Tuntut Ganti Rugi Warga Sekitar Waduk Kedung Ombo Datangi DPRD
A
A
A
SRAGEN - Puluhan warga sekitar Waduk Kedung Ombo (WKO) mendatangi Gedung DPRD Sragen, Jawa Tengah. Aksi mereka ini dilakukan sebagai bentuk wujud meminta dukungan menuntut uang lahan pengganti dan tindak lanjut kekerasan selama proses pembebasan lahan bertahun-tahun lalu.
Jumlah warga yang hadir ke DPRD Sragen, Senin (17/7/2017) sekitar 50 orang yang sebagian besar dari Kecamatan Miri dan Sumberlawang. Mereka meminta dukungan anggota dewan berkenaan dengan masalah uang tunggu.
Aktivis pendamping warga dari Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah Salatiga Edy Susanto menyampaikan bahwa yang hadir tersebut merupakan korban yang terdampak proyek WKO. ”Saat ini yang hadir sekitar 50 orang, namun ada 16.000 KK yang secara langsung terdampak,” ujar Edy Susanto.
Edy menyampaikan, sebagian mereka masih tinggal di sabuk hijau, wilayah yang memang seharusnya tidak boleh ditempati.
Dia menyampaikan warga terpaksa masih tinggal di wilayah sabuk hijau. Dia menegaskan kedatangannya bersama warga untuk memohon dukungan terkait tuntutan mereka soal uang tunggu lahan pengganti.
”Kami meminta keberpihakan DPRD untuk warga yang terdampak WKO. Kami meminta ganti lahan, uang tunggu, dan penyelesaian kasus HAM,” timpalnya.
Dia menjelaskan tuntutan mereka lantaran ganti rugi dinilai sangat tidak layak. Pada saat itu nilai ganti rugi hanya Rp250 per meter. Selain juga mendapat intimidasi dari aparat.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Sragen Hariyanto yang memimpin pertemuan dengan warga menyampaikan tetap mengawal persoalan WKO.
Sedangkan terkait masalah pelanggaran HAM menjadi perkara dan sudah dikawal oleh Komnas HAM. ”Hari ini kami bertemu perwakilan dari WKO, Setelah ini kami akan coba koordinasikan dengan pihak eksekutif,” ujarnya.
Sementara itu Sekretaris Daerah (Sekda) Sragen T Prabawanto menyampaikan masih melihat perkembangan dahulu. Piihaknya menyampaikan kejadian sudah lama dan harus pelajari kasus per kasus. ”Itu waktu kejadian Kedungombo menjadi kewenangan pemerintah di tingkat atas kami,” kata Sekda.
Sedangkan soal adanya warga yang masih berada di sabuk hijau menurutnya perlu dipertimbangkan.
Pasalnya kawasan sabuk hijau sendiri harusnya steril dari kegiatan manusia yang mungkin mengganggu ekosistem maupun kehidupan di sekitar waduk.
”Kami membaca kebijakan pemerintah pusat, kita sebagai fasilitator, sehingga kebijakan pemerintah pusat kita sebagai fasilitator setelah ada kebijakan,” tandasnya.
Jumlah warga yang hadir ke DPRD Sragen, Senin (17/7/2017) sekitar 50 orang yang sebagian besar dari Kecamatan Miri dan Sumberlawang. Mereka meminta dukungan anggota dewan berkenaan dengan masalah uang tunggu.
Aktivis pendamping warga dari Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah Salatiga Edy Susanto menyampaikan bahwa yang hadir tersebut merupakan korban yang terdampak proyek WKO. ”Saat ini yang hadir sekitar 50 orang, namun ada 16.000 KK yang secara langsung terdampak,” ujar Edy Susanto.
Edy menyampaikan, sebagian mereka masih tinggal di sabuk hijau, wilayah yang memang seharusnya tidak boleh ditempati.
Dia menyampaikan warga terpaksa masih tinggal di wilayah sabuk hijau. Dia menegaskan kedatangannya bersama warga untuk memohon dukungan terkait tuntutan mereka soal uang tunggu lahan pengganti.
”Kami meminta keberpihakan DPRD untuk warga yang terdampak WKO. Kami meminta ganti lahan, uang tunggu, dan penyelesaian kasus HAM,” timpalnya.
Dia menjelaskan tuntutan mereka lantaran ganti rugi dinilai sangat tidak layak. Pada saat itu nilai ganti rugi hanya Rp250 per meter. Selain juga mendapat intimidasi dari aparat.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Sragen Hariyanto yang memimpin pertemuan dengan warga menyampaikan tetap mengawal persoalan WKO.
Sedangkan terkait masalah pelanggaran HAM menjadi perkara dan sudah dikawal oleh Komnas HAM. ”Hari ini kami bertemu perwakilan dari WKO, Setelah ini kami akan coba koordinasikan dengan pihak eksekutif,” ujarnya.
Sementara itu Sekretaris Daerah (Sekda) Sragen T Prabawanto menyampaikan masih melihat perkembangan dahulu. Piihaknya menyampaikan kejadian sudah lama dan harus pelajari kasus per kasus. ”Itu waktu kejadian Kedungombo menjadi kewenangan pemerintah di tingkat atas kami,” kata Sekda.
Sedangkan soal adanya warga yang masih berada di sabuk hijau menurutnya perlu dipertimbangkan.
Pasalnya kawasan sabuk hijau sendiri harusnya steril dari kegiatan manusia yang mungkin mengganggu ekosistem maupun kehidupan di sekitar waduk.
”Kami membaca kebijakan pemerintah pusat, kita sebagai fasilitator, sehingga kebijakan pemerintah pusat kita sebagai fasilitator setelah ada kebijakan,” tandasnya.
(sms)