Kisah di Balik Penentuan Lokasi Perundingan Linggarjati
A
A
A
TERLETAK di kaki Gunung Ciremai, bangunan tua yang kini diberi nama Gedung Perundingan Linggarjati, menjadi salah satu tempat yang dikunjungi wisatawan saat berlibur di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Pada tahun 1918, bangunan yang terletak di Desa Linggarjarti, Kecamatan Cilimus ini merupakan bangunan rumah milik Ibu Jasitem. Dikutip dari www.disparbud.jabarprov.go.id, pada tahun 1921 bangunan itu dirombak menjadi semipermanen oleh seorang berbangsa Belanda bernama Tuan Tersana.
Sembilan tahun kemudian dibangun menjadi permanen dan menjadi bangunan rumah tinggal orang Belanda bernama Van Oot Dome. Kemudian, tahun 1935 dikontrak oleh Heiker dan dijadikan hotel yang bernama Rustoord.
Pada masa pemerintahan Jepang, hotel ini diganti namanya menjadi Hokay Ryokan. Tahun 1945 tepatnya setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, hotel ini diberi nama Hotel Merdeka.
Tahun 1946, Hotel Merdeka ini digunakan sebagai tempat perundingan antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda yang kemudian menghasilkan Naskah Linggarjati. Karena perundingan itu sangat penting, gedung ini disebut Gedung Linggarjati. Masyarakat sekitar pun kadang menyebut sebagai Gedung Naskah Linggarjati.
Di balik penentuan lokasi Perundingan Linggarjati itu, ada peran Maria Ulfah Santoso, wanita kelahiran Serang, Banten, 18 Agustus 1911. Dia merupakan Menteri Sosial di Kabinet Sjahrir II dan Kabinet Sjahrir III. (Baca Juga: Mensos Pertama RI Maria Ulfah, Pejuang Emansipasi Wanita yang Terlupakan
Mohammad Hatta dalam buku Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi (Penerbit Buku Kompas) menyebut bahwa pada 11 November 1946 tempat perundingan dialihkan sementara ke Linggarjati. Sebelumnya, pada tanggal 7 Oktober 1946, bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta, dibukalah perundingan Indonesia-Belanda, dimediasi oleh Lord Killearn. Delegasi Belanda dipimpin Wim Schermerhorn, sementara delegasi RI dikomandoi Sutan Sjahrir.
Menurut Hatta, tempat perundingan dipindahkan ke Linggarjati dengan maksud agar akhir perundingan digelar di daerah yang sejuk dan dapat pula dihadiri Soekarno dan Hatta. Saat itu, Soekarno dan Hatta sedang ke Jawa Barat dan menginap di Kabupaten Kuningan.
Dikutip dari Wikipedia, Maria Ulfah Santoso mengusulkan kepada Sutan Sjahrir (Ketua Delegasi RI) agar perundingan digelar di Linggarjati. Maria Ulfah memang sangat memiliki ikatan emosional dengan Kuningan dan Linggarjati. Maria Ulfah menganggap Linggarjati secara geografis bisa menjadi tempat alternatif karena pihak Indonesia dan Belanda sempat menemui jalan buntu.
Soekarno dan Hatta yang saat itu berkedudukan di Yogyakarta (sebagai Ibu Kota sementara), menawarkan Yogya sebagai tempat perundingan. Sudah pasti pilihan itu ditolak mentah-mentah oleh Belanda karena mereka justru menginginkan perundingan dilaksanakan di Jakarta yang saat itu mereka kuasai.
"Berdasarkan keterangan dari Soebadio Sastrosatomo dan Ali Boediardjo bahwa yang mengusulkan tempat perundingan di Linggarjati kepada Sutan Sjahrir adalah Ibu MR Maria Ulfah Santoso," demikian keterangan yang ada di bawah foto Maria Ulfah Santoso yang terpajang di salah satu ruangan Gedung Perundingan Linggarjati.
Maria Ulfah yang merupakan anak mantan Bupati Kuningan R Mohamad Ahmad (periode 1921-1940) pun bisa memberikan jaminan dari sisi keamanan. Hal ini karena Residen Cirebon Hamdani maupun Bupati Cirebon Makmun Sumadipradja, kebetulan berasal dari Partai Sosialis. Artinya mereka adalah 'anak buah' Sjahrir.
Saat perundingan, Sjahrir menginap di Gedung Sjahrir di dekat kolam renang Linggarjati. Sementara, Soekarno-Hatta bermalam di Pendopo Kabupaten Kuningan.
Hasil Perundingan Linggarjati ditandatangani oleh Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia di Jakarta pada 70 tahun silam, tepatnya 25 Maret 1947. Sebelumnya, pada 15 November 1946, hasil Perundingan Linggarjati diparaf.
Kini, Gedung Perundingan Linggarjati yang terletak di kaki Gunung Ciremai dan memiliki luas 500 m2 serta halaman dengan luas sekitar 2,5 hektare ini menjadi salah satu cagar budaya yang dilindungi UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Pada tahun 1918, bangunan yang terletak di Desa Linggarjarti, Kecamatan Cilimus ini merupakan bangunan rumah milik Ibu Jasitem. Dikutip dari www.disparbud.jabarprov.go.id, pada tahun 1921 bangunan itu dirombak menjadi semipermanen oleh seorang berbangsa Belanda bernama Tuan Tersana.
Sembilan tahun kemudian dibangun menjadi permanen dan menjadi bangunan rumah tinggal orang Belanda bernama Van Oot Dome. Kemudian, tahun 1935 dikontrak oleh Heiker dan dijadikan hotel yang bernama Rustoord.
Pada masa pemerintahan Jepang, hotel ini diganti namanya menjadi Hokay Ryokan. Tahun 1945 tepatnya setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, hotel ini diberi nama Hotel Merdeka.
Tahun 1946, Hotel Merdeka ini digunakan sebagai tempat perundingan antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda yang kemudian menghasilkan Naskah Linggarjati. Karena perundingan itu sangat penting, gedung ini disebut Gedung Linggarjati. Masyarakat sekitar pun kadang menyebut sebagai Gedung Naskah Linggarjati.
Di balik penentuan lokasi Perundingan Linggarjati itu, ada peran Maria Ulfah Santoso, wanita kelahiran Serang, Banten, 18 Agustus 1911. Dia merupakan Menteri Sosial di Kabinet Sjahrir II dan Kabinet Sjahrir III. (Baca Juga: Mensos Pertama RI Maria Ulfah, Pejuang Emansipasi Wanita yang Terlupakan
Mohammad Hatta dalam buku Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi (Penerbit Buku Kompas) menyebut bahwa pada 11 November 1946 tempat perundingan dialihkan sementara ke Linggarjati. Sebelumnya, pada tanggal 7 Oktober 1946, bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta, dibukalah perundingan Indonesia-Belanda, dimediasi oleh Lord Killearn. Delegasi Belanda dipimpin Wim Schermerhorn, sementara delegasi RI dikomandoi Sutan Sjahrir.
Menurut Hatta, tempat perundingan dipindahkan ke Linggarjati dengan maksud agar akhir perundingan digelar di daerah yang sejuk dan dapat pula dihadiri Soekarno dan Hatta. Saat itu, Soekarno dan Hatta sedang ke Jawa Barat dan menginap di Kabupaten Kuningan.
Dikutip dari Wikipedia, Maria Ulfah Santoso mengusulkan kepada Sutan Sjahrir (Ketua Delegasi RI) agar perundingan digelar di Linggarjati. Maria Ulfah memang sangat memiliki ikatan emosional dengan Kuningan dan Linggarjati. Maria Ulfah menganggap Linggarjati secara geografis bisa menjadi tempat alternatif karena pihak Indonesia dan Belanda sempat menemui jalan buntu.
Soekarno dan Hatta yang saat itu berkedudukan di Yogyakarta (sebagai Ibu Kota sementara), menawarkan Yogya sebagai tempat perundingan. Sudah pasti pilihan itu ditolak mentah-mentah oleh Belanda karena mereka justru menginginkan perundingan dilaksanakan di Jakarta yang saat itu mereka kuasai.
"Berdasarkan keterangan dari Soebadio Sastrosatomo dan Ali Boediardjo bahwa yang mengusulkan tempat perundingan di Linggarjati kepada Sutan Sjahrir adalah Ibu MR Maria Ulfah Santoso," demikian keterangan yang ada di bawah foto Maria Ulfah Santoso yang terpajang di salah satu ruangan Gedung Perundingan Linggarjati.
Maria Ulfah yang merupakan anak mantan Bupati Kuningan R Mohamad Ahmad (periode 1921-1940) pun bisa memberikan jaminan dari sisi keamanan. Hal ini karena Residen Cirebon Hamdani maupun Bupati Cirebon Makmun Sumadipradja, kebetulan berasal dari Partai Sosialis. Artinya mereka adalah 'anak buah' Sjahrir.
Saat perundingan, Sjahrir menginap di Gedung Sjahrir di dekat kolam renang Linggarjati. Sementara, Soekarno-Hatta bermalam di Pendopo Kabupaten Kuningan.
Hasil Perundingan Linggarjati ditandatangani oleh Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia di Jakarta pada 70 tahun silam, tepatnya 25 Maret 1947. Sebelumnya, pada 15 November 1946, hasil Perundingan Linggarjati diparaf.
Kini, Gedung Perundingan Linggarjati yang terletak di kaki Gunung Ciremai dan memiliki luas 500 m2 serta halaman dengan luas sekitar 2,5 hektare ini menjadi salah satu cagar budaya yang dilindungi UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
(zik)