlatul Ulama (NU) Sumatera Utara resmi berdiri pertama kali di Kota Padangsidimpuan, Tapanuli Selatan. Syekh Musthafa Husein terpilih menjadi Rais Syuriah pertama dan Syekh Baharuddin Thalib Lubis terpilih sebagai Ketua Tanfidziyah pertama. Pesantren Musthafawiyah Purba Baru menjadi pusat organisasi Nahdlatul Ulama (NU) di Sumatera Utara.
Syekh Musthafa Husein meninggal dunia di Padangsidimpuan dan dimakamkan di Purba Baru pada 16 November 1955. Adapun tampuk kepemimpinan pesantren yang diteruskan oleh putranya Syekh Abdullah Bin Musthafa bin Husein Nasution. Di bawah kepemimpinannya, ponpes Musthafawiyah kian berkembang pesat hingga dipimpin cucunya, Haji Musthafa Bakri Nasution.
Sumber: Wikipedia dan diolah dari berbagai sumber
(wib)