Mbah Fatimah, Nenek 90 Tahun Pedagang Tape Ramadan
A
A
A
SEMARANG - Usianya tak lagi muda, yakni mendekati satu abad karena sudah lebih dari 90 tahun. Kini, hampir tiap hari perempuan tua itu selalu duduk menunggui tape ketan yang dijajakan di halaman sebuah minimarket di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Meski wajahnya telah dipenuhi keriput, senyum dan keramahan Mbah Fatimah tak pernah lepas saat orang-orang hendak masuk atau keluar minimarket. Dengan bahasa yang sederhana, dia menawarkan barang dagangannya itu. Dia meyakinkan, tape buatannya manis sehingga cocok sebagai menu buka puasa.
"Ini saya membuat sendiri. Mulai dari membersihkan sisa-sisa kulit padi di beras ketan. Kalau enggak dibersihkan nanti tapenya kurang bagus, karena orang yang memakannya bisa selilitan," kata Fatimah, Senin (29/5/2017).
Semua tahapan membuat tape dilakukannya sendiri karena anak-anaknya tinggal di rumah masing-masing. Dia mengatakan, setiap hari memproduksi tape ketan di rumahnya yang berlokasi di Dusun Kretek, Desa Lerep, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang.
"Rata-rata sehari tujuh kilogam beras ketan yang dibuat tape. Meski permintaan melonjak pada bulan puasa ini, tapi tenaganya yang enggak kuat kalau membuat lebih banyak lagi. Kalau biasanya jualan sampai sore, tapi Ramadan ini bisa lebih cepat habisnya," katanya sambil menata posisi kerudung.
Butuh waktu sekitar 30 menit hingga satu jam bagi dirinya untuk berjalan dari rumah hingga minimarket tempatnya berjualan. Dengan menempati emperan toko itu, dia dengan setia menunggu pelanggan. Beberapa plastik berisi tape tampak menggoda beberapa pelanggan menghampiri untuk membeli atau sekadar menawar.
Dia mengaku telah berjualan tape selama belasan tahun. Tape buatannya pun telah dikenali warga, mulai dari kemasan bungkus daun pisang, warna, hingga rasanya yang mantap. Selain itu, tape buatan Mbah Fatimah isinya lebih banyak dibanding pedagang lain.
"Dulu pernah ambil tape dari pedagang lain, tapi banyak pelanggan yang mengeluh, katanya isinya sedikit. Mulai saat itu saya bikin sendiri terus. Agar menarik, warna beras yang putih saya kasih warna hijau, tapi ini pakai pewarna makanan jadi tak berbahaya," jelasnya.
Tape buatan Mbah Fatimah dibanderol Rp7 ribu per bungkus plastik yang berisi 10 bungkus tape. Dalam sehari dia bisa mengumpulkan uang ratusan ribu rupiah, yang akan digunakan untuk berbelanja bahan baku tape seperti beras ketan. Dia juga kerap menyisakan uang hasil berdagang itu untuk ditabung dan sebagian sebagai uang saku cucu-cucunya.
"Sebenarnya anak-anak saya sudah melarang untuk berjualan. Tapi saya ini enggak mau merepotkan anak-anak dengan meminta uang. Makanya ya tetap berjualan tape ini. Semoga berkah apalagi kan ini biasanya dibuat kolak untuk berbuka puasa," harap Mbah Fatimah.
Pelanggan yang membeli tape buatan Mbah Fatimah kebanyakan akan kembali untuk merasakan lagi. Selain bisa dinikmati secara langsung, tape itu bisa pula digunakan sebagai campuran membuat kolak pisang.
"Rasanya manis. Enak buat kolak sama pisang. Sebagian dimakan langsung, rasanya juga sangat manis," kata seorang pembeli, Enih, sambil menenteng sebungkus plastik tape.
Meski wajahnya telah dipenuhi keriput, senyum dan keramahan Mbah Fatimah tak pernah lepas saat orang-orang hendak masuk atau keluar minimarket. Dengan bahasa yang sederhana, dia menawarkan barang dagangannya itu. Dia meyakinkan, tape buatannya manis sehingga cocok sebagai menu buka puasa.
"Ini saya membuat sendiri. Mulai dari membersihkan sisa-sisa kulit padi di beras ketan. Kalau enggak dibersihkan nanti tapenya kurang bagus, karena orang yang memakannya bisa selilitan," kata Fatimah, Senin (29/5/2017).
Semua tahapan membuat tape dilakukannya sendiri karena anak-anaknya tinggal di rumah masing-masing. Dia mengatakan, setiap hari memproduksi tape ketan di rumahnya yang berlokasi di Dusun Kretek, Desa Lerep, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang.
"Rata-rata sehari tujuh kilogam beras ketan yang dibuat tape. Meski permintaan melonjak pada bulan puasa ini, tapi tenaganya yang enggak kuat kalau membuat lebih banyak lagi. Kalau biasanya jualan sampai sore, tapi Ramadan ini bisa lebih cepat habisnya," katanya sambil menata posisi kerudung.
Butuh waktu sekitar 30 menit hingga satu jam bagi dirinya untuk berjalan dari rumah hingga minimarket tempatnya berjualan. Dengan menempati emperan toko itu, dia dengan setia menunggu pelanggan. Beberapa plastik berisi tape tampak menggoda beberapa pelanggan menghampiri untuk membeli atau sekadar menawar.
Dia mengaku telah berjualan tape selama belasan tahun. Tape buatannya pun telah dikenali warga, mulai dari kemasan bungkus daun pisang, warna, hingga rasanya yang mantap. Selain itu, tape buatan Mbah Fatimah isinya lebih banyak dibanding pedagang lain.
"Dulu pernah ambil tape dari pedagang lain, tapi banyak pelanggan yang mengeluh, katanya isinya sedikit. Mulai saat itu saya bikin sendiri terus. Agar menarik, warna beras yang putih saya kasih warna hijau, tapi ini pakai pewarna makanan jadi tak berbahaya," jelasnya.
Tape buatan Mbah Fatimah dibanderol Rp7 ribu per bungkus plastik yang berisi 10 bungkus tape. Dalam sehari dia bisa mengumpulkan uang ratusan ribu rupiah, yang akan digunakan untuk berbelanja bahan baku tape seperti beras ketan. Dia juga kerap menyisakan uang hasil berdagang itu untuk ditabung dan sebagian sebagai uang saku cucu-cucunya.
"Sebenarnya anak-anak saya sudah melarang untuk berjualan. Tapi saya ini enggak mau merepotkan anak-anak dengan meminta uang. Makanya ya tetap berjualan tape ini. Semoga berkah apalagi kan ini biasanya dibuat kolak untuk berbuka puasa," harap Mbah Fatimah.
Pelanggan yang membeli tape buatan Mbah Fatimah kebanyakan akan kembali untuk merasakan lagi. Selain bisa dinikmati secara langsung, tape itu bisa pula digunakan sebagai campuran membuat kolak pisang.
"Rasanya manis. Enak buat kolak sama pisang. Sebagian dimakan langsung, rasanya juga sangat manis," kata seorang pembeli, Enih, sambil menenteng sebungkus plastik tape.
(zik)