Kisah John Lie, Selundupkan Senjata dengan Kapal Pembangkang
A
A
A
Perjuangan Laksamana Muda (Purn) John Lie alias Jahja Daniel Dharma, pahlawan nasional pertama berlatar belakang etnis Tionghoa tidak ubahnya seperti kisah di film-film superhero. Berkali-kali diblokade Belanda dengan rentetan senjata dan meriam saat menjalankan misi, John Lie selalu berhasil menerobosnya.
Beberapa tokoh superhero di film-film Hollywood tidak bisa dilepaskan dari kehebatan kendaraannya. Kisah nyata John Lie juga tidak bisa dipisahkan dari kapalnya The Outlaw, yang bisa diartikan pembangkang atau pemberontak. Entah apa yang membuat John Lie menamai kapal super cepat berkode PPB 58 LB itu sebagai The Outlaw. Namun, seperti namanya pula, kapal itu lah yang menemani John Lie bergerilya di laut mempecundangi Belanda berkali-kali. Sejarah mencatat paling sedikit 15 kali.
Bersama kapal itu, John Lie dan para awak kapalnya berhasil dalam banyak mission impossible. Mereka menyelundupkan senjata, memasok kebutuhan logistik bahan bakar, obat-obatan, dan bahan pangan, hasil barter dengan karet dan hasil bumi lainnya. Semua itu untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia (RI) yang masih saja diusik oleh Belanda.
John Lie akhirnya dikenal sebagai tokoh sentral dalam operasi penyelundupan senjata bagi perjuangan RI dari Asia Tenggara. Namun, masa keemasan operasi penyelundupan senjata yang dilakukannya, tercatat pada akhir tahun 1947. Di buku Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran sejak Nusantara sampai Indonesia yang ditulis oleh Iwan Santosa, sebagaimana disitir dari artikel di majalah Life edisi 26 September 1964 yang ditulis Roy Rowan disebutkan, nilainya mencapai USD3 juta per bulan. Yang diselundupkan tak hanya senapan, tapi juga pesawat angkut.
John Lie lahir di Menado pada tahun 1911 dengan nama lengkap John Lie Tjeng Tjoan dari pasangan Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio. Dia mengawali karier maritim tahun 1929. Usianya baru 18 tahun saat bekerja sebagai kelasi dek di maskapai pelayaran Koninlijk Paketvaart Maatschapij. Di sinilah dia mendapatkan kursus navigasi. Pada Februari 1942 hingga 1944, saat Perang Dunia II, dia bertugas di Logistic Task Force Royan Navy atau Satuan Tugas Logistik Angkatan Laut Inggris. Tugasnya melayani pasokan kapal-kapal Sekutu yang tiba dari Australia.
Selama di Royal Navy, John Lie mendapat banyak latihan kelautan di pangkalan Angkatan Laut Inggris di Teluk Persia. Dia memanfaatkan kesempatan itu untuk meningkatkan keahlian dalam mengoperasikan beragam senjata, pengenalan taktik perang di laut, sistem komunikasi seperti Morse, pengenalan jenis-jenis kapal Sekutu, dan pengetahuan mengenai ranjau laut. Keahliannya ini, kelak membuat John Lie dan kapalnya "si pembangkang" tak terkalahkan.
Saat Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, John Lie masih bertugas di Teluk Persia. Informasi itu sampai ke telinganya dan para pelaut Indonesia. Semangat mereka pun tersulut untuk segera pulang, agar dapat berbakti untuk Tanah Air. Keinginan itu akhirnya terwujud di bulan Juni 1946.
Sampai di Tanah Air, John Lie melamar ke Angkatan Laut RI (ALRI) yang baru saja dibentuk. Kepala Staf Umum ALRI Laksamana III M Pardi yang menemuinya saat itu, sepertinya tahu John Lie punya banyak pengalaman. Lantas, dia menanyakan pangkat yang diinginkan John Lie. Namun dia dengan rendah hati mengatakan, ”Saya datang bukan untuk cari pangkat. Saya datang ke sini mau berjuang di medan laut karena hanya inilah yang saya miliki, yaitu pengalaman dan pengetahuan kelautan yang sekadarnya.“
John Lie akhirnya menerima surat keputusan dengan pangkat Kelasi III. Baru bertugas, para pimpinan ALRI telah memberi kepercayaan kepadanya untuk bertugas di pangkalan besar di pantai utara Pulau Jawa. John Lie menolak. Dia malah memohon agar ditempatkan di Pelabuhan Cilacap. Pelabuhan tersebut dinilai memiliki nilai taktis dan strategis untuk alternatif keluar masuk barang dan personel serta gerilya laut. Pelabuhan Cilacap juga menjadi alternatif jalur ekspor gula dan karet untuk membiayai perjuangan RI. Permohonannya dikabulkan. John Lie mengerjakan tugas-tugasnya yang tidak mudah dengan baik. Salah satunya, membersihkan ranjau laut.
Aksi John Lie bertualang di Asia Tenggara sehingga dikenal sebagai penyelundup senjata bagi Indonesia dimulai secara tidak sengaja ikut kapal Empire Ten By di Cilacap. Kapal itu berlayar dan tiba di Singapura pada Agustus 1947. Agresi Pertama baru terjadi pada 21 Juli 1947, ketika Belanda menyerbu kedudukan RI setelah Perjanjian Linggarjati.
John Lie tiba di Singapura pada Minggu pertama Agustus 1947. Saat itu, kepala urusan pertahanan di luar negeri membeli sejumlah kapal cepat. Mereka menyaring pelaut untuk mengawaki satuan kapal cepat yang digunakan memasok kebutuhan perlengkapan perjuangan di Indonesia. Kapal diarahkan untuk merapat di pantai timur Sumatera Utara dan Aceh. John Lie termasuk salah satu perwira yang lolos seleksi dan dipercaya memimpin sebuah kapal cepat yang dinamainya The Outlaw. Dia merekrut sendiri sejumlah awaknya.
Operasi perdana The Outlaw melayari rute Singapura, Labuan Bilik dan Port Swettenham pada bulan Oktober 1947. Di Pulau Pisang, di Selat Johor, kapal pembangkang itu memuat perlengkapan militer berupa senjata semi otomatis, beberapa ribu butir peluru dan perbekalan secukupnya. Saat itu, The Outlaw mengibarkan bendera Inggris mengangkat sauh pukul 04.00 dari Pulau Pisang menuju Labuan Bilik.
Setelah satu jam berlayar dan memasuki laut lepas, mereka dikejar patroli Koninlijk Marine. Kapal pembangkang itu pun putar haluan kembali ke Selat Johor menuju Pulau Kukup. Dari sana perjalanan diteruskan menyusur pesisir Semenanjung Malaya ke gugusan karang Een Vadem Bank di sebelah utara Port Swettenham, yang kini disebut Port Klang.
Dari Een Vadem Bank, The Outlaw berangkat dengan mengibarkan bendera Republik Tiongkok menuju Labuhan Bilik di pesisir timur Sumatera. Saat merapat ke Labuhan Bilik pada pukul 09.00 pagi, tiba-tiba terlihat pesawat Belanda dari pangkalan udara Polonia dekat Medan, menyusuri pantai. Ternyata mereka memburu The Outlaw. Dari tanda-tanda yang diberikan, Belanda meminta kapal meninggalkan delta Labuan Bilik. Namun, The Outlaw menjawab dengan Morse, kapal tidak bisa bergerak karena sedang kandas.
Pesawat Belanda terbang merendah, hingga sekitar 50 meter dari atas kapal. John Lie dan awak kapal melihat jelas awak pesawat dan dua juru senjata mengarahkan senapan mesin. Namun, tiba-tiba pesawat itu pergi. The Outlaw akhirnya bisa meneruskan perjalanan dan membongkar muatan senjata dan amunisi di Labuan Bilik. Muatan itu diserahkan kepada Bupati Usman Effendi dan komandan setempat, Abu Salam.
The Outlaw juga memuat hasil bumi karet Sumatera di Labuan Bilik untuk dijual ke Malaya. Mereka berangkat kembali ke Port Swettenham seminggu kemudian. John Lie dan teman-temannya mendirikan pangkalan gelap untuk memasok kebutuhan logistik bahan bakar, senjata, dan bahan pangan untuk kebutuhan revolusi Indonesia.
Dunia pun tercengang pada kesuksesan The Outlaw menembus blokade Belanda. Stasiun Radio BBC di London dalam pemberitaannya bahkan menjuluki kapal itu The Black Speedboat, laksana kapal hantu yang berhasil melintasi lautan. Pemberitaan ini ternyata membuat patroli Angkatan Laut Belanda yang berpangkalan di Pelabuhan Belawan memperketat penjagaan di Selat Malaka.
Usaha Belanda tak berdampak. Pada misi keempatnya di bulan Januari 1948, The Outlaw, si kapal pembangkang tetap lolos dari tembakan kapal Belanda. Saat itu, mereka membawa berton-ton lembaran karet mentah yang akan dijual ke Semenanjung Malaya. The Outlaw sukses kembali ke Port Swettenham pukul 06.00.
Belanda makin geram. Mereka akhirnya memprovokasi Inggris yang berkuasa di Malaya saat itu. Tahun 1948, Inggris sedang memperketat gerak-gerik warga dan orang asing akibat pemberontakan Komunis di Semenanjung Malaya yang dikenal dengan Malaya Emergency. The Outlaw yang berulang kali bergerak dari Sumatra ke Malaya pun turut diperiksa. Setelah menjalani proses yang cukup merepotkan, John Lie bersama awak kapal pembangkang dibebaskan. Mereka kembali bergerilya di laut.
Lagi-lagi usaha Belanda gagal. Saat The Outlaw berangkat dari Port Swettenham ke Labuan Bilik, kapal perang Belanda sudah menunggu. Kedatangannya disambut tembakan meriam hingga kapal Belanda kehabisan peluru meriam. Lalu bagaimana nasib The Outlaw? Mengejutkan, kapal pembangkang ini lagi-lagi lolos.
Keesokan harinya, The Outlaw yang sudah hampir kehabisan logistik berangkat ke Johor dekat Singapura. Dalam masa sulit itu, seorang pria, Dr Saroso, menyampaikan cek senilai 5.000 Straits Dollar, mata uang yang dipakai di Singapura saat itu. Ternyata itu titipan dari Wakil Presiden Mohammad Hatta. Bersama cek itu, Hatta menitipkan pesan, ”Kiriman senjata dan peluru, semua sudah diterima dengan selamat.” Perhatian Hatta membuat John Lie dan awak kapal bangga dan bersemangat.
The Outlaw semakin terkenal dan tantangan yang mereka hadapi pun semakin besar. Sebab, Belanda kian memperketat pengawasan pelayaran Labuan Bilik-Malaya. John Lie lalu menerapkan taktik baru. Ia memindahkan operasi ke Tamiang, Rajaulak, pantai timur Aceh, pada bulan Mei 1948 hingga Januari 1949.
Dalam misi-misi berbahayanya, The Outlaw bersama John Lie kembali berkali-kali lolos dari maut dan gempuran Belanda. Salah satu misinya dari Phuket ke Aceh menjadi sangat dikenal. Kala itu, mereka harus memasok senjata dari Phuket di Siam, yang saat ini dikenal sebagai Thailand ke pantai timur Aceh.
Saat berada di Phuket, wartawan Majalah Life, Roy Rowan mewawancarai John Lie dan awak kapalnya. Di artikel yang terbit pada edisi ke-26 bulan September 1949 halaman 49-52 itu, Rowan menuliskan petualangan John Lie bersama The Outlaw menyelundupkan senjata. John Lie disebut mempunyai jaringan dalam penyelundupan senjata dari Filipina hingga India. Dia juga disebut mendapat dukungan orang-orang Amerika, Eropa, dan bangsa-bangsa di Asia yang bersimpati pada kemerdekaan Indonesia.
Namun, selain keahliannya menerobos blokade Belanda, artikel Rowan berjudul Guns-Bibles-are Smuggled to Indonesia juga menyoroti dua Alkitab di kabin The Outlaw. Satu berbahasa Inggris dan satu lagi bahasa Belanda. Di ruang kemudi kapal itu dipenuhi kutipan ayat Alkitab. Artikel dilengkapi foto John Lie di ruang kemudi yang memegang Alkitab. Di sebelahnya lagi terdapat tulisan kutipan ayat Alkitab dalam bahasa Inggris yang artinya, “Datanglah pada-Ku hai kamu yang letih dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu.”
Dalam memoar John Lie yang disitir Iwan Sentosa di Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran, John Lie memang selalu mengandalkan Tuhan dengan doa-doanya dan rajin membaca Alkitab. Setiap misi yang dia lakukan bersama awak kapal The Outlaw selalu didoakannya. Karena itu dia yakin, The Outlaw bisa lolos berkali-kali dari blokade Belanda karena pertolongan Tuhan.
Di akhir artikelnya, Roy Rowan menyebutkan dalam misi penyelundupan senjata, John Lie dibantu oleh Izak Mahdi, mantan mahasiswa kedokteran, yang menjadi perwakilan RI di Thailand. Izak Mahdi harus berhubungan dengan broker senjata dari China dan Thailand. Menurut Mahdi, itu adalah bisnis mengerikan. Namun bagi John Lie, itu bukan bisnis mengerikan. Itu adalah kehendak Tuhan. Dia pun menegaskan, sebelum Belanda pulang ke negaranya, kapalnya akan terus berlayar.
John Lie resmi meninggalkan The Outlaw pada 30 September 1949. Setelah itu, dia masih terlibat dalam penumpasan DI/TII Kartosuwiryo, RMS, dan PRRI-Permesta. Suami dari Pendeta Margaretha Dharma Angkuw ini meninggal dunia pada 27 Agustus 1988 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Sementara istrinya meninggal pada 31 Oktober 2015. Pada 14 Desember 2014, Pemerintah RI memberikan nama salah satu kapal perang RI, KRI John Lie dengan nomor lambung 358.
Sumber:
Iwan Santosa, Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran sejak Nusantara sampai Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2014.
Junus Jahja, Peranakan Idealis dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya, Jakarta: Penerbit Buku Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2002.
Roy Rowan, artikel berjudul “Guns-Bibles-are Smuggled to Indonesia”, Majalah Life edisi 26 September 1949.
Beberapa tokoh superhero di film-film Hollywood tidak bisa dilepaskan dari kehebatan kendaraannya. Kisah nyata John Lie juga tidak bisa dipisahkan dari kapalnya The Outlaw, yang bisa diartikan pembangkang atau pemberontak. Entah apa yang membuat John Lie menamai kapal super cepat berkode PPB 58 LB itu sebagai The Outlaw. Namun, seperti namanya pula, kapal itu lah yang menemani John Lie bergerilya di laut mempecundangi Belanda berkali-kali. Sejarah mencatat paling sedikit 15 kali.
Bersama kapal itu, John Lie dan para awak kapalnya berhasil dalam banyak mission impossible. Mereka menyelundupkan senjata, memasok kebutuhan logistik bahan bakar, obat-obatan, dan bahan pangan, hasil barter dengan karet dan hasil bumi lainnya. Semua itu untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia (RI) yang masih saja diusik oleh Belanda.
John Lie akhirnya dikenal sebagai tokoh sentral dalam operasi penyelundupan senjata bagi perjuangan RI dari Asia Tenggara. Namun, masa keemasan operasi penyelundupan senjata yang dilakukannya, tercatat pada akhir tahun 1947. Di buku Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran sejak Nusantara sampai Indonesia yang ditulis oleh Iwan Santosa, sebagaimana disitir dari artikel di majalah Life edisi 26 September 1964 yang ditulis Roy Rowan disebutkan, nilainya mencapai USD3 juta per bulan. Yang diselundupkan tak hanya senapan, tapi juga pesawat angkut.
John Lie lahir di Menado pada tahun 1911 dengan nama lengkap John Lie Tjeng Tjoan dari pasangan Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio. Dia mengawali karier maritim tahun 1929. Usianya baru 18 tahun saat bekerja sebagai kelasi dek di maskapai pelayaran Koninlijk Paketvaart Maatschapij. Di sinilah dia mendapatkan kursus navigasi. Pada Februari 1942 hingga 1944, saat Perang Dunia II, dia bertugas di Logistic Task Force Royan Navy atau Satuan Tugas Logistik Angkatan Laut Inggris. Tugasnya melayani pasokan kapal-kapal Sekutu yang tiba dari Australia.
Selama di Royal Navy, John Lie mendapat banyak latihan kelautan di pangkalan Angkatan Laut Inggris di Teluk Persia. Dia memanfaatkan kesempatan itu untuk meningkatkan keahlian dalam mengoperasikan beragam senjata, pengenalan taktik perang di laut, sistem komunikasi seperti Morse, pengenalan jenis-jenis kapal Sekutu, dan pengetahuan mengenai ranjau laut. Keahliannya ini, kelak membuat John Lie dan kapalnya "si pembangkang" tak terkalahkan.
Saat Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, John Lie masih bertugas di Teluk Persia. Informasi itu sampai ke telinganya dan para pelaut Indonesia. Semangat mereka pun tersulut untuk segera pulang, agar dapat berbakti untuk Tanah Air. Keinginan itu akhirnya terwujud di bulan Juni 1946.
Sampai di Tanah Air, John Lie melamar ke Angkatan Laut RI (ALRI) yang baru saja dibentuk. Kepala Staf Umum ALRI Laksamana III M Pardi yang menemuinya saat itu, sepertinya tahu John Lie punya banyak pengalaman. Lantas, dia menanyakan pangkat yang diinginkan John Lie. Namun dia dengan rendah hati mengatakan, ”Saya datang bukan untuk cari pangkat. Saya datang ke sini mau berjuang di medan laut karena hanya inilah yang saya miliki, yaitu pengalaman dan pengetahuan kelautan yang sekadarnya.“
John Lie akhirnya menerima surat keputusan dengan pangkat Kelasi III. Baru bertugas, para pimpinan ALRI telah memberi kepercayaan kepadanya untuk bertugas di pangkalan besar di pantai utara Pulau Jawa. John Lie menolak. Dia malah memohon agar ditempatkan di Pelabuhan Cilacap. Pelabuhan tersebut dinilai memiliki nilai taktis dan strategis untuk alternatif keluar masuk barang dan personel serta gerilya laut. Pelabuhan Cilacap juga menjadi alternatif jalur ekspor gula dan karet untuk membiayai perjuangan RI. Permohonannya dikabulkan. John Lie mengerjakan tugas-tugasnya yang tidak mudah dengan baik. Salah satunya, membersihkan ranjau laut.
Aksi John Lie bertualang di Asia Tenggara sehingga dikenal sebagai penyelundup senjata bagi Indonesia dimulai secara tidak sengaja ikut kapal Empire Ten By di Cilacap. Kapal itu berlayar dan tiba di Singapura pada Agustus 1947. Agresi Pertama baru terjadi pada 21 Juli 1947, ketika Belanda menyerbu kedudukan RI setelah Perjanjian Linggarjati.
John Lie tiba di Singapura pada Minggu pertama Agustus 1947. Saat itu, kepala urusan pertahanan di luar negeri membeli sejumlah kapal cepat. Mereka menyaring pelaut untuk mengawaki satuan kapal cepat yang digunakan memasok kebutuhan perlengkapan perjuangan di Indonesia. Kapal diarahkan untuk merapat di pantai timur Sumatera Utara dan Aceh. John Lie termasuk salah satu perwira yang lolos seleksi dan dipercaya memimpin sebuah kapal cepat yang dinamainya The Outlaw. Dia merekrut sendiri sejumlah awaknya.
Operasi perdana The Outlaw melayari rute Singapura, Labuan Bilik dan Port Swettenham pada bulan Oktober 1947. Di Pulau Pisang, di Selat Johor, kapal pembangkang itu memuat perlengkapan militer berupa senjata semi otomatis, beberapa ribu butir peluru dan perbekalan secukupnya. Saat itu, The Outlaw mengibarkan bendera Inggris mengangkat sauh pukul 04.00 dari Pulau Pisang menuju Labuan Bilik.
Setelah satu jam berlayar dan memasuki laut lepas, mereka dikejar patroli Koninlijk Marine. Kapal pembangkang itu pun putar haluan kembali ke Selat Johor menuju Pulau Kukup. Dari sana perjalanan diteruskan menyusur pesisir Semenanjung Malaya ke gugusan karang Een Vadem Bank di sebelah utara Port Swettenham, yang kini disebut Port Klang.
Dari Een Vadem Bank, The Outlaw berangkat dengan mengibarkan bendera Republik Tiongkok menuju Labuhan Bilik di pesisir timur Sumatera. Saat merapat ke Labuhan Bilik pada pukul 09.00 pagi, tiba-tiba terlihat pesawat Belanda dari pangkalan udara Polonia dekat Medan, menyusuri pantai. Ternyata mereka memburu The Outlaw. Dari tanda-tanda yang diberikan, Belanda meminta kapal meninggalkan delta Labuan Bilik. Namun, The Outlaw menjawab dengan Morse, kapal tidak bisa bergerak karena sedang kandas.
Pesawat Belanda terbang merendah, hingga sekitar 50 meter dari atas kapal. John Lie dan awak kapal melihat jelas awak pesawat dan dua juru senjata mengarahkan senapan mesin. Namun, tiba-tiba pesawat itu pergi. The Outlaw akhirnya bisa meneruskan perjalanan dan membongkar muatan senjata dan amunisi di Labuan Bilik. Muatan itu diserahkan kepada Bupati Usman Effendi dan komandan setempat, Abu Salam.
The Outlaw juga memuat hasil bumi karet Sumatera di Labuan Bilik untuk dijual ke Malaya. Mereka berangkat kembali ke Port Swettenham seminggu kemudian. John Lie dan teman-temannya mendirikan pangkalan gelap untuk memasok kebutuhan logistik bahan bakar, senjata, dan bahan pangan untuk kebutuhan revolusi Indonesia.
Dunia pun tercengang pada kesuksesan The Outlaw menembus blokade Belanda. Stasiun Radio BBC di London dalam pemberitaannya bahkan menjuluki kapal itu The Black Speedboat, laksana kapal hantu yang berhasil melintasi lautan. Pemberitaan ini ternyata membuat patroli Angkatan Laut Belanda yang berpangkalan di Pelabuhan Belawan memperketat penjagaan di Selat Malaka.
Usaha Belanda tak berdampak. Pada misi keempatnya di bulan Januari 1948, The Outlaw, si kapal pembangkang tetap lolos dari tembakan kapal Belanda. Saat itu, mereka membawa berton-ton lembaran karet mentah yang akan dijual ke Semenanjung Malaya. The Outlaw sukses kembali ke Port Swettenham pukul 06.00.
Belanda makin geram. Mereka akhirnya memprovokasi Inggris yang berkuasa di Malaya saat itu. Tahun 1948, Inggris sedang memperketat gerak-gerik warga dan orang asing akibat pemberontakan Komunis di Semenanjung Malaya yang dikenal dengan Malaya Emergency. The Outlaw yang berulang kali bergerak dari Sumatra ke Malaya pun turut diperiksa. Setelah menjalani proses yang cukup merepotkan, John Lie bersama awak kapal pembangkang dibebaskan. Mereka kembali bergerilya di laut.
Lagi-lagi usaha Belanda gagal. Saat The Outlaw berangkat dari Port Swettenham ke Labuan Bilik, kapal perang Belanda sudah menunggu. Kedatangannya disambut tembakan meriam hingga kapal Belanda kehabisan peluru meriam. Lalu bagaimana nasib The Outlaw? Mengejutkan, kapal pembangkang ini lagi-lagi lolos.
Keesokan harinya, The Outlaw yang sudah hampir kehabisan logistik berangkat ke Johor dekat Singapura. Dalam masa sulit itu, seorang pria, Dr Saroso, menyampaikan cek senilai 5.000 Straits Dollar, mata uang yang dipakai di Singapura saat itu. Ternyata itu titipan dari Wakil Presiden Mohammad Hatta. Bersama cek itu, Hatta menitipkan pesan, ”Kiriman senjata dan peluru, semua sudah diterima dengan selamat.” Perhatian Hatta membuat John Lie dan awak kapal bangga dan bersemangat.
The Outlaw semakin terkenal dan tantangan yang mereka hadapi pun semakin besar. Sebab, Belanda kian memperketat pengawasan pelayaran Labuan Bilik-Malaya. John Lie lalu menerapkan taktik baru. Ia memindahkan operasi ke Tamiang, Rajaulak, pantai timur Aceh, pada bulan Mei 1948 hingga Januari 1949.
Dalam misi-misi berbahayanya, The Outlaw bersama John Lie kembali berkali-kali lolos dari maut dan gempuran Belanda. Salah satu misinya dari Phuket ke Aceh menjadi sangat dikenal. Kala itu, mereka harus memasok senjata dari Phuket di Siam, yang saat ini dikenal sebagai Thailand ke pantai timur Aceh.
Saat berada di Phuket, wartawan Majalah Life, Roy Rowan mewawancarai John Lie dan awak kapalnya. Di artikel yang terbit pada edisi ke-26 bulan September 1949 halaman 49-52 itu, Rowan menuliskan petualangan John Lie bersama The Outlaw menyelundupkan senjata. John Lie disebut mempunyai jaringan dalam penyelundupan senjata dari Filipina hingga India. Dia juga disebut mendapat dukungan orang-orang Amerika, Eropa, dan bangsa-bangsa di Asia yang bersimpati pada kemerdekaan Indonesia.
Namun, selain keahliannya menerobos blokade Belanda, artikel Rowan berjudul Guns-Bibles-are Smuggled to Indonesia juga menyoroti dua Alkitab di kabin The Outlaw. Satu berbahasa Inggris dan satu lagi bahasa Belanda. Di ruang kemudi kapal itu dipenuhi kutipan ayat Alkitab. Artikel dilengkapi foto John Lie di ruang kemudi yang memegang Alkitab. Di sebelahnya lagi terdapat tulisan kutipan ayat Alkitab dalam bahasa Inggris yang artinya, “Datanglah pada-Ku hai kamu yang letih dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu.”
Dalam memoar John Lie yang disitir Iwan Sentosa di Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran, John Lie memang selalu mengandalkan Tuhan dengan doa-doanya dan rajin membaca Alkitab. Setiap misi yang dia lakukan bersama awak kapal The Outlaw selalu didoakannya. Karena itu dia yakin, The Outlaw bisa lolos berkali-kali dari blokade Belanda karena pertolongan Tuhan.
Di akhir artikelnya, Roy Rowan menyebutkan dalam misi penyelundupan senjata, John Lie dibantu oleh Izak Mahdi, mantan mahasiswa kedokteran, yang menjadi perwakilan RI di Thailand. Izak Mahdi harus berhubungan dengan broker senjata dari China dan Thailand. Menurut Mahdi, itu adalah bisnis mengerikan. Namun bagi John Lie, itu bukan bisnis mengerikan. Itu adalah kehendak Tuhan. Dia pun menegaskan, sebelum Belanda pulang ke negaranya, kapalnya akan terus berlayar.
John Lie resmi meninggalkan The Outlaw pada 30 September 1949. Setelah itu, dia masih terlibat dalam penumpasan DI/TII Kartosuwiryo, RMS, dan PRRI-Permesta. Suami dari Pendeta Margaretha Dharma Angkuw ini meninggal dunia pada 27 Agustus 1988 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Sementara istrinya meninggal pada 31 Oktober 2015. Pada 14 Desember 2014, Pemerintah RI memberikan nama salah satu kapal perang RI, KRI John Lie dengan nomor lambung 358.
Sumber:
Iwan Santosa, Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran sejak Nusantara sampai Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2014.
Junus Jahja, Peranakan Idealis dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya, Jakarta: Penerbit Buku Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2002.
Roy Rowan, artikel berjudul “Guns-Bibles-are Smuggled to Indonesia”, Majalah Life edisi 26 September 1949.
(mcm)