Antara Ketupat dan Lebaran, Tradisi Penuh Makna di Hari yang Fitri

Senin, 26 Juni 2017 - 05:01 WIB
Antara Ketupat dan Lebaran,...
Antara Ketupat dan Lebaran, Tradisi Penuh Makna di Hari yang Fitri
A A A
Ketupat tidak bisa dilepaskan dari perayaan Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran. Ketupat identik dengan Idul Fitri karena paling banyak ditemui pada saat perayaan Lebaran. Ketupat atau kupat adalah hidangan atau makanan berbahan dasar beras yang dibungkus dari anyaman daun kelapa muda (janur).

Di berbagai daerah di Indonesia, ketupat sudah dikenal dengan berbagai nama dan hidangan unik. Antara lain, kupat tahu (Sunda), katupat kandangan (Banjar), Grabag (kabupaten Magelang), kupat glabet (Tegal), atau coto makassar (dari Makassar, ketupat dinamakan Katupa). Ketupat juga dapat dihidangkan untuk menyertai makan sate, meskipun lontong lebih umum. Bahkan selain di Indonesia, ketupat juga dikenal beberapa negara Asia Tenggara, seperti di Malaysia, Brunei, dan Singapura. Di Filipina juga dijumpai bugnoy yang mirip ketupat namun dengan pola anyaman berbeda.

Nah, di saat Lebaran ketupat menjadi hidangan yang wajib disajikan. Seolah, Lebaran kurang lengkap jika tidak ada hidangan ketupat di meja makan. Ini sudah menjadi tradisi yang lekat dengan masyarakat setiap Lebaran. Sebenarnya, ketupat bukan sekadar pelengkap di hari Lebaran, ada makna dan filosofi di dalamnya. Dari sisi sejarah, tradisi penyajian ketupat atau istilahnya, kupatan, berangkat dari upaya Sunan Kalijaga dan para Wali Songo memasukkan nilai-nilai dan ajaran agama Islam.

Sebab, zaman dulu orang Jawa selalu menggunakan simbol-simbol tertentu, akhirnya para Wali Songo memanfaatkan cara tersebut. Apalagi ketika itu masyarakat Jawa masih banyak yang meyakini kesakralan ketupat. Saat itu Sunan Kalijaga menggunakan dua istilah, Bakda Lebaran dan Bakda Kupat.

Bakda Lebaran adalah perayaan Idul Fitri yang diisi dengan shalat Ied dan silaturahim. Adapun Bakda Kupat dilakukan tujuh hari setelahnya. Masyarakat kembali membuat ketupat untuk diantarkan kepada sanak kerabat sebagai tanda kebersamaan. Oleh karena itu, di masyarakat Jawa secara umum dikenal dua kali Lebaran. Pertama adalah Idul Fitri 1 Syawal dan kedua yaitu Lebaran ketupat pada 8 Syawal, setelah puasa sunnah enam hari pada bulan Syawal.

Dari sisi penyimbolan, bungkus ketupat dibuat dari janur atau daun kelapa muda berwarna kuning. Dipilihnya janur karena biasa digunakan masyarakat Jawa dalam suasana suka cita. Umumnya, dipasang saat ada pesta pernikahan atau momen menggembirakan lain. Janur dalam bahasa Arab berasal dari kata Jaa Nur atau telah datang cahaya. Sebuah harapan cahaya menuju rahmat Allah SWT, sehingga terwujud negeri yang makmur dan penuh berkah.

Dari isinya, ketupat dibuat dari beras yang baik-baik dan dimasak jadi satu sehingga membentuk gumpalan yang sangat kempel. Ini pun memiliki makna tersendiri, yakni makna kebersamaan dan kemakmuran. Harapan para Wali Songo dulu, tradisi kupatan ini bukan sebuah formalitas, tapi menjadi semangat kebersamaan umat.

Sedangkan dari sisi bahasa, ketupat berarti mengaku lepat atau mengakui kesalahan. Bertepatan dengan momen Lebaran, ketupat mengusung semangat saling memaafkan, semangat bertobat pada Allah SWT, dan sesama manusia. Dengan harapan, tidak akan lagi menodai dengan kesalahan di masa depan. Ketupat atau kupat dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari kafi. Yakni, kuffat yang berarti sudah cukup harapan.

Selain itu, biasanya ketupat dimaknai dengan potongan miring sebagai simbol perempuan. Potongan kupat miring tersebut lazim disandingkan dengan lepet berbahan beras ketan dengan bentuk lonjong sebagai simbol laki-laki. Artinya, pasangan suami istri juga harus selalu hidup rukun dan bersanding.

Ketupat atau dalam istilah Jawa dikenal dengan kupat adalah singkatan dari Ngaku Lepat dan Laku Papat. Ngaku lepat berarti mengakui kesalahan dan laku papat berarti empat tindakan. Mengakui kesalahan (ngaku lepat) ditandai dengan adanya tradisi sungkeman. Sungkeman adalah bersimpuh di hadapan orang tua sambil memohon maaf atas kesalahan yang pernah dilakukan.

Sedangkan, laku papat yang berarti empat tindakan, mencerminkan empat tindakan yang dilakukan dalam perayaan Idul Fitri, yaitu Lebaran, Luberan, Leburan dan Laburan. Makna Lebaran berasal dari kata lebar dengan pemaknaan bahwa pintu pengampunan telah terbuka lebar. Lebaran juga bermakna usai yang menjadi penanda berakhirnya bulan suci Ramadan.

Sedangkan, Luberan yang berarti melimpah menjadi simbol ajaran sedekah. Mengingat salah satu kewajiban umat muslim menjelang Hari Raya Idul Fitri adalah membayar zakat fitrah. Memaknai lebih dalam, zakat fitrah ini adalah salah satu kesempatan bagi umat Muslim untuk berbagi kepada sesama.

Leburan, berarti habis atau melebur. Kata ini bermakna bahwa perayaan Idul Fitri adalah kesempatan dimana manusia kembali menjadi fitrah. Terakhir adalah istilah Laburan yang berasal dari kata labur atau kapur. Kapur yang dimaksud adalah zat yang biasanya digunakan untuk menjernihkan air atau memutihkan dinding. Kata ini menyimpan pesan bahwa manusia sebaiknya senantiasa menjaga kesucian lahir dan batinnya.

Simbolisasi ungkapan dari bahasa Jawa ini digunakan oleh Sunan Kalijaga dalam mensyiarkan ajaran Islam di Pulau Jawa. Asilmilasi budaya dan keyakinan ini akhirnya mampu menggeser kesakralan ketupat menjadi tradisi Islami di tanah air. Ketupat pun menjadi makanan yang selalu ada saat umat Islam merayakan Lebaran sebagai momen yang tepat untuk saling meminta maaf dan mengakui kesalahan.

Sumber:
marneskliker.com
Wikipedia
islamidia.com
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1043 seconds (0.1#10.140)