Pasar Gede Solo, Salah Satu Peninggalan Pakubuwono X
A
A
A
PADA 12 Januari 2017, Pasar Gede Solo genap berusia 87 tahun. Kirab 87 tumpeng dan Kembul Agung menandai peringatan berdirinya Pasar Gede Solo.
Pasar Gede Solo dibangun pada masa pemerintahan Raden Mas Sayiddin Malikul Kusnao atau yang lebih dikenal dengan Pakubuwono X. Ya, saat berkuasa, Pakubuwono X banyak membangun infrastruktur modern Kota Surakarta. Selain bangunan Pasar Gede Harjonagoro (Pasar Gede Solo), dibangun pula Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Stadion Sriwedari, Kebun Binatang Jurug, dan Jembatan Jurug.
Dikutip dari Wikipedia, pada zaman kolonial Belanda, Pasar Gede mulanya merupakan sebuah pasar kecil yang didirikan di area seluas 10.421 hektare, berlokasi di persimpangan jalan dari kantor gubernur yang sekarang berubah fungsi menjadi Balai Kota Solo.
Bangunan ini dirancang oleh seorang arsitek Belanda bernama Thomas Karsten. Pembangunan pasar selesai pada tahun 1930. Pasar diberi nama Pasar Gedhé Hardjonagoro.
Pasar ini diberi nama pasar gedhé atau 'pasar besar' karena terdiri dari atap yang besar. Seiring perkembangan masa, pasar ini menjadi pasar terbesar dan termegah di Solo.
Pasar Gede terdiri dari dua bangunan yang terpisahkan jalan yang sekarang disebut sebagai Jalan Sudirman. Masing-masing dari kedua bangunan ini terdiri dari dua lantai.
Pintu gerbang di bangunan utama terlihat seperti atap singgasana yang kemudian diberi nama Pasar Gedhé dalam bahasa Jawa.
Arsitektur Pasar Gede merupakan perpaduan antara gaya Belanda dan gaya Jawa. Pada tahun 1947, Pasar Gede mengalami kerusakan karena serangan Belanda. Lalu, Pemerintah Republik Indonesia yang kemudian mengambil alih wilayah Surakarta dan Daerah Istimewa Surakarta, merenovasi kembali pada tahun 1949.
Namun, perbaikan atap selesai pada tahun 1981. Pemerintah Indonesia mengganti atap yang lama dengan atap dari kayu. Bangunan kedua dari Pasar Gede, digunakan untuk Kantor DPU yang sekarang digunakan sebagai pasar buah.
Para pedagang yang berjualan di Pasar Gede banyak pula yang keturunan Tionghoa. Budayawan Jawa ternama dari Surakarta, Go Tik Swan yang seorang keturunan Tionghoa, ketika diangkat menjadi bangsawan oleh mendiang Raja Kasunanan Surakarta Ingkang Sinuhun Pakubuwono XII mendapat gelar K.R.T. (Kanjeng Raden Tumenggung) Hardjonagoro karena kakeknya adalah kepala Pasar Gedhé Hardjonagoro.
Dekatnya Pasar Gede dengan komunitas Tionghoa dan area Pecinan bisa dilihat dengan keberadaan sebuah kelenteng, persis di sebelah selatan pasar ini. Kelenteng ini bernama Vihara Avalokitesvara Tien Kok Sie dan terletak pada Jalan Ketandan.
Pasar Gede memang menjadi salah satu peninggalan bersejarah di Kota Solo. Maka, tak heran jika senantiasa digelar acara dalam rangka peringatan berdirinya pasar tersebut. Seperti yang dilakukan pada 12 Januari 2017, digelar
Kirab 87 tumpeng dan Kembul Agung.
Prosesi acara diawali dengan kirab 87 tumpeng yang diarak mengeliling Pasar Gede. Jumlah tumpeng melambangkan usia pasar yang ada di jantung Kota Solo tersebut.
"Kami sangat mensyukuri keberadaan Pasar Gede sebagai pasar tradisional selama 87 tahun," kata Koordinator Komunitas Paguyuban Pasar Gede (Komppag) Wiharto.
Setelah diarak, tumpeng kemudian ditata di depan pintu masuk untuk didoakan. Selanjutnya, semua tumpeng dimakan bersama atau dikenal dengan sebutan Kembul Agung.
Kirab tumpeng sebagai ucapan syukur kepada Tuhan, serta komitmen dalam membangun kebersamaan. Para pejabat hingga tukang parkir makan bersama dari tumpeng-tumpeng yang disediakan. Semuanya makan bersama di satu tempat yang menunjukkan karakteristik pasar yang egaliter sebagaimana ciri khas masyarakat Jawa.
Seluruh tumpeng dikumpulkan dari berbagai paguyuban yang ada di Pasar Gede. Mulai pedagang, tukang parkir, tukang becak, buruh gendong, dan PNS yang bertugas di Pasar Gede.
Semuanya saweran tumpeng untuk memperingati ulang tahun Pasar Gede yang juga dinamai Pasar Harjonagoro. Mereka semuanya mensyukuri karena Pasar Gede tetap eksis sebagai pasar tradisional. Sekaligus pasar sebagai ruang ketahanan sosial, budaya dan ekonomi karena memenuhi kebutuhan hajat hidup orang banyak. Pasar Gede sebaga warisan sejarah, dan budaya merupakan heritage yang monumental.
Pasar Gede juga sering disebut pasar multietnis. Sebab, pedagangnya campuran dari berbagai etnis yang ada di Kota Bengawan. Seperti Tionghoa, Jawa, Madura, dan Arab.
Kepala Dinas Perdagangan (Disdag) Solo Subagiyo mengatakan, pihaknya berharap ulang tahun ke-87 Pasar Gede dapat menjadi momentum kebangkitan kembali pasar tradisional. Sehingga, pasar tradisional yang mulai ditinggalkan dapat kembali ramai dan mendatangkan banyak rezeki bagi masyarakat.
Pasar Gede Solo dibangun pada masa pemerintahan Raden Mas Sayiddin Malikul Kusnao atau yang lebih dikenal dengan Pakubuwono X. Ya, saat berkuasa, Pakubuwono X banyak membangun infrastruktur modern Kota Surakarta. Selain bangunan Pasar Gede Harjonagoro (Pasar Gede Solo), dibangun pula Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Stadion Sriwedari, Kebun Binatang Jurug, dan Jembatan Jurug.
Dikutip dari Wikipedia, pada zaman kolonial Belanda, Pasar Gede mulanya merupakan sebuah pasar kecil yang didirikan di area seluas 10.421 hektare, berlokasi di persimpangan jalan dari kantor gubernur yang sekarang berubah fungsi menjadi Balai Kota Solo.
Bangunan ini dirancang oleh seorang arsitek Belanda bernama Thomas Karsten. Pembangunan pasar selesai pada tahun 1930. Pasar diberi nama Pasar Gedhé Hardjonagoro.
Pasar ini diberi nama pasar gedhé atau 'pasar besar' karena terdiri dari atap yang besar. Seiring perkembangan masa, pasar ini menjadi pasar terbesar dan termegah di Solo.
Pasar Gede terdiri dari dua bangunan yang terpisahkan jalan yang sekarang disebut sebagai Jalan Sudirman. Masing-masing dari kedua bangunan ini terdiri dari dua lantai.
Pintu gerbang di bangunan utama terlihat seperti atap singgasana yang kemudian diberi nama Pasar Gedhé dalam bahasa Jawa.
Arsitektur Pasar Gede merupakan perpaduan antara gaya Belanda dan gaya Jawa. Pada tahun 1947, Pasar Gede mengalami kerusakan karena serangan Belanda. Lalu, Pemerintah Republik Indonesia yang kemudian mengambil alih wilayah Surakarta dan Daerah Istimewa Surakarta, merenovasi kembali pada tahun 1949.
Namun, perbaikan atap selesai pada tahun 1981. Pemerintah Indonesia mengganti atap yang lama dengan atap dari kayu. Bangunan kedua dari Pasar Gede, digunakan untuk Kantor DPU yang sekarang digunakan sebagai pasar buah.
Para pedagang yang berjualan di Pasar Gede banyak pula yang keturunan Tionghoa. Budayawan Jawa ternama dari Surakarta, Go Tik Swan yang seorang keturunan Tionghoa, ketika diangkat menjadi bangsawan oleh mendiang Raja Kasunanan Surakarta Ingkang Sinuhun Pakubuwono XII mendapat gelar K.R.T. (Kanjeng Raden Tumenggung) Hardjonagoro karena kakeknya adalah kepala Pasar Gedhé Hardjonagoro.
Dekatnya Pasar Gede dengan komunitas Tionghoa dan area Pecinan bisa dilihat dengan keberadaan sebuah kelenteng, persis di sebelah selatan pasar ini. Kelenteng ini bernama Vihara Avalokitesvara Tien Kok Sie dan terletak pada Jalan Ketandan.
Pasar Gede memang menjadi salah satu peninggalan bersejarah di Kota Solo. Maka, tak heran jika senantiasa digelar acara dalam rangka peringatan berdirinya pasar tersebut. Seperti yang dilakukan pada 12 Januari 2017, digelar
Kirab 87 tumpeng dan Kembul Agung.
Prosesi acara diawali dengan kirab 87 tumpeng yang diarak mengeliling Pasar Gede. Jumlah tumpeng melambangkan usia pasar yang ada di jantung Kota Solo tersebut.
"Kami sangat mensyukuri keberadaan Pasar Gede sebagai pasar tradisional selama 87 tahun," kata Koordinator Komunitas Paguyuban Pasar Gede (Komppag) Wiharto.
Setelah diarak, tumpeng kemudian ditata di depan pintu masuk untuk didoakan. Selanjutnya, semua tumpeng dimakan bersama atau dikenal dengan sebutan Kembul Agung.
Kirab tumpeng sebagai ucapan syukur kepada Tuhan, serta komitmen dalam membangun kebersamaan. Para pejabat hingga tukang parkir makan bersama dari tumpeng-tumpeng yang disediakan. Semuanya makan bersama di satu tempat yang menunjukkan karakteristik pasar yang egaliter sebagaimana ciri khas masyarakat Jawa.
Seluruh tumpeng dikumpulkan dari berbagai paguyuban yang ada di Pasar Gede. Mulai pedagang, tukang parkir, tukang becak, buruh gendong, dan PNS yang bertugas di Pasar Gede.
Semuanya saweran tumpeng untuk memperingati ulang tahun Pasar Gede yang juga dinamai Pasar Harjonagoro. Mereka semuanya mensyukuri karena Pasar Gede tetap eksis sebagai pasar tradisional. Sekaligus pasar sebagai ruang ketahanan sosial, budaya dan ekonomi karena memenuhi kebutuhan hajat hidup orang banyak. Pasar Gede sebaga warisan sejarah, dan budaya merupakan heritage yang monumental.
Pasar Gede juga sering disebut pasar multietnis. Sebab, pedagangnya campuran dari berbagai etnis yang ada di Kota Bengawan. Seperti Tionghoa, Jawa, Madura, dan Arab.
Kepala Dinas Perdagangan (Disdag) Solo Subagiyo mengatakan, pihaknya berharap ulang tahun ke-87 Pasar Gede dapat menjadi momentum kebangkitan kembali pasar tradisional. Sehingga, pasar tradisional yang mulai ditinggalkan dapat kembali ramai dan mendatangkan banyak rezeki bagi masyarakat.
(zik)