Ken Dedes, Kampung Polowijen dan Peradaban Besar Tanah Jawa
A
A
A
Kampung Polowijen yang berada di Kota Malang tak bisa dilepaskan dari nama besar Ken Dedes. Karena 'ibu' yang melahirkan keturunan raja-raja besar di tanah Jawa ini dilahirkan di Kampung Polowijen.
Dalam Pararaton juga disebutkan, Kampung Polowijen yang berada di Kota Malang, dulu bernama ‘Panawidyan’ atau ‘Panawijen’. Kampung Panawijen, diketahui memang mempunyai potensi besar dan kekayaan sejarah panjang dan menjadi daerah yang menginspirasi bagi tumbuhnya peradaban besar di tanah Jawa.
Juru bicara Kampung Budaya Polowijen, Isa Wahyudi mengungkapkan, Polowijen terkenal dengan tanah kelahiran Ken Dedes.
“Adanya petilasan Sumur Windu memperkuat keberadaan Ken Dedes yang dilahirkan di sini,” kata Isa dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews usai Sarasehan bertajuk ‘Upaya Mencari Hari Jadi Polowijen’ di Polowijen, Malang, Selasa malam, 14 Maret 2017 lalu.
Ken Dedes merupakan nenek moyang wangsa Rajasa, trah yang berkuasa di Singosari, Majapahit hingga Mataram.
Menurut Kitab Pararaton, Ken Dedes disebut sebagai wanita Nareswari. Wanita Nareswari berarti wanita utama.
Selain itu, lanjut Isa, keberadaan batu bata merah yang tersusun dalam struktur bangunan yang masih tertimbun tanah ditengarai sebagai Mandala Empu Purwa, seorang brahmana ayah dari Ken Dedes.
Isa yang biasa disapa Ki Demang, menambahkan, keberadaan petilasan Joko Lulo dipercaya sebagai tempat “moksa” ketika pemuda dari Dinoyo yang bernama Joko Lulo tidak berhasil mempersunting Ken Dedes, karena diculik seorang Akuwu dari Tumapel bernama Tunggul Ametung melalui terowongan yang ditemukan di rumah warga Polowijen.
“Ketiga situs itu juga telah ditetapkan oleh Direktorat Cagar Budaya sebagai situs Budaya di Polowijen, Kota Malang,” ujar dia.
Cerita mengenai Ken Dedes dan Joko Lulo berawal saat suatu hari datanglah lamaran dari seorang pemuda berwajah buruk namun sakti mandraguna yang bernama Joko Lulo dari Desa Dinoyo terhadap Ken Dedes.
Awalnya, Dedes menolaknya secara halus dengan syarat untuk dibuatkan sebuah sumur yang kedalamannya mencapai 1 windu (8 tahun) perjalanan.
Syarat yang berat tersebut diajukan dengan harapan Joko Lulo tidak akan sanggup untuk melaksanakannya. Namun Joko Lulo adalah pemuda pilih tanding dan mumpuni. Di luar dugaan, dalam waktu singkat Joko Lulo telah menyelesaikan sumur yang disyaratkan oleh Ken Dedes. Dengan demikian, mau tidak mau Ken Dedes harus menerima pinangan dari Joko Lulo.
Waktu pernikahan pun akhirnya ditentukan dan pihak keluarga Joko Lulo meminta agar pertemuan pengantin dilaksanakan pada rentang waktu tengah malam dan tidak melebihi saat para perempuan menumbuk alu tanda hari sudah mulai pagi, dengan maksud agar Dedes tidak takut melihat wajah Joko Lulo yang buruk tersebut.
Pada hari pernikahan yang sudah ditentukan, kedua mempelai hendak dipertemukan pada waktu tengah malam dengan diiringi gamelan.
Namun tidak diketahui dari mana asalnya dan siapa yang memulai, tiba-tiba terdengar suara tompo (tempat nasi terbuat dari bambu) dan lesung dibunyikan oleh para gadis Panawijen.
Sebagian ada yang membakar jerami di sebelah timur, yang membuat ayam berkokok bersahut-sahutan karena mengira hari sudah pagi.
Cahaya apinya pun mulai menerangi desa sehingga tampaklah wajah Joko Lulo yang buruk itu oleh Ken Dedes, yang membuatnya takut dan lari menceburkan dirinya ke dalam sumur windu buatan Joko Lulo.
Suasana pernikahan menjadi gempar, para pengiring panik berhamburan dan gamelan porak-poranda, berubah menjadi batu.
Dalam kekacauan itu, Joko Lulo yang mengetahui Dedes telah pergi, maka iapun mengutuk semua gadis Panawijen yang membunyikan tempat nasi, agar kelak menjadi perawan tua. Iapun lalu mengejar Ken Dedes ke dalam Sumur Windu.
Kedua orang tua dari mempelai merasa malu akan kegagalan pernikahan tersebut, merekapun lalu bersumpah jangan sampai ada lagi pertunangan dan perkawinan antara orang Dinoyo dan orang Panawijen.
Joko Lulo hilang tidak diketahui rimbanya, sementara Ken Dedes beberapa lama kemudian diketahui telah menjadi istri pembesar di Tumapel, yaitu Tunggul Ametung.
Sampai saat ini peninggalan berupa Sumur Windu dan Watu Kenong masih dapat dijumpai di daerah Polowijen, Lingkungan Watu Kenong, Kota Mala
Budayawan Malang, Yongki Irawan mengatakan, keberadaan makam Mbah Tjondro Suwono (Mbah Reni) atau berjuluk Ki Sungging Adi Linuwih yang dikenal sebagai penemu dan penyungging Topeng Malangan pertama kali. Selain itu Mbok Gundari adalah anak sekaligus penari Topeng Malangan, merupakan bukti yang makin menguatkan bahwa Kampung Polowijen layak disebut kampung sejarah yang memiliki peradaban besar di Jawa Timur.
Semasa hidup, mereka orang Panawijen yang mengembangkan topengan Malangan sampai ke beberapa daerah, antara lain, Jabung Tumpang, Glagahdowo, Pakisaji, dan daerah lain di Kabupaten Malang.
“Kekayaan budaya itulah yang menjadi icon budaya Malang yang telah ditetapkan sebagai situs budaya Polowijen oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang,” kata Yongki.
Sesepuh asli Polowijen, Suwaji menuturkan, beberapa kesenian lain yang terkenal di Kampung Polowijen, selain wayang topeng, ada juga wayang wong, wayang jedong, wayang kulit, wayang ope, ludruk, pencak silat, bantengan, dan terbangan, yang pernah populer di Polowijen.
Potensi lain, menurut Suwaji, dulu, kampung Polowijen pernah menjadi sentra mebel dan kerajinan kayu. Ini makin menegaskan bahwa Kampung Polowijen adalah daerah para pengrajin seni pahat dan topeng.
“Jadi, Kampung Polowijen merupakan daerah yang menginspirasi bagi daerah lain sehingga muncul berbagai ragam seni tradisi kebudayaan serta kerajinan yang membuat daerah-daerah lain bisa ikut berjaya pada masanya,” ungkap dia.
Sumber :
- Ngalam.id
- Wikipedia dan diolah dari berbagai sumber
Dalam Pararaton juga disebutkan, Kampung Polowijen yang berada di Kota Malang, dulu bernama ‘Panawidyan’ atau ‘Panawijen’. Kampung Panawijen, diketahui memang mempunyai potensi besar dan kekayaan sejarah panjang dan menjadi daerah yang menginspirasi bagi tumbuhnya peradaban besar di tanah Jawa.
Juru bicara Kampung Budaya Polowijen, Isa Wahyudi mengungkapkan, Polowijen terkenal dengan tanah kelahiran Ken Dedes.
“Adanya petilasan Sumur Windu memperkuat keberadaan Ken Dedes yang dilahirkan di sini,” kata Isa dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews usai Sarasehan bertajuk ‘Upaya Mencari Hari Jadi Polowijen’ di Polowijen, Malang, Selasa malam, 14 Maret 2017 lalu.
Ken Dedes merupakan nenek moyang wangsa Rajasa, trah yang berkuasa di Singosari, Majapahit hingga Mataram.
Menurut Kitab Pararaton, Ken Dedes disebut sebagai wanita Nareswari. Wanita Nareswari berarti wanita utama.
Selain itu, lanjut Isa, keberadaan batu bata merah yang tersusun dalam struktur bangunan yang masih tertimbun tanah ditengarai sebagai Mandala Empu Purwa, seorang brahmana ayah dari Ken Dedes.
Isa yang biasa disapa Ki Demang, menambahkan, keberadaan petilasan Joko Lulo dipercaya sebagai tempat “moksa” ketika pemuda dari Dinoyo yang bernama Joko Lulo tidak berhasil mempersunting Ken Dedes, karena diculik seorang Akuwu dari Tumapel bernama Tunggul Ametung melalui terowongan yang ditemukan di rumah warga Polowijen.
“Ketiga situs itu juga telah ditetapkan oleh Direktorat Cagar Budaya sebagai situs Budaya di Polowijen, Kota Malang,” ujar dia.
Cerita mengenai Ken Dedes dan Joko Lulo berawal saat suatu hari datanglah lamaran dari seorang pemuda berwajah buruk namun sakti mandraguna yang bernama Joko Lulo dari Desa Dinoyo terhadap Ken Dedes.
Awalnya, Dedes menolaknya secara halus dengan syarat untuk dibuatkan sebuah sumur yang kedalamannya mencapai 1 windu (8 tahun) perjalanan.
Syarat yang berat tersebut diajukan dengan harapan Joko Lulo tidak akan sanggup untuk melaksanakannya. Namun Joko Lulo adalah pemuda pilih tanding dan mumpuni. Di luar dugaan, dalam waktu singkat Joko Lulo telah menyelesaikan sumur yang disyaratkan oleh Ken Dedes. Dengan demikian, mau tidak mau Ken Dedes harus menerima pinangan dari Joko Lulo.
Waktu pernikahan pun akhirnya ditentukan dan pihak keluarga Joko Lulo meminta agar pertemuan pengantin dilaksanakan pada rentang waktu tengah malam dan tidak melebihi saat para perempuan menumbuk alu tanda hari sudah mulai pagi, dengan maksud agar Dedes tidak takut melihat wajah Joko Lulo yang buruk tersebut.
Pada hari pernikahan yang sudah ditentukan, kedua mempelai hendak dipertemukan pada waktu tengah malam dengan diiringi gamelan.
Namun tidak diketahui dari mana asalnya dan siapa yang memulai, tiba-tiba terdengar suara tompo (tempat nasi terbuat dari bambu) dan lesung dibunyikan oleh para gadis Panawijen.
Sebagian ada yang membakar jerami di sebelah timur, yang membuat ayam berkokok bersahut-sahutan karena mengira hari sudah pagi.
Cahaya apinya pun mulai menerangi desa sehingga tampaklah wajah Joko Lulo yang buruk itu oleh Ken Dedes, yang membuatnya takut dan lari menceburkan dirinya ke dalam sumur windu buatan Joko Lulo.
Suasana pernikahan menjadi gempar, para pengiring panik berhamburan dan gamelan porak-poranda, berubah menjadi batu.
Dalam kekacauan itu, Joko Lulo yang mengetahui Dedes telah pergi, maka iapun mengutuk semua gadis Panawijen yang membunyikan tempat nasi, agar kelak menjadi perawan tua. Iapun lalu mengejar Ken Dedes ke dalam Sumur Windu.
Kedua orang tua dari mempelai merasa malu akan kegagalan pernikahan tersebut, merekapun lalu bersumpah jangan sampai ada lagi pertunangan dan perkawinan antara orang Dinoyo dan orang Panawijen.
Joko Lulo hilang tidak diketahui rimbanya, sementara Ken Dedes beberapa lama kemudian diketahui telah menjadi istri pembesar di Tumapel, yaitu Tunggul Ametung.
Sampai saat ini peninggalan berupa Sumur Windu dan Watu Kenong masih dapat dijumpai di daerah Polowijen, Lingkungan Watu Kenong, Kota Mala
Budayawan Malang, Yongki Irawan mengatakan, keberadaan makam Mbah Tjondro Suwono (Mbah Reni) atau berjuluk Ki Sungging Adi Linuwih yang dikenal sebagai penemu dan penyungging Topeng Malangan pertama kali. Selain itu Mbok Gundari adalah anak sekaligus penari Topeng Malangan, merupakan bukti yang makin menguatkan bahwa Kampung Polowijen layak disebut kampung sejarah yang memiliki peradaban besar di Jawa Timur.
Semasa hidup, mereka orang Panawijen yang mengembangkan topengan Malangan sampai ke beberapa daerah, antara lain, Jabung Tumpang, Glagahdowo, Pakisaji, dan daerah lain di Kabupaten Malang.
“Kekayaan budaya itulah yang menjadi icon budaya Malang yang telah ditetapkan sebagai situs budaya Polowijen oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang,” kata Yongki.
Sesepuh asli Polowijen, Suwaji menuturkan, beberapa kesenian lain yang terkenal di Kampung Polowijen, selain wayang topeng, ada juga wayang wong, wayang jedong, wayang kulit, wayang ope, ludruk, pencak silat, bantengan, dan terbangan, yang pernah populer di Polowijen.
Potensi lain, menurut Suwaji, dulu, kampung Polowijen pernah menjadi sentra mebel dan kerajinan kayu. Ini makin menegaskan bahwa Kampung Polowijen adalah daerah para pengrajin seni pahat dan topeng.
“Jadi, Kampung Polowijen merupakan daerah yang menginspirasi bagi daerah lain sehingga muncul berbagai ragam seni tradisi kebudayaan serta kerajinan yang membuat daerah-daerah lain bisa ikut berjaya pada masanya,” ungkap dia.
Sumber :
- Ngalam.id
- Wikipedia dan diolah dari berbagai sumber
(sms)