Letnan Komarudin, Prajurit Kebal Peluru dan Serangan Umum 1 Maret

Senin, 06 Maret 2017 - 05:00 WIB
Letnan Komarudin, Prajurit Kebal Peluru dan Serangan Umum 1 Maret
Letnan Komarudin, Prajurit Kebal Peluru dan Serangan Umum 1 Maret
A A A
Nama Letnan Komarudin tak bisa dipisahkan dari cerita mengenai Serangan Umum 1 Maret 1949. Karena Letnan Komarudin bersama sejumlah pasukannya salah tanggal dalam menyerang Kota Yogyakarta yang saat itu dikuasai Belanda.

Letnan Komarudin ketika itu jabatannya adalah komandan peleton di SWK 101, Brigade X pimpinan Mayor Sardjono (anak buah Letnan Kolonel Soeharto).

Dikisahkan Letnan Komarudin bersama pasukannya menyerang salah satu tangsi Belanda pada 28 Februari 1949. Padahal seharusnya serangan dilakukan keesokan harinya pada 1 Maret 1949. Akibatnya dia mengacaukan jadwal serangan ke Kota Yogyakarta.

Letnan Komarudin dengan gagah berani bersama pasukannya menyerang salah satu pos tentara Belanda ketika itu. Konon Komarudin kebal peluru saat ditembaki tentara Belanda hal itu disaksikan beberapa anak buahnya yang dikemudian hari bersaksi atas kekebalan dirinya.

Bahkan aksi kekebalannya ini muncul dalam film Janur Kuning, film yang mengisahkan keberhasilan TNI menguasai Kota Yogyakarta selama 6 jam pada 1 Maret 1949.

Namun di sisi lain akibat serangan Pasukan Komarudin yang salah tanggal itu membuat Belanda lengah karena mengira serangan yang Komarudin lakukan merupakan serangan besar yang santer akan terjadi.

Berdasarkan laman Wikipedia, Letnan Komarudin atau bernama asli Eli Yakim Teniwut lahir di Desa Ohoidertutu, Kecamatan Kei Kecil Barat, Maluku Tenggara.

Komarudin disebut-sebut masih cicit Kiai Abdur Rahman yang dikenal sebagai Mbah Tanjung, salah seorang ulama terkemuka yang hidup di Ploso Kuning Minomartani, Sleman pada era kekuasaan Sultan Hamengkubuwono I (1755-1792).

Karena keturunan ulama sakti itulah, banyak dipercaya anggota pasukanya, dia kebal terhadap senjata apapun. Dia pun diyakini merupakan keturunan langsung Bantengwareng, salah seorang panglima perang pasukan Pangeran Diponegoro.

Komarudin merupakan prajurit PETA di Kalasan. Di kalangan anak buahnya, mantan prajurit PETA di Kalasan ini terkenal tahan peluru.

Bahkan saking saktinya, kekebalan Komarudin akan peluru konon bisa melindungi orang sekitarnya dalam radius 10 meter dari dirinya. Konon hal tersebut juga terjadi saat Komarudin beserta anak buahnya disergap Pasukan Belanda di daerah Madukismo, Bantul.

Belasan tentara Belanda mengepung sambil menodongkan senjata. Namun Letnan Komarudin tenang-tenang saja dan kemudian berpesan agar anak buahnya jangan jauh-jauh darinya.

Selanjutnya kontak senjata tak terhindarkan, namun tak ada peluru mengenai bahkan menyerempet. Komarudin dan anak buahnya melenggang pergi dengan selamat tanpa luka tergores di badan, meninggalkan belasan tentara Belanda yang terkapar.

Sebelum bergabung dengan Soeharto, usai dari PETA, Komaruddin pernah bergabung dengan Laskar Hizbullah yang memang terkenal banyak yang kebal senjata.

Peleton yang dipimpin Letnan Komarudin memang dikenal sangat berani dan sering mengacak-acak pertahanan militer Belanda di dalam kota Yogyakarta. Begitu disegani namanya hingga pihak intelijen militer Belanda (NEFIS) pernah menjadikannya buronan.

Aksi heroik Letnan Komarudin saat serangan yang salah tanggal ini pun mendapat pujian dari Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Dalam upacara di Yogyakarta usai Serangan Umum 1 Maret ketika memeriksa barisan prajurit TNI, Jenderal Soedirman menghampiri Komarudin.

Ketika dihampiri sang Panglima Komarudin langsung meminta maaf karena dia melakukan kesalahan dalam menghitung hari. Namun oleh Jenderal Sudirman dia dianggap tidak bersalah.

Tapi karir Komarudin di kemiliteran meredup setelah wafatnya Jenderal Soedirman. Dalam buku, Laporan Kepada Bangsa: Militer Akademi Yogya oleh Daud Sinjal dituliskan tentang tuduhan sebagian kalangan militer yang menyebut Komarudin terlibat dalam gerakan DI/TII.

Karena dua sahabat sekaligus dua atasan langsung Letnan Komarudin semasa di Laskar Hizbullah yakni Kapten Sofyan (Yon 426) dan Mayor Basyuni dari Yon 423 terlibat Gerakan DI/TII Jawa Tengah yang dipimpin Amir Fatah pada 1952.

Selain itu, saat kompi Komarudin pada tahun 1950-an, dikirim ke Malangbong, Garut untuk menumpas pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Sekar Maridjan Kartosoewirjo. Kompi Komarudin malah kerap ngopi bareng dengan pasukan DI/TII.

Rupanya Komaruddin merasa tak enak berperang dengan para gerilyawan DI/TII yang sebagian merupakan rekannya saat aktif di Laskar Hizbullah. Malah di antaranya ada juga yang pernah satu perguruan dengannya saat belajar agama dan kanuragaan.

Namun, tuduhan persekongkolan dengan DI/TII tersebut ternyata tidak benar dan nama Letnan Komaruddin kemudian mendapat rehabilitasi. Namun upaya rehabilitasi tak otomatis membuat karir ketentaraannya menanjak.

Setelah dia mendapat rehabilitasi, secara resmi Komarudin mundur dari ketentaraan dia
memilih dunia jalanan sebagai jalur hidupnya. Di Kotagede, namanya terkenal sekaligus disegani sebagai preman yang baik hati.

Sekitar 1969, Komarudin secara misterius tiba-tiba menghilang dari Kotagede. Soetojo alias Boyo, teman seperjuangannya waktu melawan Belanda, lantas mencarinya hingga ke Jakarta sekitar setahun kemudian.

Di ibu kota, Boyo menemukan Komarudin di wilayah Cempaka Putih. Dia tinggal di sebuah gubuk kecil yang terletak di tengah-tengah rawa (tanah milik Kodam V Jaya kala itu). Dia menghidupi kesehariannya dengan bekerja sebagai seorang preman yang ditakuti di wilayah Pasar Senen karena Komarudin kebal terhadap senjata api dan tajam.

Sejarawan Yogyakarta, Ki Herman Janutama menduga keberadaan Komarudin di Jakarta atas sepengetahuan Presiden Soeharto, yang merupakan mantan komandannya di Yogyakarta.

Karena, saat tinggal di rawa yang terletak di Cempaka Putih itu, tiap bulan secara rutin dia kerap mendapatkan jatah beras bagian untuk tentara.Karena dibujuk terus oleh sahabatnya (Toyo Boyo), pada sekitar 1972, Komarudin akhirnya kembali ke Kotagede.

Tak lama sampai di kota tersebut, dia kemudian jatuh sakit hingga mengalami koma. Komarudin kemudian dirawat di Pusat Kesehatan Umat (PKU) milik Muhammadiyyah.

Sewaktu dirawat disana ada cerita menarik karena Komarudin tak mempan disuntik sehingga dikeluhkan oleh dokter yang merawatnya.

Kemudian di tahun 1973, Komarudin akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir di PKU Kotagede. Jasadnya kemudian dikebumikan secara militer di Taman Kesuma Negara Semaki Yogyakarta. Begitu populisnya nama Komarudin hingga di wilayah Sleman, ada sebuah masjid yang disemati namanya Masjid Al Komarudin.

Ada versi lain yang menyebutkan setelah Komarudin mengundurkan diri dari dunia militer. Dia bersama istrinya yang berasal dari Jawa kembali ke Maluku Tenggara dan tinggal di desa kelahirannya, Ohoidertutu.

Di sana dia menghabiskan sisa hidupnya hingga akhir hayatnya. Dia sempat diminta mantan presiden ke-2 Soeharto untuk kembali ke Jakarta agar ketika meninggal nanti akan diberi gelar pahlawan. Tapi dia menolak dan lebih memilih tinggal di desa kelahirannya.


Sumber :

- arsipnasional
- wikipedia dan diolah dari berbagai sumber
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8325 seconds (0.1#10.140)