Grebeg Syawal Keraton Solo, Ratusan Warga Berebut 2 Gunungan
A
A
A
SOLO - Ratusan warga berebut dua gunungan dalam prosesi Grebeg Syawal yang digelar Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat atau Keraton Solo, Selasa (27/6/2017) siang. Gunungan Jaler dan Estri yang berisi hasil bumi dan jajanan pasar, ludes dalam waktu sekejap. Grebeg Syawal digelar dalam rangka menyambut Hari Raya Idul Ftri, dilaksanakan sekitar pukul 11.00 WIB.
Dua gunungan dibawa dari keraton menuju Masjid Agung Surakarta. Dalam arak arakan gunungan, paling depan adalah marching band, diikuti prajurit dan pejabat internal keraton. Rute yang diambil adalah Sitinggil, Pagelaran, alun-alun utara menuju ke masjid Agung.
Gunungan lalu didoakan oleh sesepuh keraton di Masjid Agung sebelum menjadi rebutan warga. Sementara, Gunungan Estri dibawa kembali dan menjadi rebutan warga di depan Kori Kamandungan di depan Keraton Solo.
“Saya dapat kacang panjang, cabe dan terong,” ujar Maya, salah satu warga Sukoharjo usai berebut Gunungan di masjid Agung Solo, Selasa (27/6/2017) siang.
Hasil bumi yang didapatkan rencananya akan ditaruh di sawah. Sebelum menanam padi, dirinya akan memanjatkan doa kepada Tuhan agar hasil panen nantinya bagus dan melimpah.
Budayawan sekaligus kerabat Keraton Solo, Kanjeng Pangeran Aryo (KPA) Winarno Kusumo mengatakan, Grebeg Syawal merupakan puncak dari perayaan Idul Fitri di keraton.
“Sekaligus sebagai ungkapan rasa syukur atas kemenangan yang dicapai setelah satu bulan penuh menjalankan ibadah puasa,” tandas Kanjeng Win, sapaan akrab Winarno Kusumo. Gunungan yang disajikan merupakan satu pasang.
Yakni Gunungan Jaler (laki-laki) dan Gunungan Estri (perempuan). Sekaligus sebagai simbol bahwa kehidupan umat manusia tak lepas dari menyatunya laki-laki dan perempuan. Diharapkan umat manusia selalu berbuat kebaikan dan ingat kepada Tuhan.
Sebagai bentuk perwujudan ingat kepada sang pencipta alam semesta, gunungan dibuat dirangkai dari segala hasil bumi yang paling baik sebagai ucapan syukur atas kemurahan dalam memberikan kehidupan kepada umat manusia.
Gunungan juga memiliki makna sebagai kepedulian keraton kepada masyarakat karena hasil bumi yang dibagikan seluruhnya dapat dimakan.
Kedua gunungan ukurannya sama, yakni diameter 1,25 meter dan tinggi 2 meter. Penyelenggaraan Grebeg dilaksanakan di hari kedua Lebaran dengan perhitungan kalender Jawa dan tidak mengacu kalender masehi.
“Sesuai perhitungan keraton, ini lebaran kedua,” urainya. Penyelenggaraan dilakukan di hari kedua Lebaran versi kalender Jawa, mengingat di hari pertama biasanya masyarakat masih sibuk saling bersilaturahmi dengan kerabat dan tetangga.
Sehingga abdi dalem biasanya tidak bisa sowan (menghadap) di hari pertama Lebaran. Sehingga Grebeg digelar di hari kedua agar mereka bisa datang dan melaksanakan kegiatan di keraton.
Selain Grebeg Syawal, Keraton Solo juga memiliki dua acara lainnya yang hampir serupa. yakni Grebeg Mulud dalam rangka memperingati kelahiran Nabi Muhammad, serta Grebeg Besar yang digelar dalam memperingati perayaan Idul Adha.
Dua gunungan dibawa dari keraton menuju Masjid Agung Surakarta. Dalam arak arakan gunungan, paling depan adalah marching band, diikuti prajurit dan pejabat internal keraton. Rute yang diambil adalah Sitinggil, Pagelaran, alun-alun utara menuju ke masjid Agung.
Gunungan lalu didoakan oleh sesepuh keraton di Masjid Agung sebelum menjadi rebutan warga. Sementara, Gunungan Estri dibawa kembali dan menjadi rebutan warga di depan Kori Kamandungan di depan Keraton Solo.
“Saya dapat kacang panjang, cabe dan terong,” ujar Maya, salah satu warga Sukoharjo usai berebut Gunungan di masjid Agung Solo, Selasa (27/6/2017) siang.
Hasil bumi yang didapatkan rencananya akan ditaruh di sawah. Sebelum menanam padi, dirinya akan memanjatkan doa kepada Tuhan agar hasil panen nantinya bagus dan melimpah.
Budayawan sekaligus kerabat Keraton Solo, Kanjeng Pangeran Aryo (KPA) Winarno Kusumo mengatakan, Grebeg Syawal merupakan puncak dari perayaan Idul Fitri di keraton.
“Sekaligus sebagai ungkapan rasa syukur atas kemenangan yang dicapai setelah satu bulan penuh menjalankan ibadah puasa,” tandas Kanjeng Win, sapaan akrab Winarno Kusumo. Gunungan yang disajikan merupakan satu pasang.
Yakni Gunungan Jaler (laki-laki) dan Gunungan Estri (perempuan). Sekaligus sebagai simbol bahwa kehidupan umat manusia tak lepas dari menyatunya laki-laki dan perempuan. Diharapkan umat manusia selalu berbuat kebaikan dan ingat kepada Tuhan.
Sebagai bentuk perwujudan ingat kepada sang pencipta alam semesta, gunungan dibuat dirangkai dari segala hasil bumi yang paling baik sebagai ucapan syukur atas kemurahan dalam memberikan kehidupan kepada umat manusia.
Gunungan juga memiliki makna sebagai kepedulian keraton kepada masyarakat karena hasil bumi yang dibagikan seluruhnya dapat dimakan.
Kedua gunungan ukurannya sama, yakni diameter 1,25 meter dan tinggi 2 meter. Penyelenggaraan Grebeg dilaksanakan di hari kedua Lebaran dengan perhitungan kalender Jawa dan tidak mengacu kalender masehi.
“Sesuai perhitungan keraton, ini lebaran kedua,” urainya. Penyelenggaraan dilakukan di hari kedua Lebaran versi kalender Jawa, mengingat di hari pertama biasanya masyarakat masih sibuk saling bersilaturahmi dengan kerabat dan tetangga.
Sehingga abdi dalem biasanya tidak bisa sowan (menghadap) di hari pertama Lebaran. Sehingga Grebeg digelar di hari kedua agar mereka bisa datang dan melaksanakan kegiatan di keraton.
Selain Grebeg Syawal, Keraton Solo juga memiliki dua acara lainnya yang hampir serupa. yakni Grebeg Mulud dalam rangka memperingati kelahiran Nabi Muhammad, serta Grebeg Besar yang digelar dalam memperingati perayaan Idul Adha.
(sms)