Legenda Topi Boni Tangerang, Digemari Masyarakat Eropa dan Simbol Perlawanan Rakyat

Minggu, 05 Februari 2017 - 00:52 WIB
Legenda Topi Boni Tangerang,...
Legenda Topi Boni Tangerang, Digemari Masyarakat Eropa dan Simbol Perlawanan Rakyat
A A A
Topi anyaman bambu khas Tangerang pernah menjadi legenda kejayaan di masa kolonial Hindia Belanda. Masyarakat Tangerang mampu membuat topi bambu dan pandan hingga menembus pasar Eropa. Bahkan topi anyaman bambu yang lazim disebut topi Boni ini, pernah menjadi simbol perlawanan petani dan rakyat Tangerang melawan ketidakadilan kolonial.

Dalam buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels karya Pramoedya Ananta Toer yang dicetak penerbit, Lentera Dipantara, diceritakan tentang kemasyuran topi anyaman bambu dari Tangerang. Pada halaman 41 paragraf ke-2, Pram menuliskan ”Topi anyaman bambu telah membuat tempat ini (Tangerang) terkenal di dunia. Pada 1887 saja Tangerang telah mengekspor topi 145 juta buah, terutama ke Prancis. Telah menjadi kebiasaan dalam kurun tersebut, topi Tangerang dipergunakan oleh para pekerja pelabuhan baik di Eropa maupun di Amerika, dan terutama Amerika Latin.”
Legenda Topi Boni Tangerang, Digemari Masyarakat Eropa dan Simbol Perlawanan Rakyat

Dalam situs Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde (KITLV) atau Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi Kerajaan Belanda, tersimpan berbagai koleksi foto tentang topi bambu Tangerang tempo dulu. Bukan hanya topi bambu, ada juga topi yang terbuat dari daun pandan dengan berbagai bentuk.

Pada zaman itu, pusat-pusat produksi topi bambu berada di daerah Cikupa, Tigaraksa, Balaraja, dan Tenjo. Menurut catatan Oey Hok Tjay, jurnalis Tionghoa peranakan yang asli Tangerang, topi bambu atau pandan dikerjakan para wanita. Kemudian topi tersebut dibeli para tengkulak yang berkeliling desa.

Selanjutnya topi tersebut dikirim ke pabrik-pabrik di Tangerang untuk mendapat sentuhan akhir lalu dikemas sebelum dikirim ke luar negeri. Ekspor ke luar negeri dilakukan oleh pedagang Eropa ke Amerika dan Eropa (terutama Prancis) melalui Pelabuhan Tanjung Priok.

Pada zaman Hindia Belanda, bisnis topi bambu dan pandan dilakukan oleh orang Betawi, Sunda, dan Tionghoa. Barulah belakangan ada tiga perusahaan milik bangsa Eropa yang terlibat bisnis topi yang dibuat secara mekanis setelah listrik masuk ke wilayah Tangerang.

Meskipun pembuatan topi boni merupakan industri rumahan (home industry), namun produk yang dihasilkan berkualitas ekspor. Omar Mohtar dari Pengolah Data Cagar Budaya Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam tulisannya Mengenang Kejayaan Topi Tangerang, mencatat secara detail angka penjualan ekspor topi bambu Tangerang ke Eropa.

Dalam buku Labour in Southeast Asia: Local Processes in a Globalised World (2004) disebutkan pada 1908 saja prokduksi topi bambu dan pandan Tangerang yang diekspor ke Eropa dan Amerika mencapai 10 juta buah per tahun. Dalam buku Tanah dan Penduduk Indonesia (1974) disebutkan pada 1913 jumlah topi bambu yang dikirim ke Tanjung Priok berjumlah 5.495.394 buah bernilai 1.328.802 gulden.

Angka ekspor topi Tangerang mengalami penurunan saat pecah Perang Dunia ke-1 pada 1917 dan Depresi Besar Dunia pada 1930. Pada 1917 topi yang diekspor turun dan berjumlah 2.573.033 buah dengan nilai 668.983 gulden. Lalu mengalami kenaikan kembali pada 1928, dengan jumlah topi yang diekspor sebanyak 4.947.104 buah dan bernilai 2.044.889 gulden. Namun, pada 1930 jumlah topi yang dikirim turun hanya sebanyak 2.935.745 buah dan bernilai 465.164 gulden. Sejak itu, penjualan topi bambu Tangerang terus merosot dan pedagang Eropa lebih banyak mengambil dari Amerika Selatan.

Begitu larisnya komoditas topi anyaman bambu Tangerang, pada 1905 pegawai pemerintah kolonial Belanda (Binnenlands bestuur) Johan Ernst Jasper ikut mempromosikan dalam acara pasar malam yang digelar beberapa kota besar, seperti Batavia, semarang, dan Surabaya. (Susan Legene dan Janneke van Dijk, 2011: 123-24).

Sedangkan untuk promosi ke pasar internasional, khususnya Eropa, pada 1910 perajin topi Tangerang bersama perajin batik dan kayu mendapat kesempatan memamerkan produknya di Brussels World Fair 1910. (Marieke Bloembergen dalam buku De Koloniale Vertonging.Nederland en Indie op de wereldtentoonstellingen, 2002).

Sebelum ke Brussels, untuk bahan promosi sudah dicetak poster berjudul “Planting Hats for Europe, West Java” oleh Haarlem Kleynenberg & Co yang gambarnya berasal dari pameran salah satu pasar malam di Hindia Belanda (Kroos van Brankel dan Daan van Dartel, 2012: 42).

Topi anyaman bambu ini pernah menjadi simbol perlawanan rakyat dan petani Tangerang. Dalam sejarah perlawanan petani Tangerang pada 10 Februari 1924, gerakan perlawanan ini dipimpin tokoh kharismarik,Ki Dalang Kaiin atau Kalin atau Jiah bin Bayah di kampung Pangkalan, Teluk Naga, Tangerang.

Sebagai identitas kelompok pribumi, perlawanan tersebut bermaksud mengembalikan norma-norma tradisional yang telah berubah setelah kedatangan orang-orang asing di tanah Tangerang. Ketika itu keadaan sosial semakin parah, etika dan moral keagamaan sudah terdegradasi.

Ditambah kehidupan ekonomi yang sulit karena sejak masa VOC sampai akhir penjajahan Belanda, wilayah Tangerang Raya menjadi tanah partikelir. Tanah-tanah begitu mudah diperjualbelikan atau disewa dalam jangka waktu tertentu kepada para pendatang Eropa atau Asia lainnya. Parahnya lagi, ada tambahan hak istimewa bagi pengelola tanah atau tuan tanah (Landheer), mereka juga menguasai manusia yang menghuni daerah tersebut.

Para tuan tanah menganggap kaum pribumi yang mendiami tanah-tanah di wilayahnya sebagai sapi perahan untuk kepentingan bisnisnya. Para petani pribumi juga dibebani membayar cuke (pajak) tinggi dan kerja paksa (kompenian).

Perjuangan Kaiin Bapa Kayah mendapatkan dukungan dari orang terdekatnya, seperti istrinya Tan Tjeng Nio (Nyonya Banten). Dukungan juga datang dari kalangan guru agama dan tokoh kebatinan, seperti Haji Rioen (guru ngaji dan tarekat sekaligus pedagang) dari Kalideres.

Dari kalangan petani ada beberapa tokoh utama yang menjadi pengikut setia, yaitu Enang dari Karang Tengah yang diangkat menjadi Patih; Siban Bapa Sambut asal Pondok Aren (seorang petani kaya); dan Marin atau Mirin yang berasal dari Kampung Melayu.

Yahya Andi Saputra dalam tulisannya Ki Dalang : Pemberontakan 1924, menuliskan saat itu para pengikut Ki Dalang dan pengikutinya memakai pakaian serba putih dan tudung cetok atau topi anyaman bambu khas Tangerang. Sebagiannya lagi menggunakan ikat kepala putih (simbol perlawanan suci).

Hal itu juga terabadikan dalam arsip Berita Acara yang dibuat oleh Raden Toewoeh, Assisten Wedana Teluknaga: “Waktoe hamba lagi ada di pendopo ka Assistenan jaitoe lagi trima rapportnja itoe Tjoetak Politie Pangkalan sekoetika itoe dateng di roemah ka Assistenan + 34 orang lelaki dan 4 orang perempoean berpakaian badjoe poetih tjelana poetih pake topi bamboe (boni) dengan bersendjata golok telendjang dan toembak kampak serta sebagian dari itoe orang-orang kepalanja ada jang diiket pake selempa poetih, di antara itoe orang-orang tjoema hamba kenal pada Kaiin ba Kaiah dalang wayang koelit tinggal di kampoeng Pangkalan ...” (ANRI: 1981: 75)

Reputasi topi boni yang termasyur pun diabadikan dalam logo Kabupaten Tangerang ketika diresmikan menjadi kabupaten tersendiri pada 27 Desember 1943. Simbol topi berbentuk melengkung diabadikan dalam lambang daerah yang dikombinasi dengan maskot sungai Cisadane dan Benteng. Identitas topi anyaman Tangerang juga berarti simbol masyarakat pribumi yang berpadu dengan alam.

Sumber:
http://alaqidahjkt.ac.id
http://koharesse.blogspot.co.id
www.loka-majalah.com
https://emhafarabi.wordpress.com
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1421 seconds (0.1#10.140)